Jakarta (Antara Babel) - Restorasi hidrologis menjadi salah satu cara yang harus dilakukan untuk mengembalikan fungsi lahan gambut yang rusak. Karena, tidak mungkin revegetasi di gambut yang rusak dan belum juga basah tersebut akan berhasil.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG) telah dijelaskan tentang tugas mengoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut pada Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Perpres memang menyebut tentang rencana dan pelaksanaan restorasi ekosistem gambut dalam jangka waktu lima tahun sejak 2016 untuk kawasan kurang lebih dua juta hektare. Namun BRG menetapkan total luasan yang harus direstorasi mencapai 2.492.527 hektare (ha).
Upaya pembasahan gambut telah dilaksanakan dengan membangun hingga 15.000 infrastruktur sekat kanal (canal blocking) hingga akhir 2016. Angka ini sudah pasti akan bertambah mengingat target restorasi 2017 yang mencapai 400.000 ha ditambah pula dengan sisa target restorasi 2016 yang belum tergarap.
Dengan area lahan gambut yang direstorasi begitu luas tentu diperlukan cara yang praktis untuk mengetahui efektivitas pembasahan melalui sekat kanal yang telah terbangun. Alat pemantauan muka air (water logger telemetri) menjadi teknologi yang dipilih BRG untuk mengetahui level permukaan air di tanah gambut nyaris secara "real time".
"Setelah pemetaan, perencanaan, pelibatan masyarakat (dalam pelaksanaan tahapan restorasi) tentu monitoring juga penting dilakukan. Karena bagaimana pun pasti ada faktor alam dan sosial yang bisa jadi bermasalahan," kata Kepala BRG Nazir Foead.
Ada 285 "water logger" yang dicadangkan untuk memantau muka air di lahan gambut di tujuh provinsi. Sebanyak 200 unit, menurut Nazir, merupakan Morpalaga buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan 85 "Sensory Data Transmission Service Assisted by Midori Engineering" (Sesame) merupakan hibah dari JICA.
Saat ini, sudah ada 20 "water logger" terpasang untuk uji coba mengukur muka air di lahan gambut, 12 di antaranya merupakan Sesame buatan Jepang, sedangkan delapan lainnya merupakan Morpalaga buatan BPPT.
Sebanyak 10 unit water level terbagi dari empat unit terpasang di dua Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Palangkaraya, dua unit terpasang di satu KHG Kabupaten Kepulauan Meranti, dua unit terpasang di dua KHG di Kabupaten Musi Banyuasin dan dua unit lainnya di dua KHG di Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Penentuan titik pemasangan water logger tersebut, menurut Nazir, mengacu ke kriteria yang ditetapkan di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) P.15/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut.
"Dan sekarang sedang kita hitung jarak titik-titik water loggernya. Tapi kita lakukan cara hibrid juga nantinya dengan mengombinasikan water logger telemetri dengan yang konvensional, terutama untuk lokasi yang tidak memperoleh jaringan provider telekomunikasi," ujar dia.
Sebelumnya Nazir mengatakan akan berkordinasi lebih lanjut dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara untuk mencari teknologi telekomunikasi yang mungkin dapat dimanfaatkan selain mengunakan signal dari provider untuk menjangkau lokasi lebih luas.
Kerja Water Logger
Alat pemantau air di lahan gambut berbasis sensor dari Jepang yang digunakan dapat mengumpulkan data secara "real time" setiap 10 menit, dan akan dikirimkan setiap satu jam sekali langsung ke server yang berada di Midori Engineering Laboratory Hokkaido, sebelum ditransfer kembali ke Indonesia.
Namun sekarang, dengan Morpalaga yang dikembangkan BPPT dan pengelolaan data dengan server sendiri juga sudah dapat dilakukan di Indonesia yang dipusatkan di Puspiptek Serpong, informasi level muka air di lahan gambut bisa terpantau langsung secara mandiri.
Pada Sesame dan Morpalaga yang diuji coba bersamaan dan dipasang di Palangkaraya, ahli gambut Universitas Palangkaraya Aswin Usup mengatakan dilengkapi dengan tujuh jenis sensor yang diantaranya bertujuan untuk mengetahui kelembapan, temperatur udara, level muka air gambut dan curah hujan.
Alat sensor, ia mengatakan, dipasang menjulur ke dalam lahan gambut dan terhubung ke data logger yang juga terhubung dengan panel surya dan baterai untuk energi operasi alat ini yang mampu bertahan hingga tujuh hari. Selain itu dalam boks pemantau yang di dalamnya juga terdapat pula "SIM card" dari provider telekomunikasi untuk mengirimkan secara "real time" data yang telah terkumpul dari data logger.
