Jakarta (Antara Babel) - Kadin mengusulkan agar pemerintah segera
membentuk tim independen yang beranggotakan wakil dari pemerintah,
akademisi, dan nelayan untuk mengkaji berbagai alat tangkap pukat hela
dan pukat tarik, termasuk cantrang yang dilarang pengoperasiannya.
"Tim tersebut bertugas untuk mengkaji secara ilmiah, apa betul semua alat tangkap yang dilarang tersebut merusak lingkungan," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto kepada pers di Jakarta, Selasa.
Yugi mengemukakan keterangan tersebut terkait adanya larangan pengoperasian berbagai alat tangkap pukat hela dan pukat tarik, termasuk cantrang, berdasarkan Permen No.2/Permen-KP/2015 dan Permen No.71/Permen-KP/2016.
Menurut pengurus Kadin tersebut, andaikata pengoperasian berbagai alat tangkap pukat hela dan pukat tarik termasuk cantrang benar merusak lingkungan, maka tim independen itu perlu mencari alternatif alat tangkap pengganti yang tidak merusak lingkungan.
Ia berpendapat, mengoperasikan alat tangkap yang ramah lingkungan sesuai keinginan pemerintah tidak harus dengan melarang penggunaan alat tangkapnya, namun bisa dengan cara mengaturnya.
"Rekomendasi Ombudsman kalau tidak salah mengatakan perlunya menunda aturan yang ada. Kemudian melakukan sosialisasi peraturan, dan perlunya melakukan kajian baru setelah tahap tersebut dilakukan. Lalu pemerintah menerbitkan peraturan baru untuk waktu minimal dua tahun," katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, para nelayan cantrang tetap mengharapkan agar cantrang bisa dilegalkan secara nasional, atau paling tidak pelarangannya diundur lagi, dua sampai tiga tahun untuk penyesuaian.
Fakta di lapangan, pemerintah belum serius untuk mempersiapkan peralihan, termasuk menyediakan bahan baku jaring yang masih minim.
"Terkait permodalan, nelayan masih punya hutang lama di bank. Sekarang kapal cantrang sudah dilarang beroperasi dan dianggap bermasalah. Lalu, apa ada pihak bank yang mau mengucurkan tambahan modal secara cuma cuma dan tanpa bunga?," kata Yugi.
Sementara itu fakta di lapangan menunjukkan, kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melarang kapal ikan menggunakan cantrang mulai berdampak. Terdapat sekitar 15 pabrik surimi berhenti beroperasi sejak awal Januari 2017.
Pabrik-pabrik itu mengalami kekurangan pasokan yang berdampak pada produktivitas mereka yang anjlok. Akibatnya sekitar 15 pabrik surimi memilih setop beroperasi sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP51) Budhi Wibowo baru-baru ini mengemukakan, pabrik surimi sudah mulai kekurangan bahan baku ikan. Mereka memang membutuhkan bahan baku ikan berukuran kecil.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
"Tim tersebut bertugas untuk mengkaji secara ilmiah, apa betul semua alat tangkap yang dilarang tersebut merusak lingkungan," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto kepada pers di Jakarta, Selasa.
Yugi mengemukakan keterangan tersebut terkait adanya larangan pengoperasian berbagai alat tangkap pukat hela dan pukat tarik, termasuk cantrang, berdasarkan Permen No.2/Permen-KP/2015 dan Permen No.71/Permen-KP/2016.
Menurut pengurus Kadin tersebut, andaikata pengoperasian berbagai alat tangkap pukat hela dan pukat tarik termasuk cantrang benar merusak lingkungan, maka tim independen itu perlu mencari alternatif alat tangkap pengganti yang tidak merusak lingkungan.
Ia berpendapat, mengoperasikan alat tangkap yang ramah lingkungan sesuai keinginan pemerintah tidak harus dengan melarang penggunaan alat tangkapnya, namun bisa dengan cara mengaturnya.
"Rekomendasi Ombudsman kalau tidak salah mengatakan perlunya menunda aturan yang ada. Kemudian melakukan sosialisasi peraturan, dan perlunya melakukan kajian baru setelah tahap tersebut dilakukan. Lalu pemerintah menerbitkan peraturan baru untuk waktu minimal dua tahun," katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, para nelayan cantrang tetap mengharapkan agar cantrang bisa dilegalkan secara nasional, atau paling tidak pelarangannya diundur lagi, dua sampai tiga tahun untuk penyesuaian.
Fakta di lapangan, pemerintah belum serius untuk mempersiapkan peralihan, termasuk menyediakan bahan baku jaring yang masih minim.
"Terkait permodalan, nelayan masih punya hutang lama di bank. Sekarang kapal cantrang sudah dilarang beroperasi dan dianggap bermasalah. Lalu, apa ada pihak bank yang mau mengucurkan tambahan modal secara cuma cuma dan tanpa bunga?," kata Yugi.
Sementara itu fakta di lapangan menunjukkan, kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melarang kapal ikan menggunakan cantrang mulai berdampak. Terdapat sekitar 15 pabrik surimi berhenti beroperasi sejak awal Januari 2017.
Pabrik-pabrik itu mengalami kekurangan pasokan yang berdampak pada produktivitas mereka yang anjlok. Akibatnya sekitar 15 pabrik surimi memilih setop beroperasi sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP51) Budhi Wibowo baru-baru ini mengemukakan, pabrik surimi sudah mulai kekurangan bahan baku ikan. Mereka memang membutuhkan bahan baku ikan berukuran kecil.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017