Jakarta (Antaranews Babel) - Penulis dan pakar pertanian-peternakan Amerika Serikat Joel Salatin pernah mengingatkan bahwa keamanan pangan bukan hanya beban supermarket, pemerintahan, atau lembaga gawat darurat, tetapi juga tanggung jawab berbagai pihak.

Pernyataan itu layak untuk digarisbawahi mengingat adanya kejadian maraknya ditemukan cacing dalam sejumlah produk ikan kemasan kaleng oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

BPOM telah melakukan sampling dan pengujian terhadap produk ikan dalam kaleng, dan ditemukan adanya sebagian produk yang mengandung parasit cacing.

Dominasi produk yang mengandung parasit cacing adalah produk impor. Diketahui bahwa produk dalam negeri bahan bakunya juga berasal dari impor.

Setelah terungkapnya penemuan tersebut, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi meminta BPOM untuk melakukan investigasi terkait marak kasus ikan sarden dan makarel kalengan yang mengandung cacing.

Tulus Abadi menegaskan, BPOM jangan hanya melakukan penarikan saja, tetapi harus menginvestigasi secara keseluruhan proses produksinya, baik dari sisi hulu hingga hilir.

Dia juga meminta BPOM melakukan pengawasan ketat di pasaran pascapenarikan. Jangan sampai penarikan itu hanya simbolik dan di pasaran masih marak beredar.

Konsumen, kata dia, agar melaporkan ke BPOM dan juga ke YLKI jika di pasaran masih beredar merek-merek sarden dan makarel tersebut.


Momentum

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Ahmad Zainuddin mengemukakan, permasalahan sejumlah produk ikan kalengan yang mengandung cacing parasit itu dinilai harus membuat berbagai pihak menjadikan ini momentum meningkatkan keamanan pangan.

Apalagi, Ahmad Zainuddin mengingatkan bahwa sejumlah merek yang ditarik ada yang populer sudah lama beredar, tetapi baru sekarang ditemukan cacing, sehingga membuat keamanan pangan di masyarakat masih sangat rentan.

Menurut politisi PKS itu, penemuan kasus tersebut juga menunjukkan sistem pengawasan di hulu tidak berjalan optimal sehingga sistem impor produk makanan harus dievaluasi.

Zainuddin mempersoalkan, mengapa temuan itu terjadi pada produk yang sebenarnya mendapatkan kelulusan dari sejumlah institusi termasuk BPOM, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perdagangan.

Dia juga menekankan pentingnya penguatan koordinasi BPOM dengan kementerian atau institusi yang terlibat dalam perdagangan impor produk makanan sehingga sistem pengawasan total dari hulu ke hilir juga dapat lebih dioptimalkan.

Sejumlah pemda telah meningkatkan kewaspadaan terkait hal tersebut, seperti Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua mengimbau masyarakat untuk tidak mengonsumsi sementara ikan kaleng jenis sarden atau makarel kaleng sebab telah beredar informasi bahwa terdapat cacing di dalam kemasan itu.

Kepala Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian dan Perdagangan Jayawijaya Semuel Munua di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Selasa (3/4), mengatakan sudah menginstruksikan juga kepada pedagang untuk tidak menjual makarel kaleng tersebut.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, membentuk tim pemantau peredaran produk makanan dari ikan dalam kaleng atau makarel yang mengandung parasit cacing di daerah itu.

Sekda Kabupaten Rejang Lebong, RA Denni di Rejang Lebong, Senin (2/4), memaparkan bahwa jika dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh tim gabungan ini terbukti adanya peredaran produk makanan yang mengandung cacing tersebut akan ditarik.

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Provinsi Sulawesi Selatan meminta distributor menarik ikan kaleng yang berparasit, menyusul ditemukannya ikan kaleng yang mengandung parasit cacing. Selaras dengan itu, BBPOM Sumatera Barat juga memantau peredaran 27 merek produk ikan dalam kaleng yang terindikasi mengandung cacing.
    
Cabut izin

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago mendesak pemerintah dapat segera mencabut izin impor ikan makarel yang produk kalengannya ternyata bermasalah karena mengandung cacing sebagaimana telah diungkap BPOM RI.

Menurut Irma Suryani Chaniago, pencabutan izin impor itu esensial karena impor komoditas tersebut tidak memberikan untung untuk Indonesia serta produk turunannya justru berbahaya jika dikonsumsi.

Politisi Nasdem itu juga mengecam pernyataan pejabat yang mengatakan bahwa cacing dalam produk kalengan tersebut tidak berbahaya bila ikan dimasak dengan proses yang benar.

Sebelumnya, pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim mengatakan permasalahan sejumlah produk ikan dalam kaleng sebenarnya dapat diatasi bila produk tersebut jangan mengandalkan impor.

"Maraknya peredaran produk sarden dan makarel kalengan yang terkontaminasi cacing pita mestinya tidak perlu terjadi apabila produk ikan kalengan tidak didatangkan dari keran impor," kata Abdul Halim di Jakarta, Senin (2/4).

