Aksi korporasi PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) untuk merger dengan Bank Muamalat jadi angin segar di tengah ketidakpastian ekonomi global. Jika prosesnya berjalan lancar, dua kekuatan besar di kancah perbankan syariah nasional resmi bersanding dalam satu pelaminan pada Oktober 2024.
Cukup beralasan mengapa Menteri BUMN Erick Thohir menargetkan proses merger tersebut rampung sebelum Oktober 2024. Demikian pula mengapa BTN Syariah dipilih menjadi pengantin menemani Bank Muamalat, bank pertama yang menerapkan prinsip syariah di Tanah Air.
Pertama, dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi maupun Wapres Maruf Amin sering kali menyampaikan komitmennya untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah pada tahun 2024. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan jumlah 240,62 juta jiwa atau 87 persen dari total penduduknya (RISCC, 2024).
Kita telah berkomitmen untuk menjadi pusat ekonomi syariah di tahun 2024 dan kita akan berusaha keras untuk itu, ujar Presiden saat memberikan sambutan pada peresmian pembukaan Kongres Ekonomi Umat Ke-2 Majelis Ulama Indonesia [MUI] 2021.
Jika Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maruf Amin bisa mulus melakukan "pendaratan" terakhirnya di Oktober 2024, maka merger dua kekuatan besar bank syariah di kancah nasional akan menjadi kado indah di pengujung kepemimpinan tersebut.
Apalagi di level global, prestasi gemilang juga diraih Indonesia. Karena predikat State of The Global Islamic Economis [SGIE] Indonesia naik ke posisi ketiga pada tahun 2023. Ini menunjukkan pengakuan dunia terhadap geliat ekonomi syariah di Tanah Air kian positif.
Kedua, dalam kerangka transformasi BUMN refocusing adalah salah satu langkah yang senantiasa dijalankan menteri BUMN Erick Thohir di sektor mana pun. Ini dilakukan agar ada perbaikan model bisnis di masing-masing perusahaan BUMN. Contoh terbaiknya, ada pada bank-bank yang terhimpun dalam kelompok Himbara [BRI, Mandiri, BNI, dan BTN]. Masing-masing memiliki fokus yang berbeda. BTN, misalnya, diberi tugas menggarap pasar properti.
Selama ini BTN memang dikenal sebagai bank yang fokus pada pembiayaan perumahan. Segmen ini menurut Direktur Utama BTN, Nixon L.P. Napitupulu menyumbang sekira 60-70 persen dari total pendapatan. Sisanya sektor lain sebesar 30-40 persen berasal dari bisnis turunan perumahan.
Memilih BTN Syariah sebagai pasangan untuk Bank Muamalat makin rasional jika melihat tren positif di industri halal Indonesia. Data Bank Indonesia tahun 2023 menunjukkan sektor unggulan halal value chain (HVC) mencatatkan pertumbuhan impresif sebesar 3,93 persen year-on-year dan ikut berkontribusi hampir 23 persen terhadap ekonomi nasional.
Penopangnya masih didominasi oleh sektor-sektor seperti pertanian, makanan dan minuman halal, pariwisata ramah muslim (PRM), dan fesyen muslim. Tren pertumbuhannya dipastikan makin positif, apalagi ada momen puasa dan Lebaran.
Uniknya, permintaan produk halal juga muncul dari kalangan non-muslim. Ini bisa kita lihat dari munculnya tren baru pada bulan Ramadhan 2024, dimana para non-muslim ikut berburu takjil dan bergaya dengan model fesyen muslim. Ini jadi potret dari meningkatnya jumlah dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan keamanan pangan.
Pertanyaan kritisnya, apa hubungan tren positif pertumbuhan industri halal dengan sektor properti? Jawabannya karena korelasi antara kinerja pertumbuhan konsumsi rumah tangga dengan pertumbuhan sektor properti terlihat cukup kuat selama ini, baik sebelum maupun setelah pandemi sehingga peningkatan konsumsi rumah tangga jadi prasyarat bagi pertumbuhan sektor properti.
Jawaban ini sejalan dengan teori hirarki kebutuhan ala Maslow, yang menyebut jika kecukupan manusia pada kebutuhan paling dasarnya sudah terpenuhi, maka akan muncul motivasi pada seseorang untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya. Dalam konteks tulisan ini kebutuhan kedua tersebut adalah kebutuhan akan rasa aman dan salah satunya kepemilikan properti.
