Jakarta (Antaranews Babel) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengusulkan batas minimal usia menikah untuk perempuan 20 tahun dan laki-laki 22 tahun, pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Jadi usia paling tepat, setelah membandingkan dengan negara lain rata-rata yang saya ambil, khusus perempuan 20 (tahun), laki-laki 22 (tahun)," kata Yohana usai menghadiri Penyerahan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) di Istana Wakil Presiden Jakarta, Rabu.
Usulan tersebut saat ini sedang dipersiapkan Kementerian PPPA untuk dibawa ke DPR dalam pembahasan revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Yohana menilai usulan batas minimal usia menikah tersebut cukup adil dalam hal kesetaraan gender, serta tidak melanggar ketentuan undang-undang perlindungan anak terkait batas minimal usia pernikahan.
"Ini pendekatan lagi dengan pihak DPR, agar ada kesepakatan bersama. Yang jelas, undang-undang perlindungan anak itu kan minimal 18 tahun," katanya.
MK membatalkan pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang batas minimal usia menikah, yakni 16 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki.
MK menilai pasal tersebut diskriminatif dan inkonstitusional, karena membedakan batas usia minimum perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Hal itu dinilai dapat menyebabkan kasus diskriminatif dan kekerasan dalam rumah tangga yang lebih banyak merugikan pihak perempuan sehingga terkendala dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya.
"Hak-hak konstitusional dimaksud, antara lain, hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," kata Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams.
Menurut UU Perlindungan Anak, seorang perempuan pada usia 16 tahun masih tergolong ke dalam pengertian anak, sehingga jika telah menikah statusnya akan berubah menjadi orang dewasa.
"Sementara bagi laki-laki perubahan demikian baru dimungkinkan jika telah menikah pada usia 19 tahun," ujar Wahiddudin.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
"Jadi usia paling tepat, setelah membandingkan dengan negara lain rata-rata yang saya ambil, khusus perempuan 20 (tahun), laki-laki 22 (tahun)," kata Yohana usai menghadiri Penyerahan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) di Istana Wakil Presiden Jakarta, Rabu.
Usulan tersebut saat ini sedang dipersiapkan Kementerian PPPA untuk dibawa ke DPR dalam pembahasan revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Yohana menilai usulan batas minimal usia menikah tersebut cukup adil dalam hal kesetaraan gender, serta tidak melanggar ketentuan undang-undang perlindungan anak terkait batas minimal usia pernikahan.
"Ini pendekatan lagi dengan pihak DPR, agar ada kesepakatan bersama. Yang jelas, undang-undang perlindungan anak itu kan minimal 18 tahun," katanya.
MK membatalkan pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang batas minimal usia menikah, yakni 16 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki.
MK menilai pasal tersebut diskriminatif dan inkonstitusional, karena membedakan batas usia minimum perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Hal itu dinilai dapat menyebabkan kasus diskriminatif dan kekerasan dalam rumah tangga yang lebih banyak merugikan pihak perempuan sehingga terkendala dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya.
"Hak-hak konstitusional dimaksud, antara lain, hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," kata Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams.
Menurut UU Perlindungan Anak, seorang perempuan pada usia 16 tahun masih tergolong ke dalam pengertian anak, sehingga jika telah menikah statusnya akan berubah menjadi orang dewasa.
"Sementara bagi laki-laki perubahan demikian baru dimungkinkan jika telah menikah pada usia 19 tahun," ujar Wahiddudin.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018