Pangkalpinang (ANTARA) - Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antar bahasa kewajiban dan kebebasan.
Cara yang tepat untuk memandang Islam adalah dengan melihat dua dimensi sekaligus: dimensi “Islam/Istislam” sebagai ketundukan, dan dimensi “takrim” sebagai pemuliaan martabat manusia.
Meminjam bahasa Akbar S. Ahmed acuan utama kehidupan muslim adalah al-Qur’an dan al-Sunnah. al-Qur’an adalah wahyu Allah yang berisi aturan dan tuntunan dalam menjalani kehidupan, sedangkan al-Sunnah merupakan penjabaran dan Aplikasi dari apa yang ada di dalam al-Qur’an tersebut. Tata kehidupan Nabi juga harus menjadi acuan dan gagasan ideal tentang masyarakat muslim.
Masa kenabian adalah masa puncak dan keberhasilan dalam penataan masyarakat muslim, apa yang dicitakan masyarakat muslim sekarang ini tentang kehidupan yang baik dan ideal harus mengacu kepada masa-masa itu. Hal ini sangat penting sekali dikarenakan pertama, untuk menyatukan dan merekatkan hubungan batin di antara masyarakat muslim sendiri.
Kedua, sebagai kekuatan untuk mendorong lahirnya tata kehidupan yang dinamis dalam masyarakat Islam sendiri. Ketiga, pengambilan uswah ideal tersebut bisa digunakan sebagai landasan untuk membantu menganalisis kondisi masyarakat dan sejarah Islam dari masa lahirnya hingga sekarang.
Fenomena sosial yang sering terjadi akhir-akhir ini, seperti sikap radikal, ekstrim dan fundamentalis, sebetulnya merupakan perwujudan modernitas yang sudah berakar-urat dalam agama Kitab-Suci-Tertulis, yaitu kecenderungan untuk meninggikan teks di atas pengalaman konkret manusia. Dasar pokok dalam fundamentalisme agama adalah kehendak untuk mengukuhkan teks.
Teks selalu memanggil-manggil umat beriman untuk kembali ke pangkuannya, karena di sanalah kehendak Tuhan akan mereka temukan.
Lebih jauh lagi setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai yang baik dan buruk. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas.
Tetapi, wahyu juga bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan sesaat yang bersifat duniawi.
Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh integritasnya lagi sebagai sumber ajaran dan moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri.
Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semancam itu selain “jasad” yang pasif.
Kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Dan ketika kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang datang dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang dan bertanggung jawab.
Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendri.
Islam: Agama, Akal dan Kebebasan
Rabu, 25 September 2019 10:36 WIB