BTN Syariah pasca merger dengan Bank Muamalat punya alasan bagus untuk mendorong akses pembiayaan syariah bagi sektor properti di Indonesia. Selain karena adanya tren positif pertumbuhan sektor konsumsi, juga adanya backlog yang masih sebesar 12,7 juta rumah.
Agenda penting
Selain dua alasan tersebut, rencana merger BTN Syariah dan Bank Muamalat juga menjadi momentum yang positif karena dinilai dapat menepis anggapan selama ini tentang minimnya insentif Pemerintah terhadap pengembangan dan peningkatan daya saing perbankan syariah.
Menarik untuk menelaah studi yang dilakukan pakar ekonomi syariah Yusuf Wibisono dari Pusat Ekonomi Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tentang UU Perbankan Syariah. Terdapat beberapa masalah substantif ekonomi dan yuridis-formal dalam menghantui industri perbankan syariah kita.
Yusuf Wibisono juga menyimpulkan bahwa agenda terpenting industri perbankan syariah yang saat ini wajib dilakukan adalah peningkatan daya tarik dan penguatan daya saing. Caranya menurut dia adalah dengan memperhatikan empat hal, yaitu: [1] ukuran (size) perbankan syariah yang cukup besar sehingga dapat lebih efisien dan kompetitif; [2] variasi produk perbankan syariah yang beragam sesuai kebutuhan bisnis dan masyarakat; [3] terdapat jaringan perbankan syariah yang luas; dan [4] adanya pasar modal dan pasar uang syariah yang punya produk dan instrumen keuangan syariah yang beragam, kompetitif, dan likuid.
Soal dukungan ini, kita bisa lihat bagaimana Bank Indonesia misalnya begitu optimis memproyeksikan ekonomi syariah akan terus melesat pada tahun 2024, dengan pertumbuhan di kisaran 4,7 persen hingga 5,5 persen year-on-year. Optimisme ini didasari oleh proyeksi pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang diprediksi mencapai 10 persen hingga 12 persen year-on-year.
Berbagai inisiatif strategis nasional turut mendukung proyeksi positif ini. Kewajiban sertifikasi halal sesuai Undang-Undang Jaminan Produk Halal, inovasi di sektor keuangan sosial syariah, program kolaborasi antarkementerian dan lembaga, serta digitalisasi ekonomi syariah yang semakin masif, menjadi bukti nyata komitmen pemerintah dalam mengembangkan ekonomi syariah.
Rencana merger BTN dan Bank Muamalat bukan hanya tentang penyatuan dua bank, melainkan juga tentang penyatuan kekuatan dan potensi untuk mengantarkan ekonomi syariah Indonesia ke gerbang kejayaan. Indonesia kini punya dua bank syariah yang sizeable.
Keduanya diharapkan bisa tumbuh dan menjadi semacam sparing partner. Persaingan memang tidak dapat dihindarkan, namun di sisi lain juga akan mendorong terbentuknya pasar keuangan syariah yang lebih besar. Sama seperti posisi Indomaret dan Alfamart atau kompleks percetakan yang menunjukkan kepada kita kebenaran Hotelling Theory. Teori yang menjelaskan dua persamaan jenis kegiatan ekonomi yang saling berdekatan dengan tujuan menguasai pasar seluas-luasnya.
Meskipun bernada optimisme, merger BTN Syariah dan Bank Muamalat bukan berarti tanpa tantangan. Salah satunya soal peningkatan literasi dan edukasi publik tentang ekonomi syariah yang kini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Karena, jika melihat jumlah penduduk muslim yang begitu besar, maka target peningkatan pasar syariah yang saat ini baru 7,27 persen jelas masih jauh panggang dari api. Diperlukan upaya berkelanjutan dari Pemerintah, regulator, dan seluruh pemangku kepentingan untuk membangun ekosistem ekonomi syariah yang kuat dan tangguh.
Melalui sinergi dan kolaborasi, merger BTN Syariah dan Bank Muamalat diharapkan menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan ekonomi syariah Indonesia. Cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah di dunia juga bukan lagi cuma mimpi, melainkan segera jadi kenyataan. Semoga!
