Jakarta (Antara Babel) - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yakin kalau Presiden Joko Widodo akan mendukung wacana untuk menggulirkan hak angket terkait kasus dugaan korupsi proyek KTP Elektronik (KTP-E).

"Saya katakan, lebih baik kita investigasi secara menyeluruh supaya benar-benar bisa terbuka. Beliau kan Presiden, semakin terang makin positif saja melihatnya. Jadi tidak ada masalah, toh kasus ini terjadi di pemerintahan periode lalu, bukan beliau. Artinya pak Jokowi bersih tangannya di sini," kata Fahri di kompleks Istana Presiden Jakarta, Selasa.

Fahri menyampaikan hal itu seusai Pertemuan Silaturahim Presiden dengan pimpinan lembaga negara yang dihadiri oleh pimpinan MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK serta Komisi Yudisial di Istana Merdeka.

"Malah saya lihat yang tidak bersih itu ketua KPK. Karena itu dia harus mengundurkan diri. Dia tidak boleh terlibat dalam kasus ini. Ini mirip kritik saya dulu dengan kasus Century ketika BW (Bambang Widjojanto) punya 'conflik of interest' karena dia menjadi pengacara LPS. Ini konfliknya terlalu kentara karena sebagai ketua LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), Pak Agus itu melobi untuk satu konsorsium. Bahkan ada pernyataan yang mengancam, 'kalau bukan itu yang memang akan gagal'. Agus yang bicara begitu," tambah Fahri.

Namun Fahri mengaku bahwa Presiden Jokowi belum memberikan dukungan mengenai usulan hak angket tersebut.

"Saya katakan ini bukan kasus di pemerintah sekarang, jadi saya harap presiden mendukung. Ya kita tunggu saja respon presiden," ungkap Fahri.

Fahri pun mengaku bahwa hak angket itu hanya bertujuan untuk memperjelas pengadaan KTP-E tersebut karena ia tidak yakin sistem pengadaan di Kementerian Dalam Negeri korup.

"Saya tidak percaya sistem pengadaan kita sekorup ini. Saya tidak percaya. Sistem pengadaan kita itu sudah baik, bahkan dalam kasus KTP-E, saya membaca azas 'prudential' dari Pak Gamawan sudah dilaksanakan dengan baik. Cuma itu yang saya sayangkan, ada banyak sekali keterangan dari para pejabat yang tidak dimasukkan dalam dakwaan. Jadi dakwaan ini sepihak. Oleh karena itu saya duga ini adalah kelakuan ketua KPK. Jadi sebaiknya dia mengundurkan diri," tambah Fahri.

Fahri masih meyakini bahwa dakwaan KTP-E sudah dipotong-potong.

"Buktinya dakwaannya seperti begini, ini kan masalah, keterangan orang dipotong-potong, yang merugikan dia tidak disebut. Kenapa tidak disebut kronologi di situ bahwa dia (Agus) ikut melobi? Harusnya dia bicara terbuka ikut melobi begitu ya," ungkap Fahri.

Menurut Fahri kejanggalan lain adalah hasil temuan BPK dan KPK berbeda.

"Begitu Agus menjadi ketua KPK dan menetapkan tersangka, begitu lho. Artinya dia membawa konflik lama yang dia sudah hadapi dari awal karena dia (Agus) membawa konsorsium, begitu loh," tambah Fahri.

Dalam kasus ini, baru ada dua orang terdakwa yang dihadapkan ke muka persidangan yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.

Keduanya didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Anggaran KTP-E bernilai total Rp5,92 triliun dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017