Jakarta (Antara Babel) - Salah satu sektor utama yang menjadi sorotan di penghujung tahun 2015 adalah industri minyak dan gas (migas), tidak lain karena penurunan harga minyak dan nasib harga Bahan Bakar Minyak (BBM) ke depannya.

Seakan gejala demam, migas sedang terserang "panas-dingin" dengan siklus "pelana kuda". Salah satu sakit dengan jenis ini adalah demam berdarah dengue (DBD), yakni setelah demam biasa dengan panas tinggi, pasien tiba-tiba turun suhu tubuhnya seakan sembuh, padahal saat itu adalah masa kritis dan suhu naik lagi pada masa penyembuhan.

Sepanjang tahun 2015 bisa digambarkan migas mengalami hal tersebut, dan di ujung tahun bisa jadi merupakan masa kritisnya, namun menuju fase penyembuhan.

Menurut catatan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), tahun 2015 diawali dengan penurunan harga minyak yang diikuti juga penurunan biaya investasi.

Harga minyak pada level 60 dolar AS per barel (bbl). Secara global terjadi penurunan investasi eksplorasi dan produksi sebesar 20,3 persen. Tetapi start awal tahun yang kurang maksimal tersebut tidak mengurangi capaian dari SKK Migas.

Capaiannya adalah meningkatkan kontribusi hulu migas pada pertumbuhan ekonomi nasional. Contohnya adalah POD-II Jambaran Tiung Biru telah menyuplai gas ke pabrik pupuk dengan total investasi 3,69 miliar dolar AS.

Kemudian renegosiasi kontrak pengadaan berjalan senilai 250 juta dolar AS dan akan dilanjutkan tahap kedua.

Yang terakhir dan terbaru adalah membangun Lembaga Sertifikasi Profesi Hulu Migas untuk dikhususkan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

    
Fase Kritis
   
Jelang akhir tahun harga minyak dunia turun drastis hingga di kisaran level 30 dolar AS per barel, hal tersebut merupakan level terendah dalam tujuh tahun terakhir.

Salah satu dampaknya adalah Pertamina EP Asset 3 Jatibarang, Cirebon, Jawa Barat, tidak dapat mencapai target produksi minyak dan gas yang sudah ditentukan pada tahun 2015.

"Target produksi tidak tercapai karena pengaruh harga minyak dunia yang semakin tinggi, sehingga harga operasional ikut terdampak," kata Asisten Manager Petroleum Enginering Pertamina EP Asset 3 Catherine Febriana.

Lebih lanjut, ia menjelaskan detail bahwa target produksi minyak 2015 sebesar 9.472 barel per hari (BOPD). Namun produksi yang berhasil dicapai adalah 7.979 bopd atau hanya sebanyak 84,27 persen.

Sedangkan untuk gas targetnya adalah sebesar 70,57 mmscfd, namun yang dapat dicapai realisasi 2015 adalah 68,53 mmscfd.

Pengaruh harga minyak membuat kegiatan eksplorasi dan pemboran terhambat, karena sekali pemboran membutuhkan investasi sekitar 4 juta dolar As.

Tahun sebelumnya Pertamina EP Jatibarang dapat mencapai target penuh, yaitu sekitar 8.000 barel per hari. Tahun 2016, Pertamina EP Jatibarang menargetkan minyak sebanyak 9.000 BOPD, sedangkan untuk gas sebanyak 70 mmscfd.

Namun di lain kesempatan, Pertamina justru menandatangani "Heads of Agreement" (HoA) antara Total E&P Indonesie dan Index Corporation terkait persiapan untuk alih kelola Blok Mahakam.

"Ini langkah awal bagi Pertamina dalam persiapan alih kelola, HoA mencakup 'transfer agreement' untuk mempertahankan kelanjutan operasi selama masa transisi pasca-2017 dengan mempertimbangkan hak-hak dan kewajiban semua pihak," kata Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto.

HoA juga mengatur "commercial agreement" yang berisi kesepakatan komersial antara Pertamina dan Total-Inpex dalam menyelesaikan komposisi kemitraan pada KKS yang baru dibentuk, serta hal-hal yang terkait dengan prosedur kerja sama antarpihak yang baru.