*) Dosen Manajemen IBM Bekasi
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Cukup beralasan mengapa Menteri BUMN Erick Thohir menargetkan proses merger tersebut rampung sebelum Oktober 2024. Demikian pula mengapa BTN Syariah dipilih menjadi pengantin menemani Bank Muamalat, bank pertama yang menerapkan prinsip syariah di Tanah Air.
Pertama, dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi maupun Wapres Maruf Amin sering kali menyampaikan komitmennya untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah pada tahun 2024. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan jumlah 240,62 juta jiwa atau 87 persen dari total penduduknya (RISCC, 2024).
Kita telah berkomitmen untuk menjadi pusat ekonomi syariah di tahun 2024 dan kita akan berusaha keras untuk itu, ujar Presiden saat memberikan sambutan pada peresmian pembukaan Kongres Ekonomi Umat Ke-2 Majelis Ulama Indonesia [MUI] 2021.
Jika Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maruf Amin bisa mulus melakukan "pendaratan" terakhirnya di Oktober 2024, maka merger dua kekuatan besar bank syariah di kancah nasional akan menjadi kado indah di pengujung kepemimpinan tersebut.
Apalagi di level global, prestasi gemilang juga diraih Indonesia. Karena predikat State of The Global Islamic Economis [SGIE] Indonesia naik ke posisi ketiga pada tahun 2023. Ini menunjukkan pengakuan dunia terhadap geliat ekonomi syariah di Tanah Air kian positif.
Kedua, dalam kerangka transformasi BUMN refocusing adalah salah satu langkah yang senantiasa dijalankan menteri BUMN Erick Thohir di sektor mana pun. Ini dilakukan agar ada perbaikan model bisnis di masing-masing perusahaan BUMN. Contoh terbaiknya, ada pada bank-bank yang terhimpun dalam kelompok Himbara [BRI, Mandiri, BNI, dan BTN]. Masing-masing memiliki fokus yang berbeda. BTN, misalnya, diberi tugas menggarap pasar properti.
Selama ini BTN memang dikenal sebagai bank yang fokus pada pembiayaan perumahan. Segmen ini menurut Direktur Utama BTN, Nixon L.P. Napitupulu menyumbang sekira 60-70 persen dari total pendapatan. Sisanya sektor lain sebesar 30-40 persen berasal dari bisnis turunan perumahan.
Memilih BTN Syariah sebagai pasangan untuk Bank Muamalat makin rasional jika melihat tren positif di industri halal Indonesia. Data Bank Indonesia tahun 2023 menunjukkan sektor unggulan halal value chain (HVC) mencatatkan pertumbuhan impresif sebesar 3,93 persen year-on-year dan ikut berkontribusi hampir 23 persen terhadap ekonomi nasional.
Penopangnya masih didominasi oleh sektor-sektor seperti pertanian, makanan dan minuman halal, pariwisata ramah muslim (PRM), dan fesyen muslim. Tren pertumbuhannya dipastikan makin positif, apalagi ada momen puasa dan Lebaran.
Uniknya, permintaan produk halal juga muncul dari kalangan non-muslim. Ini bisa kita lihat dari munculnya tren baru pada bulan Ramadhan 2024, dimana para non-muslim ikut berburu takjil dan bergaya dengan model fesyen muslim. Ini jadi potret dari meningkatnya jumlah dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan keamanan pangan.
Pertanyaan kritisnya, apa hubungan tren positif pertumbuhan industri halal dengan sektor properti? Jawabannya karena korelasi antara kinerja pertumbuhan konsumsi rumah tangga dengan pertumbuhan sektor properti terlihat cukup kuat selama ini, baik sebelum maupun setelah pandemi sehingga peningkatan konsumsi rumah tangga jadi prasyarat bagi pertumbuhan sektor properti.
Jawaban ini sejalan dengan teori hirarki kebutuhan ala Maslow, yang menyebut jika kecukupan manusia pada kebutuhan paling dasarnya sudah terpenuhi, maka akan muncul motivasi pada seseorang untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya. Dalam konteks tulisan ini kebutuhan kedua tersebut adalah kebutuhan akan rasa aman dan salah satunya kepemilikan properti.
