Pangkalpinang (Antaranews Babel) - Perbaikan tata niaga timah menjadi perhatian serius Focus Group Discussion (FGD) Tata Niaga Ekspor Timah di Jakarta, Selasa (13/2), dengan merekomendasikan perlunya perbaikan atas penerapan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32/M-DAG/PER/6/2013.

Keterangan tertulis yang diterima di Pangkalpinang, Rabu (14/2) malam, menyebutkan, perbaikan atas penerapan Permendag tersebut bertujuan agar biaya perdagangan timah menjadi lebih efisien dari segi harga dan rantai perdagangan.

Perdagangan logam timah produksi PT Timah Tbk yang selama ini melalui Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia dinilai menarik untuk dikaji ulang.

Hal tersebut dikarenakan PT Timah dan Indometal London Ltd sejak 2013 sampai semester pertama 2017 menanggung biaya tambahan minimal Rp113,21 miliar untuk mengikuti aturan perdagangan ekspor melalui Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) atau yang biasa dikenal DENGAN Indonesia Commodity and Derivaties Exchange (ICDX).

"Royalti tiga persen tak ideal lagi untuk waktu sekarang. Untuk itu, selain menekankan manfaat tata kelola niaga timah, ini memberikan nilai tambah lain sebagai pendapatan bagi pemerintah provinsi. Kalau strateginya baik, pasti berimbas pada pertumbuhan ekonomi masyarakat," kata Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman.

FGD kali ini diikuti Gubernur Erzaldi Rosman, BPK RI, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan Komiditi serta Diektur Utama PT Timah, M Riza Fahlevi.

Pertemuan ini menyimpulkan perlunya perbaikan tata niaga timah agar upaya menjadikan Indonesia sebagai penentu harga timah dunia dapat tercapai.

Tujuannya lain adalah agar nilai tambah dari tambang logam timah menjadi meningkat, apalagi pengaruh Permendag Nomor 32 tahun 2013 terhadap PT Timah telah menyebabkan perusahaan plat merah ini tidak bisa menjual langsung kepada pelanggan, sementara harga ekspor timah tetap menggunakan acuan harga LME.

Selain itu PT Timah juga menanggung biaya tambahan minimal Rp113,2 miliar.

Selama lima tahun terakhir China justru mendominasi produksi timah dunia, sementara Indonesia berada di urutan kedua yang selanjutnya diikuti Malaysia dan Thailand.

Tahun 2012 produksi timah China mencapai 152.000 ton, sedangkan Indonesia hanya 52.300 ton. Untuk tahun 2013 China di angka 158.100 ton sedangkan Indonesia hanya 54.800 ton. Pada tahun 2014, China bisa memproduksi hingga 175.000 ton sedangkan Indonesia hanya 69.800 ton.

Sementara di tahun 2015 negeri China berproduksi 159.000 ton, sementara Indonesia tetap di posisi kedua dengan 67.400 ton. Untuk tahun 2016, Indonesia hanya 66.900 ton, sementara China hampir tiga kali lipat mencapai 165.000 ton.

FGD Tata Niaga Eskpor Timah ini juga mengemukakan bahwa selama menjalankan Permendag 32/2013 beberapa kondisi dialami PT Timah, yakni harga timah yang anjlok dan tidak ada perlindungan terhadap cadangan timah di kawasan IUP PT Timah.

Melihat kondisi ini, FGD Tata Niaga Ekspor Timah merekomendasikan perlu adanya kajian ulang terhadap Permedag 32/2013 dan juga keberadaan ICDX.

Gubernur Erzaldi menegaskan, peran ICDX sangat kurang dirasakan. Diharapkan tata niaga timah ke depan ada nilai tambah bagi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.

"Kehadiran ICDX harus dapat memberikan nilai tambah bagi daerah. Tidak saja pendapatan langsung, tetapi harus berdampak kepada pertumbuhan ekonomi masyarakat yang selama ini sangat kurang sekali," tegasnya.

Pewarta: Donatus Dasapurna Putranta

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018