Jakarta (Antara Babel) - Saat Twitter berulang tahun ke-9 pada 21 Maret 2015, media sosial populer itu memposting 10 cuitan penggunanya yang mengubah dunia selama sembilan tahun terakhir.
Salah satu cuitan tersebut mengenai penerbangan The US Airways yang mendarat darurat di Sungai Hudson, New York, pada 2009. Peristiwa tersebut pertama kali dilaporkan oleh pengguna akun @jkrums yang kemudian tersebar sehingga menarik media pers.
Twitter juga menunjukkan pengguna @ReallyVirtual yang menginformasikan penyerbuan markas Osama Bin Laden terlebih dulu daripada media mainstream mengabarkannya ke dunia.
Kecepatan cuitan Twitter atau media sosial lain dalam mengabarkan informasi memang sudah terbukti selama ini sehingga menarik pers menjadikannya sebagai acuan untuk memantau peristiwa-peristiwa penting.
Tokoh-tokoh ternama pun tidak sedikit yang menggunakan media sosial untuk menginformasikan hal penting kepada khalayak.
Misalnya mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang aktif memposting di media sosial Twitter dengan akun @SBYudhoyono mengenai pandangannya pada isu politik terkini atau sekadar imbauan kepada 'follower'-nya.
Tak jarang, cuitan SBY itu langsung menjadi bahan berita oleh media mainstream yang mengutip pernyataan dari media sosial tersebut.
Menanggapi tren media sosial menjadi acuan berita oleh pers, Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan media sosial merupakan gejala dunia yang perkembangannya sangat cepat dan tidak dapat dihindari pengaruhnya pada dunia jurnalistik.
Bagir Manan mengatakan fenomena pers mengambil pernyataan seorang tokoh dalam media sosial untuk dijadikan berita tidak menjadi soal.
"Memang sekarang pers menjurusnya ke media sosial, kadang-kadang mengambil di media sosial. Tidak apa-apa berita diambil dari media sosial, selama tidak ada orang yang mengeluh," kata Bagir.
Meski memberi lampu hijau, ia menekankan terdapat beberapa syarat yang mengikutinya. Pertama, pers harus melakukan pengecekan untuk memastikan akun yang dikutip merupakan akun resmi tokoh. Kedua, melakukan verifikasi setelah membuat berita dari media sosial untuk memastikan kebenaran dari informasi tersebut.
"Pers harus melakukan kewajiban pers, jadi mempunyai kewajiban verifikasi dan cover both side ketika mengambil informasi dari twitter misalnya," tutur dia.
Ketiga, melakukan seleksi dan memilah informasi dari media sosial untuk dijadikan berita sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Ketiga syarat tersebut harus dipenuhi sebab berita yang diambil dari media sosial sudah menjadi tanggung jawab pers, saat muncul masalah dari berita tersebut, pers lah yang harus bertanggung jawab.
"Setelah menjadi produk berita, pers tidak bisa tidak bertanggung jawab karena dia memiliki kebebasan mengambil dan tidak mengambil kutipan dari media sosial untuk dijadikan berita," ucap dia.
Sementara pewarta senior Bre Redana berpendapat Dewan Pers memperbolehkan pers mengutip media sosial menjadi berita karena kondisi yang tidak terelakkan, yakni adanya tuntutan kecepatan media daring (dalam jaringan, red).
Namun, secara pribadi ia menghindari mengutip media sosial menjadi berita karena menurut dia susah melakukan verifikasi pada tokoh langsung melalui media sosial.
"Media sosial itu susah diverifikasi, itu kendala teknis susah diverifikasi, sehingga secara pribadi saya sangat menghindari untuk mengutip kata apapun yang berasal dari sosial media," tutur pewarta kelahiran Salatiga itu.
Ia juga tidak sepakat untuk mengutip dulu kemudian memverifikasi langsung pada pemilik akun karena hal tersebut dapat memicu kisruh akibat isu digulirkan terlebih dulu baru meminta konfirmasi.
