Jakarta (Antara Babel) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Yohana Yembise mengatakan peran orang tua diperlukan untuk menjalin
komunikasi yang penuh kasih sayang dengan anak serta mengawasi kegiatan
anak sehingga merasa aman dan terlindungi.
Hal itu dikatakan Yohanna saat datang ke Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, bersama Komisi VIII DPR RI untuk menyosialisasikan Undang-Undang No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Upaya perlindungan anak ini adalah merupakan tugas kita bersama, melindungi satu orang anak artinya melindungi bangsa Indonesia," ujar Yohanna dalam rilis yang diterima Antara di Jakarta, Sabtu.
Selain itu, maraknya pornografi anak oleh pedofilia juga harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat.
Apalagi melalui UU yang baru, mekanisme penegakan hukum bagi pelaku perlu ditingkatkan untuk menimbulkan efek jera dari pelaku dan masyarakat dapat berperan serta dengan melakukan pemantauan bersama terhadap proses penegakan hukum sehingga pelaku bisa dijatuhi hukuman yang semestinya.
UU itu mengatur ancaman hukuman bagi siapa saja yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak dengan memberikan hukuman yang jauh lebih berat dari sebelumnya yaitu hukuman pidana penjara 20 tahun, seumur hidup dan hukuman mati.
Selain itu diberikan juga hukuman pidana tambahan berupa publikasi identitas pelaku kekerasan dan hukuman pidana tindakan berupa pemasangan alat pendeteksi serta kebiri kimia.
"Peran keluarga sangat penting, khususnya dalam melindungi anak dari bahaya predator-predator di luar," kata dia.
Acara Sosialisasi UU No.17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dihadiri oleh 300 peserta yang berasal dari seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah itu diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya keluarga dan masyarakat dalam melindungi anak.
"Kami harapkan terciptanya masyarakat yang saling peduli dan sensitif terhadap berbagai tindak kekerasan untuk mencegah secara dini terjadinya kekerasan terhadap anak guna mewujudkan kehidupan damai dan sejahtera dalam NKRI yang sangat kita cintai," ucap dia.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Iskan Qolba Lubis menuturkan Undang-Undang itu merupakan wujud kehadiran negara untuk melindungi perempuan dan anak di Indonesia.
"Negara tergolong maju jika 50 persen perempuan memiliki peran dalam pembangunan, memperhatikan ibu dan anak karena kesehatan dan kecerdasan anak merupakan cerminan masa depan bangsa yang baik. Kita harus bergerak bersama melawan segala bentuk kejahatan pada anak," kata Iskan
Menurutnya, banyak kemajuan yang telah dilakukan di bidang perlindungan anak, namun masih banyak pula tantangan yang harus dielesaikan bersama, seperti maraknya tindak kekerasan terhadap anak yang telah menjadi praktik budaya di sebagian masyarakat karena menganggap bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar digunakan untuk mendisiplinkan dan membuat anak patuh.
"Pendekatan yang mengedepankan kekerasan dalam mendidik anak mungkin saja dapat mendisiplinkan anak pada saat itu, namun sesungguhnya anak justru merasa tertekan dan bisa menimbulkan amarah serta dendam," ujarnya.
Ia berpendapat pendekatan itu harus dihentikan dan digantikan model pengasuhan yang memberi kebebasan bagi anak untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan minat dan bakatnya dengan memberi keleluasaan bagi anak untuk mengoptimalkan Emotional Intelligence-nya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
Hal itu dikatakan Yohanna saat datang ke Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, bersama Komisi VIII DPR RI untuk menyosialisasikan Undang-Undang No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Upaya perlindungan anak ini adalah merupakan tugas kita bersama, melindungi satu orang anak artinya melindungi bangsa Indonesia," ujar Yohanna dalam rilis yang diterima Antara di Jakarta, Sabtu.
Selain itu, maraknya pornografi anak oleh pedofilia juga harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat.
Apalagi melalui UU yang baru, mekanisme penegakan hukum bagi pelaku perlu ditingkatkan untuk menimbulkan efek jera dari pelaku dan masyarakat dapat berperan serta dengan melakukan pemantauan bersama terhadap proses penegakan hukum sehingga pelaku bisa dijatuhi hukuman yang semestinya.
UU itu mengatur ancaman hukuman bagi siapa saja yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak dengan memberikan hukuman yang jauh lebih berat dari sebelumnya yaitu hukuman pidana penjara 20 tahun, seumur hidup dan hukuman mati.
Selain itu diberikan juga hukuman pidana tambahan berupa publikasi identitas pelaku kekerasan dan hukuman pidana tindakan berupa pemasangan alat pendeteksi serta kebiri kimia.
"Peran keluarga sangat penting, khususnya dalam melindungi anak dari bahaya predator-predator di luar," kata dia.
Acara Sosialisasi UU No.17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dihadiri oleh 300 peserta yang berasal dari seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah itu diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya keluarga dan masyarakat dalam melindungi anak.
"Kami harapkan terciptanya masyarakat yang saling peduli dan sensitif terhadap berbagai tindak kekerasan untuk mencegah secara dini terjadinya kekerasan terhadap anak guna mewujudkan kehidupan damai dan sejahtera dalam NKRI yang sangat kita cintai," ucap dia.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Iskan Qolba Lubis menuturkan Undang-Undang itu merupakan wujud kehadiran negara untuk melindungi perempuan dan anak di Indonesia.
"Negara tergolong maju jika 50 persen perempuan memiliki peran dalam pembangunan, memperhatikan ibu dan anak karena kesehatan dan kecerdasan anak merupakan cerminan masa depan bangsa yang baik. Kita harus bergerak bersama melawan segala bentuk kejahatan pada anak," kata Iskan
Menurutnya, banyak kemajuan yang telah dilakukan di bidang perlindungan anak, namun masih banyak pula tantangan yang harus dielesaikan bersama, seperti maraknya tindak kekerasan terhadap anak yang telah menjadi praktik budaya di sebagian masyarakat karena menganggap bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar digunakan untuk mendisiplinkan dan membuat anak patuh.
"Pendekatan yang mengedepankan kekerasan dalam mendidik anak mungkin saja dapat mendisiplinkan anak pada saat itu, namun sesungguhnya anak justru merasa tertekan dan bisa menimbulkan amarah serta dendam," ujarnya.
Ia berpendapat pendekatan itu harus dihentikan dan digantikan model pengasuhan yang memberi kebebasan bagi anak untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan minat dan bakatnya dengan memberi keleluasaan bagi anak untuk mengoptimalkan Emotional Intelligence-nya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017