Jakarta (Antara Babel) - Jelang pelaksanaan pemilihan presiden 9 Juli 2014, semakin banyak beredar video, pesan singkat di telepon selular bahkan selebaran yang isinya berupa tuduhan negatif terhadap salah satu pasangan capres dan cawapres.
Tujuan dari kampanye semacam ini biasanya adalah untuk menggoyahkan pemilih sehingga menjadi massa mengambang dan akhirnya memilih untuk berpihak ke pasangan capres lain.
Terdapat dua calon presiden yang akan berkompetisi memperebutkan suara rakyat yakni Joko Widodo bersama calon wakil presiden Jusuf Kalla yang diusung koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Calon presiden lainnya adalah Let Jend (purn) Prabowo Subianto bersama calon wakil presiden Hatta Radjasa yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Joko Widodo atau lebih dikenal dengan nama Jokowi sering dikaitkan dengan tuduhan sebagai capres boneka karena diduga dikendalikan oleh Megawati Soekarnoputri, sementara Prabowo selalu dibayang-bayangi isu pelanggaran HAM berat lantaran dugaan pernah menculik beberapa aktivis reformasi tahun 1998.
Banyak kalangan menyayangkan maraknya kampanye negatif yang menyerang pasangan capres/cawapres karena dikhawatirkan hal tersebut bisa mempengaruhi calon pemilih untuk beralih mendukung capres lain atau bahkan tidak memilih sama sekali (golput).
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa Khofifah Indar Parawansa mengatakan kampanye pemilu presiden belum dimulai secara resmi, tapi kampanye negatif atau kampanye hitam sudah mulai bermunculan.
Ia mengimbau agar kedua pasangan capres-cawapres dan tim pemenangannya melakukan kampanye positif dan tidak melakukan kampanye negatif, apalagi kampanye hitam yang menyebar kabar tak jelas dan biasanya dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab.
"Kampanye hitam itu sama dengan membunuh karakter karena menjadi fitnah bagi lawannya," katanya.
Pengamat komunikasi politik Triyono Lukmantoro mengatakan kampanye hitam dalam politik adalah hal yang wajar dilakukan tetapi tidak akan memberikan pendidikan politik yang positif bagi masyarakat.
"Wajar karena pasti ada pihak yang mencari kekurangan calon tertentu. Tapi kampanye hitam menjadi tidak sehat dan tidak mendidik karena materi yang digunakan cenderung bernuansa SARA," kata Triyono.
Dia mengatakan kampanye hitam juga menunjukkan cara berpolitik yang tidak berkualitas dan tidak cerdas. Sebab, kampanye hitam yang menyerang suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) sangat tidak mendidik dan tidak tepat diterapkan di Indonesia.
"Indonesia adalah negara yang pluralis. Banyak suku dan agama. Tentu hal yang berbahaya kalau SARA menjadi materi untuk kampanye hitam," ujarnya.
Kampanye hitam menjadi suatu hal yang berbahaya dalam berpolitik juga disebabkan sumber yang tidak jelas. Triyono mengatakan kampanye hitam biasanya tidak dilakukan oleh tim sukses calon-calon yang bersaing.
"Tim sukses dan calon yang bersaing pasti lebih memilih mengadu visi dan misi. Kampanye hitam mungkin dilakukan oleh pendukung yang tidak masuk dalam tim sukses, tetapi tidak jelas siapa. Karena tidak jelas sumbernya, maka kampanye hitam seperti surat kaleng," tuturnya.
Triyono mengatakan kampanye hitam secara komunikasi politik juga tidak etis. Etika komunikasi, kata dia, mengedepankan keterbukaan dan kejujuran. Dalam etika komunikasi, harus jelas siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan dan untuk siapa ditujukan.
Sementara itu aktivis perempuan sekaligus Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) Dewi Motik Pramono mengatakan maraknya kampanye negatif yang dilakukan sejumlah pihak untuk menyudutkan salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden merupakan fenomena biasa jelang pelaksanaan pemilu.
"Kampanye negatif adalah bumbu jelang pelaksanaan pilpres 2014. Jadi bagi pasangan capres dan cawapres jangan takut, kalau anda tidak salah, ya tidak akan salah," katanya saat ditemui di kantor pusat KOWANI di Jakarta Pusat.
Dewi Motik mengatakan saat ini masyarakat sudah semakin pintar dalam mengolah informasi yang diberikan kepada mereka. Masyarakat juga sudah semakin paham mengenai figur pemimpin seperti apa yang mereka inginkan.
Beberapa warga yang sempat diwawancarai Antara juga mengatakan hal serupa. Dian Hardjairana (30), jurnalis sebuah perusahaan media, mengatakan kampanye negatif memang lumrah terjadi di masa pilpres.
"Tinggal bagaimana masyarakat, menyikapi hal tersebut. Justru dengan kampanye negatif masyarakat harusnya menjadi lebih kritis dan menyelidiki lagi latar belakang capres pilihannya," kata Dian.
Beda Reaksi
Menangapi maraknya kampanye negatif yang ditujukan ke dirinya, calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Radjasa melalui kuasa hukum Habiburokhman, melaporkan pelaku "black campaign" atau kampanye hitam terhadap pasangan itu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) baru-baru ini.
"Yang paling parah adalah kampanye hitam soal penculikan dan kerusuhan 1998. Ini adalah fitnah daur ulang yang kian marak hampir di seluruh media sosial," kata pengacara Prabowo dalam keterangan tertulisnya.
Habib mengatakan Prabowo diserang setidaknya oleh tiga jenis fitnah.
Dia menyebutkan tiga fitnah itu adalah keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan dan kerusuhan 1998. "Hal itu merupakan isu daur ulang yang selalu didengungkan saat Prabowo mencalonkan diri sebagai peserta pemilu presiden," katanya.
Fitnah lainnya, isu Prabowo meminta kewarganegaraan Yordania pada 1999 yang dihembuskan akun twitter @partaisocmed. "Isu yang dilontarkan pengelola akun itu hanya didasarkan pada asumsi sepihak dan itu tidak disertai satu lembar bukti dokumen pun," katanya.
Langkah berbeda ditunjukkan oleh oleh pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memilih menjelaskan ke media mengenai beberapa tuduhan yang dialamatkan ke pasangan ini.
Jusuf Kalla baru-baru ini menjawab tudingan bahwa calon presiden Jokowi beragama non-Islam.
"Kampanye hitam selalu saja ada, tapi jangan soal SARA karena itu menyangkut pribadi. Kalau masih tak percaya keislaman Jokowi, ayo diadakan lomba baca Al-quran antarcapres saja. Jadi ketahuan nanti siapa yang lebih jago," katanya saat ditemui Antara dalam sebuah acara di Jakarta.
Jusuf Kalla juga menjelaskan terkait beredarnya video wawancara dirinya yang menyatakan tidak mendukung Jokowi maju sebagai capres 2014.
"Video wawancara saya itu terjadi dua tahun lalu ketika Jokowi baru dua-tiga bulan dilantik sebagai Gubernur DKI. Waktu itu saya katanya janganlah baru dilantik sudah maju capres," kata Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla menjelaskan untuk menjadi capres sebaiknya orang yang memiliki pengalaman. Saat ini, kata Jusuf Kalla, Jokowi sudah memiliki pengalaman sembilan tahun sebagai wali kota Solo dan dua tahun sebagai Gubernur DKI.
