Jakarta (Antara Babel) - Peran tenaga kerja Indonesia (TKI) sangat besar bagi perekonomian negara. Menurut data yang ada, remitansi atau pengiriman uang TKI sepanjang 2011 tercatat berjumlah 6,11 miliar dolar Amerika Serikat atau Rp53,36 triliun.
Jumlah itu hanya yang tercatat di Bank Indonesia, di luar kiriman langsung baik melalui jalur perorangan maupun lembaga keuangan nonbank. Karena itu, disinyalir jumlah remitan TKI lebih banyak dan nilai semakin meningkat setiap tahun.
Namun, kondisi itu sungguh sangat bertolak belakang dengan kondisi para TKI yang bekerja di luar negeri, khususnya pada TKI perempuan atau yang kerap disebut tenaga kerja wanita (TKW).
Perbedaan hukum, adat dan minimnya pengetahuan membuat beberapa TKW harus berhadapan dengan hukum, bahkan diancam dengan hukuman mati.
Setiap tahun, hampir selalu ada pemberitaan di media massa mengenai TKW yang harus berhadapan dengan hukum dan diancam dengan hukuman mati. Tuduhannya berbagai macam. Ada yang karena mencuri uang hingga membunuh keluarga majikan.
Walfrida dari Belu
Salah satu TKW yang harus berhadapan dengan hukum dan diancam dengan hukuman mati adalah Walfrida Soik Mau (21) yang berasal dari Desa Faturika, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Walfrida yang bekerja di Kelantan, Malaysia itu divonis hukuman mati dengan tuduhan pembunuhan berencana terhadap orang tua majikannya di pengadilan tingkat pertama berdasarkan Pasal 302 Kanun Keseksaan.
Untungnya, Pengadilan Tingkat Tinggi Kota Bahru, Kelantan, Malaysia pada sidang 7 April lalu menyatakan Walfrida tidak bersalah.
Putusan itu kemudian mendapat tanggapan gembira di tanah air. Anggota Komisi IX DPR Poempida Hidayatulloh mengatakan sangat gembira dengan vonis bebas itu sekaligus mengapresiasi pengadilan Malaysia.
"Saya mengapresiasi pengadilan Malaysia yang masih memberikan harapan akan keadilan," katanya ketika itu.
Satinah dari Semarang
Kasus yang melibatkan TKW lain yang juga menyita perhatian publik tanah air adalah Satinah asal Semarang yang mengadu nasib ke Arab Saudi. Satinah dituduh telah membunuh majikan perempuannya pada Juni 2009.
Tak hanya itu, Satinah juga dituding mencuri uang 37.970 Riyal Arab Saudi sebelum meminta perlindungan ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
Saat diperiksa polisi setempat, Satinah mengakui perbuatannya sehingga dipenjara di Kota Buraidah, Provinsi Al Gaseem mulai 27 Juni 2009. Sejak itu, Satinah harus keluar masuk persidangan dengan beragam putusan. Dia terancam hukuman pancung.
Pemerintah juga berupaya supaya Satinah bebas dari hukuman, atau setidaknya hukumannya diringankan. Pemerintah membentuk tim Satuan Tugas Penanganan Kasus Hukuman Mati untuk melakukan diplomasi ke Arab Saudi.
Kasus Satinah ini cukup rumit dan menguras tenaga meskipun akhirnya dia bisa bebas dari ancaman hukuman pancung setelah pemerintah Indonesia bersedia membayar "diyat" sebesar 7 juta riyal atau Rp21,1 miliar.
Upaya Pemerintah
Terkait ancaman hukuman mati bagi TKW di luar negeri, pemerintah selalu berupaya untuk memohonkan pengampunan dan pemaafan dari keluarga korban, yang menjadi syarat utama pembebasan terpidana dari hukuman pancung.
Upaya itu bahkan dilakukan sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana yang dia sampaikan ketika mengunjungi keluarga Satinah di Semarang, Maret lalu.
"Saya sendiri bukan hanya menulis surat. Tetapi sering juga berbicara melalui telpon dan melakukan pertemuan beberapa kali, tidak hanya Arab Saudi tetapi termasuk Malaysia dan negara lain," katanya.