Menurut Abdul Halim, jika terpaksa impor, maka aturan yang sudah berlaku mestinya dijalankan secara ketat.

Bila terbukti melanggar, lanjutnya, maka pemerintah perlu memberikan "black list" (daftar hitam) kepada importir yang melanggar dan diberi sanksi pidana.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu memaparkan, problem yang ada karena 65 persen kebutuhan ikan kalengan justru didatangkan dari China.
    
Kepentingan lain

Abdul Halim juga mengingatkan agar aktivitas impor pangan jangan sampai dilakukan untuk sejumlah kepentingan lain seperti pembiayaan kegiatan politik di Tanah Air.

Menurut dia, indikasi pemberian izin impor dan penetapan kuotanya merupakan upaya untuk membiayai aktivitas politik makin terlihat belakangan ini.

Menurut dia, adanya tarik ulur kewenangan perizinan dan rekomendasi impor sejumlah komoditas menjadikan praktik impor pangan untuk pembiayaan aktivitas politik menjadi serba mudah.

Kebijakan seperti untuk melakukan impor pangan juga dinilai selayaknya memperhatikan rekomendasi dari kementerian teknis sehingga tidak merugikan produksi pertanian, perkebunan, hingga kelautan dan perikanan yang telah dihasilkan di dalam negeri.

Anggota Komisi IV DPR Fauzih Amro di Jakarta, Senin (12/3), menginginkan dihapusnya regulasi yang dibuat untuk mengabaikan rekomendasi kementerian teknis.

Politisi Hanura itu berpendapat, salah satu contoh regulasi seperti itu adalah Peraturan Menteri Perdagangan No 1 Tahun 2018, yang dinilai memotong rekomendasi kementerian teknis, sehingga Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti tidak dianggap.

Dengan demikian, lanjutnya, data yang telah dihimpun terkait dengan stok produksi pangan di dalam negeri juga menjadi seakan-akan terabaikan.

Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal pasluddin mengatakan, Pemerintah perlu membentuk lembaga Badan Pangan Nasional untuk meningkatkan ketahanan pangan di Tanah Air dengan cara menyelesaikan beragam permasalahan seperti impor pangan.

Menurut dia, BPN akan menjadi kuat dari segi otoritas dan penting karena dapat mempersingkat rantai birokrasi yang selama ini tumpang tindih.

Politisi PKS itu mencontohkan pelaksanaan seperti kebijakan untuk kuota impor, tarif, dan turunannya dapat menjadi satu pintu dengan adanya BPN.

Hal tersebut, lanjutnya, sebagai program untuk melindungi petani nasional serta menjamin agar kedaulatan pangan Nusantara dapat terwujud.

Ia menjelaskan, BPN nantinya difungsikan menjadi regulator dengan fokus utama di sisi hilir, sedangkan dari sisi hulu seperti peningatkan produksi dan sistem budi daya pangan masih tetap berada di bawah naungan kementerian teknis terkait.
    
Ketinggalan zaman

Sebelumnya, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengingatkan fokus kebijakan terkait pasokan pangan nasional dinilai ketinggalan zaman karena ketahanan pangan saat ini lebih dari ketersediaan domestik dan stabilitas pasokan pangan.

Anggota Dewan Pembina CIPS Arianto A Patunru menuturkan, sejak pertengahan 1990-an, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB sudah menambahkan akses individu atau keterjangkauan makanan dan preferensi makanan individu, serta pemanfaatan keamanan pangan dan manfaat gizi untuk mencapai yang disebut ketahanan pangan.

Menurut dia, berbagai dimensi tersebut mencerminkan sisi permintaan keamanan pangan yang kerap diabaikan pemerintah dalam upaya menjamin keamanan pangan.

Ia berpendapat bahwa konsepsi keamanan pangan tersebut menunjukkan bahwa solusi yang lebih efektif untuk masalah ini adalah meningkatkan persaingan di pasar pangan domestik. Persaingan yang dimaksud adalah mengarah pada kemajuan teknologi, peningkatan kualitas makanan dan penurunan harga.

"Persaingan di pasar pangan domestik dan peningkatan ketersediaan pangan membuka peluang terciptanya pasar dan juga impor yang lebih murah. Para elite politik di Indonesia sebagian besar mengabaikan pentingnya impor untuk mencapai ketahanan pangan," katanya.

Hal tersebut, lanjutnya, karena mereka memiliki pemahaman yang salah kalau impor adalah penyebab tidak tercapainya ketahanan pangan, sehingga sejumlah undang-undang bahkan menetapkan impor hanya diperbolehkan ketika suplai domestik tidak cukup.

Arianto menambahkan, tidak ada pemerintahan yang berhasil merencanakan produksi dan konsumsi secara akurat untuk seluruh negeri, apalagi sebuah negara dengan populasi yang sangat besar seperti Indonesia.

Dengan melakukan langkah yang tepat serta sosialisasi efektif kepada seluruh warga, maka diharapkan kesadaran untuk meningkatkan keamanan pangan sebagai keharusan juga akan dipahami dan dilaksanakan dengan benar oleh masyarakat di Nusantara.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018