Jakarta (Antara Babel) - Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution didakwa menerima suap sebesar Rp2,32 miliar untuk mengurus sejumlah perkara terkait perusahaan Lippo Group di PN Jakpus.

Terdakwa Edy Nasution menerima hadiah uang Rp1,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dan uang Rp100 juta dari Doddy Ariyanto Supeno (dakwaan terpisah) atas arahan Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto dan Eddy Sindoro, uang sebesar 50 ribu dolar AS dari Agustriadhy atas arahan Eddy Sindoro dan uang Rp50 juta dari Doddy atas arahan Wresti dan Ervan, kata jaksa penuntut umum KPK Titto Jaelani dalam sidang pembacaan dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Eddy Sindoro adalah Presiden Komisaris Lippo Group yang membawahi beberapa anak perusahaan di antaranya PT Jakarta Baru Cosmoplitan (JBC) dan Paramount Enterprise Internasional) dengan Evan Adi Nugroho selaku Direktur,  PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan Hery Soegiarto sebagai direktur dan PT Across Asia Limited (AAL) yang menghadapi permasalah hukum pada peradilan tingkat pertama di antaranya PN Jakpus hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung RI. Sedangkan Doddy adalah pegawai PT Artha Pratama Anugerah dan Wresti Kristian Hesti Susetyowati adalah bagian legal PT Artha Pratama Anugerah.

"Dalam pengurusan perkara yang dihadapi Lippo Group pada tingkat  MA, Eddy Sindoro berhubungan dengan Nurhadi selaku Sekretaris MA, sedangkan pada tingkat PN Jakarta Pusat, Eddy Sindoro mengutus Wresti Kristian Hesti untuk berhubungan dengan terdakwa selaku panitera/sekretaris PN Jakpus," ungkap jaksa Titto.

Penerimaan kepada Edy Nasution itu, menurut jaksa, setidaknya untuk tiga perkara yaitu pertama penerimaan Rp1,5 miliar untuk revisi penolakan permohonan eksekusi tanah PT JBC, penerimaan Rp100 juta untuk pengurusan penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT MTP, dan penerimaan 50 ribu dolar AS ditambah Rp50 juta untuk pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT AAL meski sudah melewati batas waktu dan membantu perkara yang masih dihadapi Lippo Group di PN Jakpus.

Pada perkara pertama, uang Rp1,5 miliar diberikan agar Eddy melakukan pengurusan perubahan redaksional (revisi) surat jawaban dari PN Jakarta Pusat untuk menolak permohonan eksekusi lanjutan dari ahli waris berdasarkan putusan Raat Van Justitie Nomor 232/1937 tanggal 12 Juli 1940 atas tanah lokasi di Tangerang yaitu agar Eddy Nasution tidak mengirimkan surat tersebut kepada pihak pemohon eksekusi lanjutan.

Menurut putusan, tanah itu merupakan milik dari ahli waris Tan Hok Tjiou namun dikuasai oleh PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC) yang telah dijadikan lapangan golf Gading Raya Serpong sehingga ahli waris Tan Hok Tjioe meminta eksekusi.

Pada saat akan dilakukan eksekusi, PT JBC mengajukan surat keberatan pada 11 November 2013 ke PN Jakpus yang menyatakan untuk sementara tidak dapat dilakukan eksekusi, namun dibalas oleh ahli waris Tan Hok Jioe dengan mengirimkan surat pada November 2014 dan Februari 2015 agar menindaklanjuti pelaksanaan eksekusi.

Eddy Sindoro dan Ervan Adi Nugroho mengutus Wresti Kristian Hesti sebagai staf legal Lippo Group mengurus untuk menolak permohonan eksekusi lanjutan dengan menemui Eddy Nasution pada Agustus 2015.

"Karena setelah beberapa waktu tidak ditindaklanjuti Eddy, maka Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro dan meminta untuk membuat surat memo yang ditujukan kepada promotor yaitu Nurhadi selaku Sekretaris MA RI guna membantu pengurusannya, setelah itu terdakwa menghubungi Wresti dan menyampaikan bahwa dalam rangka pengurusan penolakan atas permohonan eksekusi lanjutan, atas arahan Nurhadi agar disediakan uang sebesar Rp3 miliar," ungkap jaksa Titto.

