Aksi-aksi terorisme dan kekerasan memang tidak lepas dari Pakistan di tengah gunjang-ganjing politik di dalam negeri dan perang berkepanjangan yang berlangsung di negara tetangganya, Afganistan lebih dari tiga dekade lalu.
Dalam tiga hari berturut-turut pekan lalu, terjadi tiga kasus terpisah aksi teroris berupa penembakan yang merenggut 18 nyawa termasuk dua ulama kondang di Karachi (31/1).
Bom bunuh diri yang menewaskan 26 orang di luar Masjid Syiah di kawasan Hangu, Distrik Pat Bazaar, (1/2) dan aksi bom bunuh diri terhadap pos militer di Lakki Marwat, Provinsi Khyber Pakthunkhwa yang merenggut 13 tentara dan 11 warga sipil (2/2).
Pakistan harus menanggung beban untuk menampung jutaan pengungsi yang
berusaha menghindari dari ancaman kematian, aksi-aksi kekerasan dan
kelaparan dari Afganistan yang mengalir dari jalur-jalur masuk di
berbagai titik di sepanjang 2.560 Km tapal batas dengan
Afganistan.
Pengungsi, berbaur dengan kelompok militan
Taliban, melintas dari berbagai jalur di sepanjang wilayah
semi otonomi (FATA) di perbatasan yang dihuni oleh suku lokal yang
juga tidak lepas dari konflik di antara mereka sendiri, dan hanya kompak
saat menghadapi ancaman dari luar.
Dari wilayah otonomi Khyiber Pakthunkhwa saja ada 128 jalur masuk (satu jalur resmi, 16 diantaranya yang jalur sering digunakan) pelintas batas termasuk kelompok militan.
Sekitar 1.290 kendaraan dan 6.800 orang melintasi jalur-jalur tersebut setiap hari.
Belum lagi dari Wilayah Baluchistan, terdapat 234 rute masuk (satu jalur resmi dan empat jalur yang sering digunakan) yang diliwati 12.000 kendaraan dan 31.000 orang setiap hari.
Selain
kondisi alam berupa pegunungan tandus diselang-selingi jurang ,
lembah dan ngarai yang curam serta sungai-sungai, pencegahan masuknya
pengungsi dan kelompok militan dari tapal batas dengan Afganistan juga
terjadi akibat longgarnya penegakan hukum termasuk hukum adat setempat
(Pakhtunwali), saling ketergantungan ekonomi antar wilayah dan budaya
setempat.
Di wilayah Pakistan, para pengungsi ditampung di
kamp-kamp pengungsian tersebar di sejumlah wilayah perbatasan yang
dibangun oleh pemerintah dan bantuan lembaga-lembaga
internasional.
Belum lagi, beban manusia yang
diderita Pakistan, dengan hilangnya nyawa sekitar 10.000 anggota tentara
dan polisi dalam berbagai operasi dan kampanye untuk memerangi teroris
serta 30.000 warga sipil.
Perang melawan teroris sangat melelahkan militer dan aparat keamanan Pakistan mengingat keberadaan mereka yang berbaur dengan warga di pemukiman suku-suku setempat.
Bahkan menurut data statistik, selama 2009, tercatat 10 anggota tentara Pakistan tewas setiap hari.
Selain nyawa dan korban luka-luka, baik sipil maupun militer, pemerintah Pakistan juga harus mengeruk kocek anggaran lebih dalam untuk menggelar 150.000 pasukannya, merehabilitasi atau membangun kembali sarana dan prasarana umum yang dirusak.
Belum
lagi kerugian akibat hilangnya potensi pemasukan devisa dari sektor
pariwisata atau investasi asing akibat situasi keamanan yang kurang
kondusif .
Menteri Perekonomian Pakistan Hina Rabbani
(sekarang Menlu) mengungkapkan, dalam kurun waktu tiga tahun saja
(2007-2009) negaranya kehilangan 35 miliar dolar AS akibat peperangan
dan aksi-aksi teroris.
Selain melancarkan 986 kali operasi
militer sejak 2003, 251 kali diantaranya operasi berskala besar dan 735
operasi militer kecil-kecilan, militer Pakistan juga mendirikan 821 pos
pengamatan, melakukan patroli, memberlakukan jam malam, membangun pagar
dan pengawasan dengan biometric dalam upaya mencegah infiltrasi pelintas
batas yang sering juga disusupi anggota Taliban.
Strategi
yang diterapkan Pakistan adalah untuk membasmi aksi teroris dan mencegah
agar wilayah negara itu tidak dijadikan tempat berlindung mereka dengan
cara yang efektif melibatkan militer dan kekuatan politik serta
melaksanakan pembangunan kembali.
