Jakarta (Antara Babel) - Wacana penganggaran untuk Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) yang lebih dikenal dengan dana aspirasi, oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhir-akhir ini menuai kontroversi.
Betapa tidak. Banyak kelompok masyarakat beranggapan program yang membuat Pemerintah menggelontorkan dana sedikitnya Rp11,2 triliun per tahun itu tidak akan memberikan efek signifikan bagi pembangunan daerah.
Sesuai nama programnya, dana sebesar Rp20 miliar untuk satu orang anggota DPR diperuntukkan bagi pembangunan daerah yang direpresentasikan anggota dewan tersebut.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan secara politik dana tersebut sah-sah saja diusulkan oleh anggota dewan. Hanya saja, dia menilai, perlu pengkajian lebih lanjut mengenai mekanisme dan pengawasan terhadap dana tersebut.
Jika tidak ada kesiapan konsep pendistribusian dan pengawasan, maka dana program tersebut akan menjadi tumpang tindih dengan anggaran yang selama ini digelontorkan dari pusat ke daerah.
"Dana aspirasi ini kan sebenarnya hampir sama dengan dana hibah dan dana bansos, dan sekarang sudah ada dana PPID (program pembangunan infrastruktur daerah) juga," tutur Mendagri Tjahjo.
Sementara sejumlah program yang disebutkan Mendagri tersebut dinilai masih terdapat penyelewengan di tahap pendistribusiannya, sehingga berakibat pada pembangunan daerah tidak optimal.
Nominal dana aspirasi yang bisa bertambah setiap tahunnya itu, menurut Tjahjo bukanlah persoalan utama mengenai apakah usulan itu disetujui atau tidak oleh Pemerintah.
Melainkan, teknis penyaluran hingga dana tersebut benar-benar dirasakan dalam pembangunan suatu daerah menjadi hal utama yang diperhatikan oleh Pemerintah.
Mendagri mencontohkan penyaluran dana PPID; yang untuk mencapai hingga ke level birokrasi terendah di daerah saja nominalnya jauh berkurang dari awal digelontorkan.
Adanya oknum yang "memotong" uang pembangunan tersebut dalam perjalanannya menyebabkan munculnya celah-celah korupsi. Alih-alih mewujudkan pembangunan sarana infrastruktur di daerah, program tersebut justru memperkaya oknum tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, sebelum wacana UP2DP itu dibahas lebih lanjut dengan Pemerintah sebaiknya dipikirkan pula mekanisme penyaluran dan pengawasannya supaya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
"Apakah anggota DPR bisa menjamin bahwa di tingkat provinsi, kabupaten, kota sampai di level bawah itu pelaksanaannya terkontrol dengan baik dan tidak dipotong oleh oknum? Padahal, arahnya program itu adalah untuk mempercepat pemerataan dan pembangunan, sehingga 'potongan-potongan' itu harus ditiadakan dahulu," jelasnya.
Sah-sah Saja
Permintaan DPR terhadap penganggaran dana UP2DP tersebut sah-sah saja, mengingat itu dinilai merupakan wujud pelaksanaan tugas konstitusi DPR.
Namun, dalam tata kelola pemerintah demokratis, usulan tersebut tentu tidak serta merta disetujui begitu saja tanpa melalui pembahasan antara Pemerintah dan DPR.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan pengajuan UP2DP itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD (MD3) yang mengatur pasal khusus mengenai dana aspirasi.
Fahri mengatakan jika Pemerintah menolak usulan program dana itu, maka Pemerintah dinilai telah melanggar UU MD3 tersebut.
"Tekad DPR hanya melaksanakan UU. UU telah mengatur untuk mendengar aspirasi masyarakat. Itu juga merupakan pelaksanan dari sumpah DPR. Jika tidak melaksanakan itu jelas pelanggaran konstitusi dan melanggar sumpah sebagai anggota DPR," dalih Fahri.
Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bappenas Andrinof Chaniago mengatakan usulan dana tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Menurut Andrinof permintaan DPR itu tidak sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional seperti visi dan misi Presiden Joko Widodo periode 2014-2019.
"Dana aspirasi dengan jumlah besaran tertentu tidak sejalan dengan UU SPPN. Kalau dana aspirasi, perencanaan pembangunan muncul dari usulan DPR; ini mengubah arah pembangunan. Itu yang saya maksud tidak sesuai dengan UU," imbuh Andrinof.
Permintaan dana aspirasi tersebut dinilai dapat menimbulkan tumpang tindih kebijakan arah pembangunan di daerah, sehingga dapat mengganggu program pemerintah yang telah dicanangkan.
Oleh karena itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan usulan tersebut harus dibahas lebih lanjut guna mengetahui arah kebijakan supaya tidak salah sasaran.
Permintaan anggaran, dalam wujud dana aspirasi, merupakan hak yang dimiliki oleh anggota DPR, sehingga Pemerintah bisa saja menyetujui usulan tersebut sepanjang sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki Pemerintah saat ini.
"Semua baru mengatakan bahwa ini ada dasarnya, tetapi kan ini belum (ada pembahasan). Ini baru sebatas setuju adanya program itu, ya memang setuju tetapi bagaimana cara (pendistribusian), berapa besarannya yang patut kan belum ada. Itu aspirasi semua," ujar Wapres Kalla.
Kajian lebih mendalam diperlukan sebelum mengambil keputusan mengesahkan program tersebut, sehingga pembahasan antara Pemerintah dan DPR perlu dilakukan.
Jika Pemerintah menilai permintaan DPR tersebut tidak sesuai dengan situasi dan kondisi anggaran negara, maka bisa saja Pemerintah menolak program UP2DP tersebut.
"Bisa saja (Pemerintah batalkan); banyak caranya, ada nilainya, masukkan ke anggaran. Pokoknya nanti dibicarakan antara DPR dan Pemerintah," tukas Kalla.
Pemerintah seharusnya berhati-hati dalam menentukan arah kebijakan, khususnya terkait UP2DP atau dana aspirasi tersebut.
Jangan sampai keinginan DPR disetujui hanya demi memuluskan jalannya pemerintahan, melainkan juga harus untuk pembangunan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat di seluruh Tanah Air.