Jakarta (Antara Babel) - Gerakan Bela Negara (GBN) menolak usaha pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi ataupun permintaan maaf terhadap korban pelanggaran HAM pada 1965-1966 yang terjadi pascaperistiwa Gerakan 30 September (G30S).
Menurut GBN, permintaan maaf atau rekonsiliasi, yang sedang digodok pemerintah, dapat membangkitan Partai Komunis Indonesia, yang disebut mereka sebagai pengkhianat dan secara resmi dilarang di Indonesia sejak tahun 1966 melalui Tap MPRS XXV/1966
"Saat ini, ada beberapa tanda kebangkitan PKI seperti munculnya lambang-lambang partai terlarang itu di beberapa daerah beberapa waktu lalu," kata Wakil Ketua Umum GBN Brigjen TNI (Purn) Adityawarman Taha dalam pertemuan GBN dengan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara di Wisma Antara, Jakarta, Selasa.
Selain itu, GBN juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa PKI tidak bersalah dalam G30S. Sementara peristiwa yang terjadi pada tahun 1965-sekitar tahun 1970, GBN menyebutnya sebagai konflik horizontal.
Pemerintah Indonesia sendiri saat ini sedang menggodok kebijakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM tahun 1965-1966 yang menimpa orang-orang yang terkait ataupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia. Cara yang dipertimbangkan adalah rekonsiliasi, permintaan maaf atau dalam bentuk lain.
Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, pemerintah masih mempertimbangkan, apakah akan mengeluarkan kebijakan dalam bentuk penyesalan atau permintaan maaf kepada para korban.
"Permintaan maaf akan diberikan jika pemerintah menemukan tindakan-tindakan yang tidak tepat, ketidakadilan maupun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada korban pada kurun 1965-1966," kata Yasonna.
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, seperti yang termaktub dalam Nawa Cita, juga berkomitmen menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di eraOrde Baru, saat rezim Presiden Soeharto dan setelahnya.
"Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang hingga kini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965", tulis Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla dalam visi misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, berisi penjabaran dari Nawa Cita, yang diberikan kepada KPU dalam masa kampanye.
Terkait peristiwa 1965-1966, Komnas HAM sendiri sejak tahun 2008 telah melakukan penyelidikan tentang kejadian tahun 1965-1966 pascaperistiwa Gerakan 30 September yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa warga Indonesia yang terkait maupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan afiliasinya, sementara sejumlah orang lainnya diasingkan dan dipenjara.
Pada tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan bahwa kejadian tahun 1965-1966 termasuk pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pada Pasal 9 UU tersebut dinyatakan ada 10 perbuatan yang dikategorikan kejahatan kemanusiaan, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu, penghilangan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid.
Komnas HAM menyatakan sembilan dari 10 perbuatan tersebut ditemukan dalam kasus 1965-1966.