Operasi-operasi militer dilancarkan berdasarkan pertimbangan, dapat diterima oleh publik, mendapat dukungan politik, dilakukan seperlunya dengan mempertimbangkan letak geografis, sejarah dan budaya setempat dan untuk membangun kepercayaan masyrakat.
Tahapan operasi, dimulai dari pembersihan wilayah dari elemen teroris (clear), kemudian terus mempertahankan situasi keamanan (hold), membangun kembali sarana dan prasarana umum yang rusak (build) dan tahap terakhir menyerahkan kembali (transfer) administrasi kewilayahan pada pemerintah dan aparat keamanan lokal.
Program deradikalisasi
Khusus
di wilayah wisata Swat, Propinsi Punjab yang semula dijadikan basis
kelompok militan Taliban melancarkan aksi-aksinya, militer Pakistan
juga melakukan program deradikalisasi dalam upaya mencegah bangkitnya
kembali aksi-aksi kelompok militan dan ekstrim di wilayah itu.
Pertama kali, operasi militer dilancarkan pada untuk membersihkan wilayah lembah tersebut dari anasir-anasir militan Taliban setelah mereka melancarkan aksi kekerasan, pembunuhan dan penyerangan terhadap kantor-kantor polisi, perusakan bangunan sekolah, rumah sakit, jembatan dan prasarana umum lainnya.
Kemudian pengosongan wilayah itu termasuk seluruh warga, dan dalam waktu sekitar tiga bulan, setelah administrasi pemerintahan lokal dibentuk dan bersih dari anasir kelompok Taliban, warga dipulangkan kembali.
Program deradikalisasi bagi mantan kombatan Taliban dilakukan dengan menempatkan mereka pada pusat deradikalisasi yang berlokasi di wilayah Swat, ditangani oleh Divisi ke-19 Angkatan Darat Pakistan.
Selain mengikuti training di bidang pilihan masing-masing seperti memelihara lebah, mengoperasikan komputer, menenun, memperbaiki alat elektronika , bengkel otomotif, para ex-kombatan Taliban juga mendapatkan siraman rohani, misalnya mempraktekkan ajaran Islam secara benar yakni haram untuk membunuh orang tidak berdosa atau melancarkan bom bunuh diri.
Seusai program yang berlangsung tiga bulan tersebut, para mantan pengikut Taliban dilepas kembali di tengah masyrakat setelah sebelumnya melalui tes kejiwaan.
Mereka mendapatkan kemudahan bagi yang ingin melanjutkan pendidikan dan juga modal kerja bagi yang ingin berusaha.
Program yang diselenggarakan mulai Agustus 2010 itu saat ini sudah memasuki angkatan ke-9 dengan meluluskan l.066 pesertanya.
Sekitar separuh dari seluruhnya 63 peserta Angkatan ke-9 buta aksara atau tidak pernah mengenyam bangku sekolah, seangkan usia mereka berkisar antara 20 sampai 51 tahun.
Salah
seorang peserta Angkatan ke-9 Abdul Rahmen Ghani yang sedang berlatih
memperbaiki alat elektronika mengaku ia hanya iku-ikutan menjadi anggota
Taliban karena dibujuk seorang, dan sekarang ia sudah sadar untuk tidak
mengulangi agi perbuatannya.
Sementara peserta lainnya Moh.
Natsir yang sedang mengikuti tes kejiwaan mengaku nyaman dan senang
mengikuti program tersebut karena masa depannya terbuka kembali.
Dalam kunjungan wartawan Indonesia ke markas besar Divisi 19 di baru-baru ini, Panglima Divisi 19 Mayjen Ghulam Qamar merasa yakin bahwa para mantan kombatan tersebut sudah tobat dan tidak ada ruang atau kesempatan bagi mereka bangkit kembali.
"Bagaimana mereka bisa bangkit, jika rakyat tidak ada yang mau menerima mereka," tuturnya seraya menambahkan seluruh rakyat akan menentang kehadiran Taliban karena trauma terhadap aki-aksi kelompok militan tersebut yang hanya menciptakan kesengsaraan dan penderitaan.
Namun demikian, tentu saja, siapapun atau negara manapun, katanya, akan mengalami kesulitan untuk mencegah aksi-aksi individual yang dilakukan dengan berbagai motif dan secara tiba-tiba.
Suasana Siaga
Secara militer, seperti yang dinyatakan Dirjen Layanan Humas (DG-ISPR)
Mayjen Asim Saleem Bajwa pada rombongan wartawan Indonesia, berkat
operasi-operasi militer yang dilakukan, juga akibat serangan oleh
pesawat tak berawak (drone) yang dilancarkan AS, secara militer,
kekuatan Taliban sudah tidak berarti.