Selain keluarga Satinah, Presiden juga beberapa kali mengunjungi keluarga TKW yang menjadi terpidana di luar negeri seperti keluarga Tuti Tursilawati (Majalengka), Siti Zaenab (Bangkalan) dan Karni (Brebes).
Berbagai kasus yang menimpa TKW tentu saja merupakan hal yang ironis karena negara seolah-olah tidak melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri. Pihak-pihak yang berkepentingan juga kerap saling melempar tanggung jawab.
Karena itu, Anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka berpendapat kasus Walfrida harus menjadi pintu pembuka untuk menuntaskan sejumlah kasus perdagangan manusia yang melibatkan sindikat di Indonesia dan Malaysia.
"Tahun lalu, dari 105 korban perdagangan manusia yang diselamatkan di Klang, 80 orang berasal dari NTT," katanya.
Pemerintah sendiri bukannya berpangku tangan dalam melindungi TKI. Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan berbagai peraturan terkait penempatan dan perlindungan TKI, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI.
Pemerintah dan DPR juga telah meratifikasi konvensi internasional seperti ILO Convention Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 dan ILO Convention Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999.
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi ILO Convention Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 dan Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya atau dikenal sebagai Konvensi Buruh Migran 1990.
Pemerintah juga pernah melakukan moratorium pengiriman TKI ke sejumlah negara untuk membatasi jumlah TKI dan melindungi serta memberikan peringatan kepada negara lain untuk lebih memperhatikan nasib TKI.
Namun, karena lapangan kerja yang kurang tersedia di dalam negeri, moratorium ke Malaysia dicabut, tetapi tetap diberlakukan untuk Arab Saudi, Yordania, Kuwait dan Suriah.
Pada Maret lalu, para pemangku kepentingan dan tokoh masyarakat juga mengadakan rapat koordinasi penanganan TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri. Secara lebih luas, rapat tersebut juga membahas perlindungan terhadap warga negara Indonesia yang diancam hukuman mati.
Rapat koordinasi yang dilaksanakan di Gedung Caraka Loka, Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Kementerian Luar Negeri itu diikuti 83 peserta dari 61 institusi yang terdiri atas kementerian/lembaga, LSM, lembaga HAM, media, akademisi, organisasi keagamaan, organisasi profesi dan lain-lain.
Beberapa tokoh yang hadir antara lain mantan Ketua Satgas Penanganan Kasus Hukuman Mati Maftuh Basyuni, Dubes RI untuk Arab Saudi Gatot Abdullah Mansyur, Hakim Agung Artidjo Alkostar, Dirjen HAM Kemenkumham Harkristuti Harkrisnowo, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Dirjen Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu Tatang Budie Utama Razak.
Sejumlah rekomendasi yang lahir melalui rakor tersebut antara lain perlu dilakukan upaya-upaya komprehensif yang didasarkan pada pendekatan budaya setempat dalam upaya pembebasan WNI/TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi.
Selain melalui jalur diplomasi formal dan upaya hukum yang ada, perlu juga dilakukan penguatan melalui pendekatan informal mengacu pada konvensi internasional yang telah diratifikasi kedua negara.
Selain itu, demi perlindungan terutama pekerja migran sektor domestik, dibutuhkan langkah-langkah strategis dan terencana untuk melakukan edukasi terhadap TKI di berbagai daerah dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat baik sipil maupun akademisi.
Dalam rakor tersebut juga mengemuka salah satu akar permasalahan adalah cara pengiriman TKI yang tidak sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku. Karena itu, perlu ada tindakan hukum tegas dan transparan kepada semua pelaku penempatan TKI.
Untuk mencegah kejadian serupa, peserta rakor juga memandang pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait menyusun "Road Map", "Grand Design" dan "Masterplan" dalam menentukan penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri.
Peserta rakor juga memandang upaya pembebasan TKI dari eksekusi hukuman mati harus dilakukan secara maksimal, termasuk masalah pembayaran "diyat".
