Jakarta (Antara Babel) - Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla menyatakan tidak sepakat dengan usulan Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait untuk menjual pesawat kepresidenan sebagai salah satu upaya menghemat anggaran, sebelum mengambil keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
"Iya (jangan dijual), bagaimana pun negara-negara besar harus dikunjungi, bukan berarti kalau dijual tidak ada ongkos lagi, justru ongkosnya akan lebih besar lagi," kata politisi yang biasa dipanggil JK itu di Jakarta, Rabu.
JK mengatakan Presiden harus mengunjungi sejumlah tempat sehingga akan menguras biaya jika harus menggunakan pesawat airbus sewaan.
"Apalagi kalau Pak Jokowi nanti blusukan, kalau sewa pesawat lebih mahal lagi. Kalau saya pake pesawat kecil saja," ujar dia.
Sebelumnya Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait mengaku akan mengusulkan kepada Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) untuk menjual pesawat kepresidenan yang pengadaannya dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, untuk menghemat anggaran operasional.
"Harus ada efisiensi perjalanan dinas pemerintah. Saya mau mengusulkan kepada Pak Jokowi supaya pesawat presiden dijual. Harus dikaji, pesawat ini untuk efisiensi, untuk kebanggaan atau untuk apa," kata Maruarar di Jakarta, Senin.
Pernyataan Maruarar itu terkait wacana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang belakangan ramai diperbincangkan, sekaligus menjawab isu perbedaan pendapat di internal PDI Perjuangan terkait kenaikan harga BBM bersubsidi.
Arar, sapaan akrab Maruarar, menilai kenaikan harga BBM bersubsidi harus menjadi opsi terakhir, setelah ada upaya penghematan dari pemerintahan Jokowi-JK.
Dia menekankan pemerintahan ke depan harus dapat melakukan efisiensi dengan meniadakan perjalanan dinas ke luar negeri sementara waktu, kecuali yang menyangkut soal perbatasan negara.
"Perjalanan dinas ini ada pemborosan beberapa triliun dalam setahun," kata dia.
Arar juga mengusulkan agar pemerintahan Jokowi-JK mengaudit harga keekonomian minyak yang ditetapkan Pertamina selama ini, mendorong pengalokasian keuntungan ekspor-impor minyak semata-mata untuk kas negara, serta menaikkan cukai rokok dan minuman bersoda.
"Saya kira rakyat mau lihat upaya-upaya itu dulu. Cukai rokok dinaikkan saja Rp100 perak, bisa menambah pendapatan Rp1 triliun, dan orang tidak ada yang berhenti merokok jika cukainya naik, termasuk minuman bersoda," ujar dia.
Dia mengatakan jika berbagai opsi itu telah dilakukan dan anggaran negara masih saja mengalami defisit baru lah pemerintah bisa mengambil langkah menaikkan harga BBM bersubsidi.