Menurut dia, saat ini hanya tersisa sekitar lima persen kantong-kantong wilayah yang masih dikuasai Taliban di kawasan Wajiristan Utara, selebihya sudah berada di bawah pengawasan pemerintah atau di menjadi wilayah otonomi.
Sebagian pengamat juga menyebutkan, kelompok militan yang sudah hadir di sepanjang tapal batas Afganistan untuk memerangi Soviet di era 80-an, mulai mengalihkan medan perang ke Afrika dan Timur Tengah.
Jumlah mereka terus merosot karena keterbatasan ruang gerak akibat operasi-operasi militer yang dilancarkan Pakistan serta serangan pesawat-pesawat tak berawak (drone) AS.
Ratusan
misi serangan udara menggunakan "drone" dengan target para tokoh
militan kelompok Taliban dan Al-Qaeda dilancarkan oleh AS sejak 2004,
walaupun dikecam sejumlah kalangan karena dinilai menimbulkan kerusakan
secara kolateral.
Walaupun memiliki presisi tinggi, bisa saja
orang tidak berdosa juga menjadi korban, misalnya jika target yang
dikejar berbaur dalam satu bangunan dengan anggota keluarganya atau
orang lain.
Walau secara militer, agaknya tidak ada kesempatan bagi kelompok
militan bangkit, namun Pakistan masih tetap menghadapi aksi-aksi teroris
seperti yang terjadi di tiga tempat pekan lalu.
Sikap siaga
tercermin antara lain dari penjagaan yang dilakukan aparat keamanan di
sejumlah bangunan penting dan jalan-jalan seputar kota dan kota-kota
besar di Pakistan.
Di ibukota, Islamabad, misalnya, mulai dari Bandara Benazir Bhutto, tampak kendaraan militer taktis dilengkapi senapan mesin kaliber 12,7 berjaga-jaga, sementara di ruas-ruas jalan tampak aparat keamanan rata-rata dilengkapi senjata laras panjang AK-47 atau G-3 berjaga-jaga, begitu pula di hotel-hotel, rumah makan atau tempat kerumunan warga.
Di sejumlah ruas jalan di alam kota juga tampak barikade-barikade terbuat dari beton, termasuk di jalan menuju diplomatic enclave di kawasan Ramna, lokasi Wisma Indonesia.
Suasana keamanan di Lahore, kota terbesar kedua di Pakistan, juga diwarnai sikap siaga oleh aparat keamanan.
Petugas keamanan mengawal wartawan yang menyebar melihat-lihat di pusat belanja Liberty di kawasan Gulberg, Lahore sementara alat detektor logam juga dipasang di pintu masuk kawasan wisata kuliner malam di dekat Mesjid Badshashi dan Benteng Lahore di kawasan kota tua Lahore.
Bahkan dengan sigapnya, pasukan bersenjata lengkap, mengenakan helm dan jaket anti peluru, meloncat turun dan mengawal dalam formasi tempur saat kendaraan berisi rombongan wartawan terjebak macet di Pasar Mingora dalam perjalanan menuju Markas Besar Divisi l9, kesatuan AD Pakistan yang menangani program deradikaisasi, di Khwaza Khaila , Propinsi Punjab.
Pakistan, negeri dengan sekitar 170-juta penduduknya dikenal kaya dengan obyek wisata seperti peninggalan sejarah termasuk kota-kota tua dengan bangunan-bangunan peninggalan dinasti kerajaan Hindu, Islam atau era penjajahan Inggeris seperti kuil, mesjid, benteng, museum dan bangunan bersejarah lainnya.
Negeri ini yang berbatasan dengan Afganistan, China, India dan Iran juga dikenal dengan produk kerajinan seperti karpet, tenun, seni pahat, seni patung , bordir dan batu pualam dengan berbagai corak tergantung asal daerahnya .
Lembah Swat yang subur dengan pemandangan indah atau upacara penurunan bendera di tapal batas India-Pakistan antara lain obyek wisata yang dikenal dunia.
Namun situasi keamanan yang kurang kondusif akibat rangkaian aksi teror berkepanjangan dan menelan ribuan korban jiwa serta persepsi negatif akibat pemberitaannya membuat para pelancong berfikir beberapa kali untuk berkunjung ke negeri ini.
"Ya cuma kalian saja," kata Gubernur Punjab Makhdoom Ahmed Mehmood berseloroh di depan rombongan wartawan Indonesia saat ditanyakan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke wilayahnya.
Jadi wajar saja jika para pejabat, cendekiawan, ilmiawan atau para wartawan Pakistan, bahkan pihak asing menilai, Pakistan merupakan negeri yang menjadi korban aksi-aksi terorisme. Bahkan seorang pejabat Deplu AS, Philip J. Crowley mengakui "Tidak ada negeri yang lebih menderita akibat aksi-aksi teroris selain Pakistan".