Sebelumnya, menurut CEO Head Director Midori Engineering Laboratory Co Ltd Yukihisa Shigenaga, frekuensi pengumpulan data dari sensor ke data logger dapat diset untuk setiap 10 menit sekali atau lebih lama lagi, dan informasi pada data logger juga dapat diset untuk dikirimkan ke server setiap satu jam sekali atau lebih sesuai dengan kebutuhan.
Uji coba keandalan kinerja water logger ini, menurut Nazir, idealnya dilakukan dalam dua musim kemarau atau minimal satu tahun. Nantinya alat-alat yang digunakan untuk memantau tingkat keberhasilan pembasahan lahan gambut ini sekaligus menjadi "early warning system" untuk mendeteksi level muka air gambut yang lebih dari minus 40 centimeter (cm) dari permukaan lahan untuk pencegahan kebakaran lahan gambut.
"Jika air terdeteksi lebih dari minus 40 cm berarti rawan terbakar, pembasahan harus segera dilakukan agar tidak terbakar, bisa mengandalkan air dari embung yang sudah dibangun atau dari sumur bor," katanya.
Teknologi ini akan dipasang di lahan masyarakat, kawasan lindung, hingga konsesi perusahaan, dan pengaturan peletakannya disesuaikan dengan Permen LHK. "Penentuan titiknya perlu mengacu ke kriteria yang ditetapkan di Permen LHK, dan sedang kita hitung sesuai Permen LHK titik-titik pasang alatnya," katanya.
Baik data water logger yang dipasang di lahan masyarakat maupun konsesi rencananya akan dikumpulkan ke server BPPT di Puspiptek Serpong dan dapat terpantau melalui website atau aplikasi. Dari sini kesuksesan atau tidak pembasahan, pemantauan tinggi level muka air gambut sebagai bentuk "early warning system" terjadinya kebakaran lahan, sekaligus kepatuhan perusahaan menjaga tinggi level muka air gambut sesuai kebijakan Pemerintah dapat terlihat.
Untuk memantau level muka air lahan gambut di area konsesi maka perusahaan juga diwajibkan memasang alat pemantau ketinggian air ini. Data dari alat pantau air mereka nanti rencananya juga akan disambungkan ke server yang ada di BPPT. Sehingga dari sana restorasi gambut oleh perusahaan Yang totalnya mencapai sekitar 1,4 juta ha juga dapat terpantau.
Tidak hanya dengan water logger telemetri, teknologi pengukuran muka air lahan gambut nyaris secara "real time" ini, menurut Nazir, rencananya juga akan disandingkan dengan citra satelit yang mendeteksi kelembapan tanah di lahan gambut. Meski tidak bisa menunjukkan detil hingga level muka air gambut namun bisa mendeteksi kondisi kering atau basah suatu lahan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG) telah dijelaskan tentang tugas mengoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut pada Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Perpres memang menyebut tentang rencana dan pelaksanaan restorasi ekosistem gambut dalam jangka waktu lima tahun sejak 2016 untuk kawasan kurang lebih dua juta hektare. Namun BRG menetapkan total luasan yang harus direstorasi mencapai 2.492.527 hektare (ha).
Upaya pembasahan gambut telah dilaksanakan dengan membangun hingga 15.000 infrastruktur sekat kanal (canal blocking) hingga akhir 2016. Angka ini sudah pasti akan bertambah mengingat target restorasi 2017 yang mencapai 400.000 ha ditambah pula dengan sisa target restorasi 2016 yang belum tergarap.
Dengan area lahan gambut yang direstorasi begitu luas tentu diperlukan cara yang praktis untuk mengetahui efektivitas pembasahan melalui sekat kanal yang telah terbangun. Alat pemantauan muka air (water logger telemetri) menjadi teknologi yang dipilih BRG untuk mengetahui level permukaan air di tanah gambut nyaris secara "real time".
"Setelah pemetaan, perencanaan, pelibatan masyarakat (dalam pelaksanaan tahapan restorasi) tentu monitoring juga penting dilakukan. Karena bagaimana pun pasti ada faktor alam dan sosial yang bisa jadi bermasalahan," kata Kepala BRG Nazir Foead.
Ada 285 "water logger" yang dicadangkan untuk memantau muka air di lahan gambut di tujuh provinsi. Sebanyak 200 unit, menurut Nazir, merupakan Morpalaga buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan 85 "Sensory Data Transmission Service Assisted by Midori Engineering" (Sesame) merupakan hibah dari JICA.
Saat ini, sudah ada 20 "water logger" terpasang untuk uji coba mengukur muka air di lahan gambut, 12 di antaranya merupakan Sesame buatan Jepang, sedangkan delapan lainnya merupakan Morpalaga buatan BPPT.
Sebanyak 10 unit water level terbagi dari empat unit terpasang di dua Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Palangkaraya, dua unit terpasang di satu KHG Kabupaten Kepulauan Meranti, dua unit terpasang di dua KHG di Kabupaten Musi Banyuasin dan dua unit lainnya di dua KHG di Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Penentuan titik pemasangan water logger tersebut, menurut Nazir, mengacu ke kriteria yang ditetapkan di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) P.15/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut.