BTN Syariah pasca merger dengan Bank Muamalat punya alasan bagus untuk mendorong akses pembiayaan syariah bagi sektor properti di Indonesia. Selain karena adanya tren positif pertumbuhan sektor konsumsi, juga adanya backlog yang masih sebesar 12,7 juta rumah.
Agenda penting
Selain dua alasan tersebut, rencana merger BTN Syariah dan Bank Muamalat juga menjadi momentum yang positif karena dinilai dapat menepis anggapan selama ini tentang minimnya insentif Pemerintah terhadap pengembangan dan peningkatan daya saing perbankan syariah.
Menarik untuk menelaah studi yang dilakukan pakar ekonomi syariah Yusuf Wibisono dari Pusat Ekonomi Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tentang UU Perbankan Syariah. Terdapat beberapa masalah substantif ekonomi dan yuridis-formal dalam menghantui industri perbankan syariah kita.
Yusuf Wibisono juga menyimpulkan bahwa agenda terpenting industri perbankan syariah yang saat ini wajib dilakukan adalah peningkatan daya tarik dan penguatan daya saing. Caranya menurut dia adalah dengan memperhatikan empat hal, yaitu: [1] ukuran (size) perbankan syariah yang cukup besar sehingga dapat lebih efisien dan kompetitif; [2] variasi produk perbankan syariah yang beragam sesuai kebutuhan bisnis dan masyarakat; [3] terdapat jaringan perbankan syariah yang luas; dan [4] adanya pasar modal dan pasar uang syariah yang punya produk dan instrumen keuangan syariah yang beragam, kompetitif, dan likuid.
Soal dukungan ini, kita bisa lihat bagaimana Bank Indonesia misalnya begitu optimis memproyeksikan ekonomi syariah akan terus melesat pada tahun 2024, dengan pertumbuhan di kisaran 4,7 persen hingga 5,5 persen year-on-year. Optimisme ini didasari oleh proyeksi pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang diprediksi mencapai 10 persen hingga 12 persen year-on-year.
Berbagai inisiatif strategis nasional turut mendukung proyeksi positif ini. Kewajiban sertifikasi halal sesuai Undang-Undang Jaminan Produk Halal, inovasi di sektor keuangan sosial syariah, program kolaborasi antarkementerian dan lembaga, serta digitalisasi ekonomi syariah yang semakin masif, menjadi bukti nyata komitmen pemerintah dalam mengembangkan ekonomi syariah.
Rencana merger BTN dan Bank Muamalat bukan hanya tentang penyatuan dua bank, melainkan juga tentang penyatuan kekuatan dan potensi untuk mengantarkan ekonomi syariah Indonesia ke gerbang kejayaan. Indonesia kini punya dua bank syariah yang sizeable.
Keduanya diharapkan bisa tumbuh dan menjadi semacam sparing partner. Persaingan memang tidak dapat dihindarkan, namun di sisi lain juga akan mendorong terbentuknya pasar keuangan syariah yang lebih besar. Sama seperti posisi Indomaret dan Alfamart atau kompleks percetakan yang menunjukkan kepada kita kebenaran Hotelling Theory. Teori yang menjelaskan dua persamaan jenis kegiatan ekonomi yang saling berdekatan dengan tujuan menguasai pasar seluas-luasnya.
Meskipun bernada optimisme, merger BTN Syariah dan Bank Muamalat bukan berarti tanpa tantangan. Salah satunya soal peningkatan literasi dan edukasi publik tentang ekonomi syariah yang kini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Karena, jika melihat jumlah penduduk muslim yang begitu besar, maka target peningkatan pasar syariah yang saat ini baru 7,27 persen jelas masih jauh panggang dari api. Diperlukan upaya berkelanjutan dari Pemerintah, regulator, dan seluruh pemangku kepentingan untuk membangun ekosistem ekonomi syariah yang kuat dan tangguh.
Melalui sinergi dan kolaborasi, merger BTN Syariah dan Bank Muamalat diharapkan menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan ekonomi syariah Indonesia. Cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah di dunia juga bukan lagi cuma mimpi, melainkan segera jadi kenyataan. Semoga!
*) Dosen Manajemen IBM Bekasi
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024