Pada 13 Agustus 2015, Wresti menyampaikan permintaan uangn itu kepada Eddy Sindoro dan Ervan melalui BBM yang berisi "Pak, pesan sdh disampaikan info yang diterima ybs jmulahnya 3. Tp stlh saya info, ybs coba tekan ke 2, hasilnya spt itu Pak","..maunya dlm bentuk negeri seberang ya..merlion", namun Eddy Sindoro menyanggupinya hanya sebesar Rp1 miliar. Wresti pun menyampaikan kesanggpuan pemberian Rp1 miliar itu kepada Eddy Nasution.

"Namun terdakwa melalui telepon menyampaikan bahwa sesuai arahan Nurhadi yang sering disebut Wu, uang tersebut akan digunakan untuk event tenis seluruh Indonesia yang pada akhirnya terdakwa menurunkan permintaan uang tersebut menjadi sebesar Rp2 miliar," jelas jaksa.

Terhadap permintaan  uang itu, Eddy Sindoro pun hanya menyanggupi pemberian uang Rp1,5 miliar. Wresti menyampaikan hal itu pada 23 September 2015 kepada Edy Nasution, dan Edy pun menyetujuinya
   
Pada 7 Oktober 2015, Edy Nasution menagih uang Rp1,5 miliar kepada Wresti untuk turnamen tenis di Bali. Berdasarkan penelusuran, turnamen tenis itu adalah turnamen tenis beregu memperebutkan piala Ketua Mahkamah Agung pada 10 ¿ 15 Oktober 2015.

Doddy pun mengambil uang dari Ervan pada 26 Oktober 2015 di PT PEI. Selajutnya Doddy menghubungi Eddy Nasution untuk bertemu di hotel Acacia, Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat. Uang Rp1,5 miliar dalam mata uang dolar Singapura pun diserahkan dalam amplop cokelat besar di hotel itu pada sekitar pukul 09.35 WIB.

Hasilnya, pada 5 November 2015, terbit surat jawaban dari PN Jakarta Pusat yang telah ditandatangai oleh Ketua PN Jakpus Gusrizal namun belum diberi tanggal. Namun setelah Wresti mempelajarinya ternyata dalam butir terakhir menyatakan bahwa "terhadap eksekusi yang diduduki PT JBC belum dapat diekseksui", kemudian Wresti meminta Edy untuk melakukan revisi dari "belum dapat dieksekusi" menjadi "tidak dapat dieksekusi".

"Pada 10 November 2015, Wresti melalui telepon meminta terdakwa tidak mengirim surat jawaban dari PN Jakpus dengan alasan akan dikonsultasikan lebih dulu kepada Nurhadi dengan mengatakan 'Pak jangan dikirim dulu ya Pak. karena ini surat besok mau dibawa ke Pak Nur dulu ya, Pak ya' dan dijawab terdakwa 'Iya oke'. Pada saat itu terdakwa juga akan menitipkan surat penelitian anaknya di RS Siloam yang nantinya akan diambil oleh DOddy Aryanto Supeno," ungkap jaksa Titto.

Pada hari yang sama Wresti meminta Ervan untuk menyampaikan ke Eddy Sidnoro agar meminta bantuan kepada Nurhadi yang disebut "Pak End" yang dianggap sebagai promotor untuk membantu pengurusannya melalui pesan BBM berisi "saran sya begini saja Pak, bsk kan Pak Edy ketemu pak End, mungkin kita minta bantuan Pak End supy yg dipusat revisi srt itu".

Akhirnya, surat atas jawaban eksekusi itu tidak pernah dikirimkan Edy Nasution kepada kuasa pemohon eksekusi lanjutan yaitu Supramono.

Kedua penerimaan Rp100 juta untuk pengurusan penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), salah satu anak perusahaan Lippo Group melawan Kymco melalui PN Jakpus sesuai putusan Singapura International Arbitration Centre (SIAC) No 62 tahun 2013 tanggal 1 Juli 2013, ARB No 178 tahun 2010.

SIAC menerbitkan surat yang pada pokoknya PT MTP harus membayar ganti rugi sebesar 11.100 dolar AS terhitung sejak 25 Mei 1996 kepada Kymco. PN Jakpus melakukan pemanggilan teguran (aanmaning) kepada PT MTP melalui surat tanggal 27 Agustus 2015 dan 14 Desember 2015, namun Eddy Sindoro dan Rudy Nanggulangi selaku Direktur Utama PT MTP tidak bisa menghadiri panggilan aanmaning itu. Mereka meminta bantuan Wresti untuk mengupayakan penundaan pelaksanaan aanmaning melalui Edy Nasution.

Wresti menemui Edy di PN Jakpus pada 14 Desember 2015 untuk meminta penundaan aanmaning PT MTP.