"Dan sekarang sedang kita hitung jarak titik-titik water loggernya. Tapi kita lakukan cara hibrid juga nantinya dengan mengombinasikan water logger telemetri dengan yang konvensional, terutama untuk lokasi yang tidak memperoleh jaringan provider telekomunikasi," ujar dia.
Sebelumnya Nazir mengatakan akan berkordinasi lebih lanjut dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara untuk mencari teknologi telekomunikasi yang mungkin dapat dimanfaatkan selain mengunakan signal dari provider untuk menjangkau lokasi lebih luas.
Kerja Water Logger
Alat pemantau air di lahan gambut berbasis sensor dari Jepang yang digunakan dapat mengumpulkan data secara "real time" setiap 10 menit, dan akan dikirimkan setiap satu jam sekali langsung ke server yang berada di Midori Engineering Laboratory Hokkaido, sebelum ditransfer kembali ke Indonesia.
Namun sekarang, dengan Morpalaga yang dikembangkan BPPT dan pengelolaan data dengan server sendiri juga sudah dapat dilakukan di Indonesia yang dipusatkan di Puspiptek Serpong, informasi level muka air di lahan gambut bisa terpantau langsung secara mandiri.
Pada Sesame dan Morpalaga yang diuji coba bersamaan dan dipasang di Palangkaraya, ahli gambut Universitas Palangkaraya Aswin Usup mengatakan dilengkapi dengan tujuh jenis sensor yang diantaranya bertujuan untuk mengetahui kelembapan, temperatur udara, level muka air gambut dan curah hujan.
Alat sensor, ia mengatakan, dipasang menjulur ke dalam lahan gambut dan terhubung ke data logger yang juga terhubung dengan panel surya dan baterai untuk energi operasi alat ini yang mampu bertahan hingga tujuh hari. Selain itu dalam boks pemantau yang di dalamnya juga terdapat pula "SIM card" dari provider telekomunikasi untuk mengirimkan secara "real time" data yang telah terkumpul dari data logger.
Sebelumnya, menurut CEO Head Director Midori Engineering Laboratory Co Ltd Yukihisa Shigenaga, frekuensi pengumpulan data dari sensor ke data logger dapat diset untuk setiap 10 menit sekali atau lebih lama lagi, dan informasi pada data logger juga dapat diset untuk dikirimkan ke server setiap satu jam sekali atau lebih sesuai dengan kebutuhan.
Uji coba keandalan kinerja water logger ini, menurut Nazir, idealnya dilakukan dalam dua musim kemarau atau minimal satu tahun. Nantinya alat-alat yang digunakan untuk memantau tingkat keberhasilan pembasahan lahan gambut ini sekaligus menjadi "early warning system" untuk mendeteksi level muka air gambut yang lebih dari minus 40 centimeter (cm) dari permukaan lahan untuk pencegahan kebakaran lahan gambut.
"Jika air terdeteksi lebih dari minus 40 cm berarti rawan terbakar, pembasahan harus segera dilakukan agar tidak terbakar, bisa mengandalkan air dari embung yang sudah dibangun atau dari sumur bor," katanya.
Teknologi ini akan dipasang di lahan masyarakat, kawasan lindung, hingga konsesi perusahaan, dan pengaturan peletakannya disesuaikan dengan Permen LHK. "Penentuan titiknya perlu mengacu ke kriteria yang ditetapkan di Permen LHK, dan sedang kita hitung sesuai Permen LHK titik-titik pasang alatnya," katanya.
Baik data water logger yang dipasang di lahan masyarakat maupun konsesi rencananya akan dikumpulkan ke server BPPT di Puspiptek Serpong dan dapat terpantau melalui website atau aplikasi. Dari sini kesuksesan atau tidak pembasahan, pemantauan tinggi level muka air gambut sebagai bentuk "early warning system" terjadinya kebakaran lahan, sekaligus kepatuhan perusahaan menjaga tinggi level muka air gambut sesuai kebijakan Pemerintah dapat terlihat.
Untuk memantau level muka air lahan gambut di area konsesi maka perusahaan juga diwajibkan memasang alat pemantau ketinggian air ini. Data dari alat pantau air mereka nanti rencananya juga akan disambungkan ke server yang ada di BPPT. Sehingga dari sana restorasi gambut oleh perusahaan Yang totalnya mencapai sekitar 1,4 juta ha juga dapat terpantau.
Tidak hanya dengan water logger telemetri, teknologi pengukuran muka air lahan gambut nyaris secara "real time" ini, menurut Nazir, rencananya juga akan disandingkan dengan citra satelit yang mendeteksi kelembapan tanah di lahan gambut. Meski tidak bisa menunjukkan detil hingga level muka air gambut namun bisa mendeteksi kondisi kering atau basah suatu lahan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017