Dwi mengatakan pembagian saham adalah Pertamina 70 persen dengan interest 10 persennya merupakan kepemilikan BUMD, dan 30 persen untuk Total E&P Indonesie dan Index Corporation, rinciannya 50:50.

Dampak lain dari penurunan harga minyak justru membuat sentimen positif terhadap harga gas industri. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi  (migas) Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmadja Puja menjelaskan penurunan harga gas industri yang diterapkan terhitung mulai 1 Januari 2016.

Ia menjelaskan, penurunan harga gas di hulu akan dilakukan, untuk harga gas antara 6-8 dolar AS /British Thermal Unit (MMBTU) akan diturunkan 16,7 persen atau minimal menjadi 6 dolar AS/MMBTU.

Sedangkan, harga 8 dolar AS/MMBTU ke atas diturunkan sekitar 1-2 dolar AS/MMBTU atau sekitar 25 persen, dengan minimal harga 6 dolar AS/MMBTU.

Mekanisme penurunan harga dilakukan melalui pengurangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada penjualan gas bumi.

Selanjutnya, akan diatur margin/IRR untuk niaga gas bumi yang berfasilitas. Selain itu, prinsip penurunan harga akan dilakukan untuk penerima insentif yang memiliki harga gas di hulu di atas 6 dolar AS/MMBTU.

    
Fase Penyembuhan
   
Sisi lain dari penurunan harga minyak adalah berpengaruh baik pada harga BBM. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, dari tiga komponen pembentuk harga BBM seluruhnya memungkinkan bagi penurunan harga solar dan premium secara signifikan.
Terhitung mulai 5 Januari 2016, harga premium diturunkan dari Rp7.300 menjadi Rp7.150 dan harga solar turun dari Rp6.700 menjadi Rp5.650.

Ia menambahkan, tiga komponen pembentuk harga BBM yakni harga minyak dunia, kurs mata uang, dan efisiensi mata rantai pasokan yang 97 persen dikelola Pertamina memungkinkan bagi diturunkannya harga BBM.

Bahkan bukan sekadar memenuhi nilai keekonomian, harga BBM mulai tahun depan sudah termasuk pungutan dana ketahanan energi di mana untuk solar sebesar Rp300 perliter dan untuk premium Rp200 perliter.

"Kebijakan yang dirasa semakin memberikan efisiensi mata rantai pasokan misalnya pembubaran Petral, pengambilalihan Kilang Trans Pacific Petroleum Indotama (TPPI) yang menurunkan impor," katanya.

Selain itu juga semakin didorong oleh selesainya modernisasi kilang Cilacap tahap 1 sehingga impor turun maka stabilitas kurs pun turun.

"Dalam tiga bulan terakhir ada penurunan crude 80 persen sejalan penurunan mob solar 18 persen dalam bulan-bulan terakhir. Ada anomali di mob premium yakni turun 8 persen, solar (turun) lebih signifikan," katanya.

Kemudian, ia mengatakan, pemerintah mulai memupuk dana ketahanan energi tahun depan yakni Rp300 perliter untuk solar dan Rp200 perliter untuk premi sebagai implementasi pasal 30 UU Nomor 30 Tahu 2007 tentang energi.

Namun walau ada tren positif pada sektor harga BBM, SKK Migas mencatat masih ada Pekerjaan Rumah (PR) dari tahun 2015, yaitu PPN terhadap skema pemanfaatan fasilitas bersama yang kontradiktif terhadap upaya efisiensi biaya operasi industri hulu migas.

Selanjutnya, PBB eksplorasi yang masih terkendala di pengadilan pajak, dengan nilai Rp3,1 triliun. Kemudian, pembatasan reimbursement PPN.

Penurunan harga minyak yang masih bisa lebih buruk pada tahun 2016 masih diprediksi oleh SKK Migas, yaitu di bawah 30 dolar AS per barel. Selain itu masih ada juga kendala pengelolaan Wilayah Kerja (WK) terkait perpanjangannya.Dari hal tersebut menyebabkan penyerapan buyer lebih rendah.

Pewarta: Afut Syafril

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015