Jakarta (Antara Babel) - Sektor pertanian Indonesia masih harus berbenah
untuk dapat meraih keuntungan dari pemberlakuan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) karena kualitas sumber daya manusia saja masih tertinggal
jauh dari Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand, kata seorang
pengamat ekonomi pertanian, Iswadi.
"Indeks Pembangunan Manusia Indonesia versi UNDP pada 2015 sebesar 68,9 atau jauh di bawah Malaysia dan Thailand yang sudah di atas 73," kata Iswadi dalam keterangan persnya yang diterima ANTARA News di Jakarta, Kamis.
Berbeda dengan Indonesia yang masih berada dalam kategori sedang, Malaysia dan Brunei Darussalam sudah masuk ke kategori tinggi, kata Kepala Subdirektorat Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) itu..
Dipandang dari rata-rata pendidikan, para tenaga kerja Indonesia baru mencapai tingkat yang setara dengan kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Dalam konteks ini, ia menilai, Indonesia setara dengan Thailand dan Vietnam.
Namun, Indonesia kalah dari Filipina yang sudah dapat mencapai rata-rata pendidikan lulus SMP atau sekira kelas satu sekolah menengah atas (SMA), kata lulusan program magister bidang "Natural Resource Economics" dari Universitas Queensland, Australia, itu.
Iswadi mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi sektor pertanian Indonesia itu sempat disampaikannya dalam kuliah umum di depan para calon wisudawan sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), yang digagas Niro Granite bersama "Career Development and Alumni Affair" IPB awal pekan ini.
Jika dilihat secara spesifik kondisi sumber daya manusia di sektor pertanian, ia menilai, maka hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa sebagian besar petani hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) atau bahkan tidak sekolah.
"Petani yang berpendidikan di atas SMA hanya sekitar 2,4 persen. Struktur pendidikan petani tersebut tidak berubah sejak tahun 2003. Pemerintah harus segera mengambil kebijakan yang mampu menjadikan pertanian seksi untuk diminati oleh generasi muda," katanya.
Saat ini, petani di Indonesia didominasi oleh mereka yang sudah berusia senja dengan rata-rata umur 48 tahun. Para petani dengan umur 55 tahun ke atas pun meningkat tajam sekitar 1,7 juta orang dalam sepuluh tahun terakhir, katanya.
Jika dibiarkan, ia mengemukakan, maka lama-kelamaan Indonesia dikhawatirkan akan kekurangan tenaga muda dalam usaha penyediaan pangan, padahal tenaga usia muda yang berkualitas merupakan kunci penting dalam peningkatan produktivitas.
Iswadi juga menjelaskan bahwa pertanian masih merupakan sektor penyerap tenaga kerja tertinggi karena persyaratan untuk bekerja di sektor ini mudah dipenuhi.
Oleh karena itu, ekonom kelahiran 9 Juni 1974 itu menyatakan sektor pertanian harus terus dibina secara baik dan tepat sasaran sekalipun saat ini sektor tersebut belum memberikan kesejahteraan yang memadai kepada petani akibat produktivitas pertanian yang belum optimal.
"Jadinya, masih seperti buah simalakama. Jika harga produksi dinaikkan, maka konsumen tidak mampu beli dan kemiskinan meningkat. Jika harga diturunkan, maka petani tidak dapat untung. Jadi, kuncinya adalah peningkatan produktivitas pertanian, harga rendah pun jika produktivitas tinggi, ongkos per satuan produksi akan menjadi rendah dan petani bisa mendapat untung yang layak," demikian Iswadi.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
"Indeks Pembangunan Manusia Indonesia versi UNDP pada 2015 sebesar 68,9 atau jauh di bawah Malaysia dan Thailand yang sudah di atas 73," kata Iswadi dalam keterangan persnya yang diterima ANTARA News di Jakarta, Kamis.
Berbeda dengan Indonesia yang masih berada dalam kategori sedang, Malaysia dan Brunei Darussalam sudah masuk ke kategori tinggi, kata Kepala Subdirektorat Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) itu..
Dipandang dari rata-rata pendidikan, para tenaga kerja Indonesia baru mencapai tingkat yang setara dengan kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Dalam konteks ini, ia menilai, Indonesia setara dengan Thailand dan Vietnam.
Namun, Indonesia kalah dari Filipina yang sudah dapat mencapai rata-rata pendidikan lulus SMP atau sekira kelas satu sekolah menengah atas (SMA), kata lulusan program magister bidang "Natural Resource Economics" dari Universitas Queensland, Australia, itu.
Iswadi mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi sektor pertanian Indonesia itu sempat disampaikannya dalam kuliah umum di depan para calon wisudawan sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), yang digagas Niro Granite bersama "Career Development and Alumni Affair" IPB awal pekan ini.
Jika dilihat secara spesifik kondisi sumber daya manusia di sektor pertanian, ia menilai, maka hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa sebagian besar petani hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) atau bahkan tidak sekolah.
"Petani yang berpendidikan di atas SMA hanya sekitar 2,4 persen. Struktur pendidikan petani tersebut tidak berubah sejak tahun 2003. Pemerintah harus segera mengambil kebijakan yang mampu menjadikan pertanian seksi untuk diminati oleh generasi muda," katanya.
Saat ini, petani di Indonesia didominasi oleh mereka yang sudah berusia senja dengan rata-rata umur 48 tahun. Para petani dengan umur 55 tahun ke atas pun meningkat tajam sekitar 1,7 juta orang dalam sepuluh tahun terakhir, katanya.
Jika dibiarkan, ia mengemukakan, maka lama-kelamaan Indonesia dikhawatirkan akan kekurangan tenaga muda dalam usaha penyediaan pangan, padahal tenaga usia muda yang berkualitas merupakan kunci penting dalam peningkatan produktivitas.
Iswadi juga menjelaskan bahwa pertanian masih merupakan sektor penyerap tenaga kerja tertinggi karena persyaratan untuk bekerja di sektor ini mudah dipenuhi.
Oleh karena itu, ekonom kelahiran 9 Juni 1974 itu menyatakan sektor pertanian harus terus dibina secara baik dan tepat sasaran sekalipun saat ini sektor tersebut belum memberikan kesejahteraan yang memadai kepada petani akibat produktivitas pertanian yang belum optimal.
"Jadinya, masih seperti buah simalakama. Jika harga produksi dinaikkan, maka konsumen tidak mampu beli dan kemiskinan meningkat. Jika harga diturunkan, maka petani tidak dapat untung. Jadi, kuncinya adalah peningkatan produktivitas pertanian, harga rendah pun jika produktivitas tinggi, ongkos per satuan produksi akan menjadi rendah dan petani bisa mendapat untung yang layak," demikian Iswadi.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017