Selain itu, menurut dia, budaya mengutip baru menghubungi nara sumber untuk konfirmasi menimbulkan kewajiban menjawab sesuatu hal yang sebenarnya tidak ditanyakan oleh pers.
"Problemnya itu kalau anda mengutip seseorang sekarang, besok mengonfirmasi menjadi kisruh seperti tipe infotainment, tiba-tiba membuat berita, mereka (nara sumber) jadi berargumentasi membuat pertanggungjawaban dari konfirmasi, secara etis tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saya tekankan yang penting dari media massa bukan jawaban, tetapi pertanyaannya," kata dia.
Tindakan mengutip media sosial, ujar dia, juga dapat menurunkan kualitas berita karena pers tidak bisa menggali kedalaman informasi dan hanya terpatok pada pernyataan singkat dalam media sosial.
Dengan adanya masalah-masalah tersebut, ia menilai media sosial dan media masa merupakan dua ranah berbeda yang harus dibedakan dan memang tidak untuk dicampur adukkan.
Dilema Kualitas dan Kebutuhan
Sebelum internet menjangkau berbagai lapisan masyarakat di seluruh dunia, pers terbagi ke dalam tiga kategori dengan fungsi masing-masing, yakni radio untuk menarik perhatian, cetak untuk menjelaskan lebih rinci dan televisi untuk memengaruhi.
Namun setelah internet mengikat, ketiga peran tersebut diambil alih oleh media daring, meskipun dengan kekurangannya.
Anggota Dewan Pers Ninok Leksono mengakui tren pengambilalihan semua peran oleh media daring menjadi hal yang problematik, ditambah fenomena kedekatan media daring dengan media sosial, informasi yang disajikan menjadi tidak mendalam, tetapi di sisi lain tidak terelakkan seiring perkembangan zaman.
Ia mengakui, sama seperti pendapat Bre Redana, mencari kebenaran yang sesungguhnya melalui media sosial sangat sulit dan itulah yang menjadi persoalan bagi kualitas jurnalistik di era media sosial ini.
"Tidak bisa dimungkiri, banyak informasi mendalam yang tidak diketahui. Mencari kebenaran yang sesungguhnya menjadi sulit dengan adanya media sosial," kata Ninok.
Namun, kebutuhan akan kecepatan informasi, kata dia, membuat media daring sering memanfaatkan media sosial.
Menyikapi hal tersebut, ia menuturkan Dewan Pers menyesuaikan diri dengan fenomena tersebut dan meminta pers yang membuat berita dari media sosial tetap mematuhi kode etik jurnalistik.
Ia percaya masyarakat pers Indonesia masih menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, terlepas apa atau siapa pun sumber beritanya.
Selain kebutuhan akan kecepatan informasi, media daring juga membutuhkan media sosial sebagai sarana promosi untuk menarik pembaca.
Pengamat Media Sosial dari Provetic Iwan Setiawan mengatakan pers, khususnya media daring tidak bisa dipisahkan dari media sosial karena membutuhkannya untuk promosi.
"Media online itu semuanya masuk media sosial sekarang. Itu salah satu channel untuk menyebarkan informasinya melalui facebook, twitter, bahkan sekarang instagram juga," ujar dia.
Menurut dia, media daring harus masuk ke media sosial agar dikenal masyarakat dan menarik pembaca untuk mengunjungi laman berita.
"Sekarang media online mana yang tidak punya akun twitter? mereka biasanya akan memposting beritanya ke akun twitter agar dibuka pembaca," tutur dia.
Iwan berpendapat meskipun sosial media datang dengan banyak permasalahan, tetapi media sosial dapat menjadi sarana untuk belajar karena luasnya informasi yang ditawarkan.
Sama seperti koin, ujar dia, media sosial memiliki dua sisi bersamaan. Selanjutnya tergantung pada penggunanya, baik itu pers maupun masyarakat, untuk memanfaatkannya secara bijaksana agar lebih banyak membawa manfaat daripada kerugian.