Satu truk sarat muatan pucuk daun teh menuruni jalan aspal di kawasan perkebunan teh di Kecamatan Kabawetan, Kabupaten Kabahiang, Bengkulu.

Truk berjalan pelan karena selain melewati jalan turunan yang menikung juga karena sudah mendekati pabrik teh yang berada di depan perkebunan.

"Muatannya sekitar empat ton untuk truk itu," kata Jumono yang menjabat Wakil Administratur Perkebunan Teh Kabawetan yang kini dikelola oleh PT Sarana Mandiri Mukti (SMM) sambil menunjuk truk yang baru saja berpapasan dengannya.

Saat itu Jumono sedang mendampingi sekitar 200 siswa dari berbagai daerah di Indonesia. Para siswa ini sedang mengikuti program Lawatan Sejarah Nasioal 2007 di Bengkulu yang salah satunya adalah perkebunan teh yang berdiri sejak zaman kolonial belanda.

Acara ini digelar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 14-18 Mei 2018 di Bengkulu bertujuan agar para siswa bisa memahami sejarah bangsa ini dan tidak sekadar membaca dari literatur atau melihat foto-fotonya saja.

Kepada para siswa, Jumono juga mengajarkan cara memetik daun teh yang terbaik, yakni tiga pucuk daun teratas.

"Pekerja yang memetik bisa 1.200 orang yang semuanya adalah warga sekitar di sini. Mereka dibayar berdasarkan hasil petikan yang siap dibawa ke pabrik," katanya.

Untuk menjaga kualitas daun teh, pihak perusahaan memangkas dahan pohon teh setiap empat tahun sekali sehingga akan memicu pertumbunan ranting teh baru. Dan, ranting teh baru siap menghasilkan pucuk daun teh untuk dipetik.

Perkebunan teh ini hanya berjarak sekitar empat kilometer dari  Ibu Kota Kabupaten Kapahiang dan berada pada ketinggan 400-1.000 di atas permukaan laut. Lokasinya berada di lereng Bukit Kaba.

    
Masih Asli

Di depan perkebunan berdiri pabrik seluas satu hektare yang hampir seluruh bangunannya masih asli dibuat pada zaman kolonial Belanda tahun 1925.

Memang pengelola perkebunan saat ini sudah memperbaiki sejumlah bangunan, namun bangunan induk masih tetap asli, bahkan sebagian atap dari seng masih asli seperti apa adanya.  

"Atap seng peninggalan Belanda masih bagus karena lebih tebal dibandingkan buatan sekarang. Kelihatannya berkarat tapi masih baik. Yang sebelah kanan itu masih asli, sedangkan yang kiri sudah diganti," kata Kepala Pabrik Teh Ngadiyanto sambil menunjuk atap pabrik teh yang berwarna coklat karena dimakan usia.

Hanya kaca-kaca saja yang sudah pernah diganti secara keseluruhan,  bahkan desain teras masih asli.

Pabrik teh ini kini sudah tidak lagi memproduksi teh hitam sejak 1993 dan fokus untuk memproduksi teh hijau karena pangsa pasar yang lebih baik.

Sebetulnya bahan baku teh hitam dengan teh hijau sama, yakni jenis TRI 2025. Yang membedakan hanya pada cara pengolahannya saja.

Teh hitam mengalami proses fermentasi pada pengolahan, sedangkan teh hijau hanya mengalami proses pengeringan hingga kadar air 5 persen.

Untuk membuat teh hijau, pucuk daun teh yang masuk pabrik lalu dilayukan hingga kadar air 75 persen, kemudian masuk ke mesin pengeringan hingga kadar air 50 persen. Proses berikutnya adalah teh kering digoreng hingga kadar air mencapai 5 persen.

Namun, sayangnya pabrik ini tidak memproduksi teh hijau yang siap dikonsumsi karena proses selanjutnya adalah teh kering dikirim pabrik di Kota Bandung untuk diproses akhir sebelum dikirim ke konsumen.

Boleh dikata, pabrik ini hanya menjadi penyedia teh setengah jadi.

Untuk mengeringkan daun teh, pabrik ini sudah tidak lagi menggunakan kayu bakar dan telah beralih mengunakan elpiji dan pelet kayu. Pabrik ini memiliki dua tangki duduk untuk menampung elpiji yang masing-masing berkapasitas delapan ton.

Jika menggunakan kayu bakar teh kering ikut terkontaminasi zat buang pembakaran kayu sehingga pihak pabrik di Bandung tidak mau menerima.    

Pasang Surut  

Perjalanan kebun teh ini sejak 92 tahun lalu atau 1925 juga mengalami pasang surut seiring dengan dinamika sejarah bangsa, baik sebelum atapun sesudah kemerdekaan.

Perkebunan teh seluas 1.911 ha itu dibuat oleh perusahaan Belanda pada 1925, namun baru mulai tanam 1933 dengan fokus memproduksi teh hitam.

Pada 1942-1945, perkebunan ini diambil alih Jepang yang saat itu berkuasa di Indonesia, termasuk Bengkulu. Setelah Indonesia merdeka, perkebunan diambil pemerintah Indonesia.

Pada 1968, perkebunan dikelola Pemeritah Jambi karena sebelumnya produksinya terus menurun.

Pemprov Bengkul pada 1980 menggandeng salah satu yayasan untuk membentuk PT Sarana Mandiri Mukti untuk mengelola perkebunan itu. Sebelumnya, perkebunan itu sempat disewakan ke PT Perkebunan Nusantara  XIII, namun tidak bisa mendorong kinerja perkebunan itu.

Estate Manager PT Sarana Mandiri Mukti Agus KH mengatakan pada 2007 perusahaan mengalami krisis sehingga produksi anjlog dari 20 ton menjadi 10 ton per hari dan krisis terus berlanjut hingga kesulitan untuk membayar karyawan dan biaya operasional.

Pada 2009, kepemilikan saham perusahaan itu beralih ke swasta hingga 64 persen, sedangkan sisanya dimiliki pemerintah daerah.

"Sejak 2009, produksi naik pesat hingga saat ini. Dari 10 ton per hari menjadi tiga kali lipatnya," kata Agus.

Kini, perkebunan teh itu tidak hanya menghasilkan pucuk daun teh terbaik tapi juga telah menjadi salah satu objek wisata di daerah itu.

Pengunjung dapat menikmati hamparan hijau tanaman teh di lereng bukit sambil menghirup udara segar di lereng bukit yang tidak terkontaminasi dengan asap kendaraan bermotor.

Sebelum ke lokasi perkebunan, wisatawan juga sudah disuguhi hamparan hijau di sepanjang jalan dari Ibu Kota Kabupaten Kapahiang, kendati jalannya banyak belokan.

Kedai yang menjual aneka makanan dan minuman juga telah tersedia di tempat ini.

Agus mengatakan perkebunan teh selain memberikan dampak ekonomi  juga dampak sosial ke masyarakat sekitar karena 60 persen biaya dipakai untuk membayar upah buruh, sedangkan para buruh berasal dari warga sekitar.

Menurut dia, tanaman teh merupakan perkebunan yang paling banyak menyerap tenaga dibandingkan dengan kebun karet atau sawit yang juga banyak ditemui di Bengkulu.

"Ini fakta sejarah. Pada 1925, perkebunan berdiri hingga hari ini," katanya.

Pewarta: Santoso

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017