"Saat itu terdakwa bersedia membantu penundaan pelaksanaan aanmaning dan meminta disediakan uang sebesar Rp100 juta dengan menyampaikan 'Itu kan yang mau melakukan aanmaning adalah Ketua Pengadilan, kasihlah uang Rp100 juta' dan dijawab Wresti akan menyampaikan kepada Eddy Sindoro dan PT MTP," kata jaksa.

Edy Sindoro menyetujui permintaan itu namun meminta untuk dibuatkan bukti kuitansi. Uang Rp100 juta diantarkan oleh Doddy kepada Edy pada 17 Desember 2016 di hotel Acacia pukul 09.13 WIB.

"Terhadap pengurusan penundaan teguran aanmaning PT MTP tersebut, pihak Lippo Group melalui Wresti atas arahan Eddy Sindoro juga membuat memo yang ditujukan kepada Nurhadi yang diangap sebagai promotor yang dianggap dapat membantu untuk tidak dapat dilakukan eksekusi atas putusan SIAC tersebut," tambah jaksa.

Ketiga, penerimaan 50 ribu dolar AS ditambah Rp50 juta untuk pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) yang diputus kasasi sudah pailit melawan PT First Media Tbk pada 31 Juli 2013 dengan salinan dikirim pada 7 Agustus 2015, namun hingga batas waktu yang telah ditentukan UU, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum.

Pada 15 Februari 2015, Eddy Sindoro meminta Wresti untuk mengajukan PK atas putusan pailit itu dan meminta untuk mengecek di PN Jakpus. Wresti pun menemui Edy Nasution namun Edy Nasution mengatakan pengajuan PK tidak bisa dilakukan dengan alasan telah lewat waktu.

"Terdakwa menyanggupi akan membantu proses pendaftara permohonan PK PT AAL asalkan disediakan uang sebesar Rp500 juta dengan mengatakan 'kasihlah untuk anak-anak itu' maksudnya untuk diberikan di antaranya staf terdakwa yang mengurus pengajuan PK itu," kata jaksa, Wresti melapor kepada Eddy Sindoro.

PT AAL selanjutnya menunjuk kuasa hukum baru yaitu Law Firm Cakra & Co di antaranya Dian Anugerah Abunaim dan Agustriady kemudian meminta Edy Nasution untuk memberikan salinan asli putusan kasasi, namun Edy menyampaikan bahwa salinan sudah dikirim pada 7 Agustus sehingga permohonan PK telah lewat waktu. Namun kuasa PT AAL beralasan salian diberikan ke kuasa lama yang telah dicabut.

Meski Edy Nasution tahu pengajuan PK PT AAL telah lewat waktu, namun ia menyetujui masukan staf Kepaniteraan Niaga Sarwo edy untuk membuat surat pemberitahuan penyamapaian putusan kembali kepada kuasa hukum baru dan dilampirkan pencabutan kuasa yang lama yang dikirim pada 25 Februari 2016 dengan diandatangi Edy Nasution.

"Terhadap pengurusan PK tersebut, terdakwa menerima uang dari salah satu kuasa hukum yang bari yaitu Agustriadhy sebesar 50 ribu dolar AS yang terbungkus amplop cokelat," ungkap jaksa.

Untuk memenuhi permintaan PT AAL itu, Edy sekitar akhir Februari 2016 memanggil stafnya Sarwo Edi dan Irdiansyah untuk menerima pengajuakn PK dan memberikan 1 ampolp berisi 4 lembar pecahan 1000 dolar Singapura  kepada Sarwo dan Irdiansyah.

Akhirnya, kuasa baru PT AAL pun mengirimkan permohonan PK pada 2 Maret 2016.

"Setelah terdakwa mengetahui kelengkapan berkasnya dan terdakwa juga dihubungi Nurhadi selaku Sekretaris MS melalui telepon yang meminta berkas niaga perkara PT AAL untuk segera dikirim ke MA, terdakwa mengirim ke MA pada 30 Maret," jelas jaksa .

Pada 18 April 2016, Ervan dan Wresti masih memnta Edy Nasution membantu perkara yang dihadapi Lippo Group di PN Jakpus. Edy juga dihubungi Doddy ada titipan uang dari Wresti yang berasal dari Ervan yang dianggap hadiap perkawinan anak Edy. Uang sebesar Rp50 juta itu diberikan pada 20 April di hotel Acacia, kemudian petugas KPK menangkap Edy dan Doddy.

Atas dakwaan itu, Edy Nasution mengaku mengerti dan tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi). Sidang dilanjutkan pada 14 September 2016.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016