Jakarta (Antara Babel) - Partai politik mungkin merupakan sektor yang tidak terlalu banyak mengalami perbaikan sistem di era reformasi yang telah berproses sejak 1998.
Parpol masih belum transparan tentang bagaimana mereka mengelola keuangan internal, dan negara juga belum begitu memberikan perhatian terkait bantuan pendanaan kepada partai.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa hal tersebut membuat berlakunya hukum alam di partai. Artinya, pihak yang memiliki uang dapat dengan mudah menjadi pihak yang mendominasi partai.
Implikasinya bermuara pada kondisi politik, yang semakin lama tampak semakin melemah, seperti misalnya, legitimasi anggota DPR yang berkurang karena diambil alih oleh pemimpin partai atau ketua fraksi.
Cikal bakal partai baru yang lahir dari konglomerasi juga akan semakin banyak, dan kondisi tersebut apabila dibiarkan akan membuat masyarakat menjadi semakin berjarak dengan parpol.
Aspek transparansi tata kelola keuangan parpol menjadi krusial. ICW menyebutkan bahwa upaya transparansi tersebut mampu menjadi momentum untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada parpol.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz mengatakan partai seharusnya wajib mempublikasikan laporan keuangannya agar masyarakat luas dapat mengaksesnya sehingga rencana belanja dapat diketahui.
ICW menyoroti tidak terbukanya parpol dalam tata kelola keuangan sebagai sebuah permasalahan akut di tingkat kepengurusan pusat dan daerah.
Alasan parpol tidak mau menunjukkan laporan keuangan biasanya karena penyumbang nonkader tidak mau diungkapkan identitasnya karena mereka biasanya tidak hanya menyumbang dana pada satu partai saja.
Partai politik juga melindungi penyumbang yang tidak ingin nilai sumbangannya dibandingkan dengan nilai pajak yang mereka bayarkan kepada negara.
Problem mendasar keterbukaan informasi keuangan parpol juga tampak dari ketiadaan pejabat pengelolaan informasi dan dokumentasi (PPID) yang dimiliki oleh parpol.
"Bahkan sering kita temui kantor parpolnya ada, tapi di sana tidak ada kegiatan rutin," ungkap Donal.
Partai juga belum sepenuhnya mencatat penerimaan dan pengeluaran keuangan parpol dalam sebuah laporan keuangan. Apabila memiliki laporan keuangan, mayoritas parpol menganggap laporan keuangan tersebut hanya berlaku untuk internal dan bukan suatu hal yang harus dipublikasikan.
ICW juga menyebutkan bahwa tidak semua kader mengetahui laporan keuangan partainya karena metode tata kelola keuangan partai masih konvensional.
"Yang dimaksud konvensional adalah permohonan akses laporan keuangan biasanya dilakukan secara informal dan semangat perkawanan. Permohonan secara formal biasanya tidak berhasil," ucap Donal.
Selain itu, proses permohonan informasi keuangan parpol di sejumlah daerah juga masih berhadapan dengan perlawanan dan intimidasi dari partai yang bersangkutan.
Dana Parpol
Uang dan politik adalah pasangan serasi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Melalui uang politik bisa dijalankan dan tanpa uang politik tidak dapat berjalan.
Berbagai pendapat muncul, bahwa pemberian dana bantuan pemerintah kepada parpol yang cukup akan mampu mengurangi ketergantungan parpol kepada pihak penyumbang dana besar.
Pemberian dana tersebut tentu harus dibarengi dengan masuknya peran negara dalam memberikan pengaruh berupa semangat transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola keuangan parpol.
ICW mengungkapkan beberapa sumber dana parpol, seperti iuran anggota, sumbangan sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Sumber utama pemasukan partai adalah dari sumbangan "pemilik partai" dan kader yang sedang menduduki jabatan publik.
Sumbangan negara sendiri masih sangat minim, yaitu hanya sebesar Rp108 per surat suara sah pada pemilu legislatif terakhir. Menurut ICW, sumbangan tersebut hanya mampu menutup 0,63 persen total pengeluaran partai.
Di Indonesia, penerima bantuan keuangan hanya parpol yang duduk di DPR/DPRD dengan metode proporsional berdasarkann perolehan suara dan tidak ada skema setara dan adil untuk semua partai.
Bantuan tersebut diberikan untuk pendidikan politik dan operasional sekretariat. Pelaporannya disampaikan kepada pemerintah melalui Kemendagri setelah diaudit oleh BPK.
Rumus Rp108 yang diperoleh dari jumlah total bantuan keuangan parpol yang diterima dibagi dengan suara sah.
Sebagai perbandingan, pada 1999 bantuan pendanaan parpol sebesar Rp1.000 per suara sah dan pada 2004 sebesar Rp21 juta per kursi. Pada 2009 baru ditetapkan sebesar Rp108 per suara sah, di mana rata-rata tingkat kepengurusan pusat mendapatkan Rp9 miliar.
Besaran bantuan keuangan parpol juga berbeda-beda di tiap negara. Di Selandia Baru, pemerintah sama sekali tidak memberikan bantuan pendanaan partai. Sedangkan di Uzbekistan, 100 persen kebutuhan partai disubsidi oleh negara.
Kemudian Prancis, Denmark, dan Jepang memberikan 50 persen subsidi negara kepada partai. Inggris, Italia, dan Australia memberikan 30 persen subsidi negara kepada partai. Austria, Swedia, dan Meksiko memberikan 70 persen bantuan negara kepada partai.
ICW sendiri mengusulkan perubahan skema pendanaan pemerintah kepada parpol sebesar 10 persen dari kebutuhan parpol, atau sekitar 0,0125 persen dari APBN untuk tingkat kepengurusan pusat.
Wujud dari pertanggungjawaban atau syarat atas peningkatan subsidi parpol tersebut adalah transparansi keuangan parpol.
Untuk pengaturan pengajuan bantuan, parpol diwajibkan menyusun anggaran pendapatan dan belanja partai (APBP) agar bantuan negara kepada partai dapat diukur dari sisi perencanaan dan realisasi.
ICW juga mengusulkan agar penggunaan bantuan sebesar 60 persen dari total bantuan harus diimplementasikan untuk pendidikan politik dengan materi wajib yaitu antikorupsi dan pemerintahan.
"Pendidikan mengenai pemerintahan penting karena banyak anggota DPR yang tidak tahu fungsi, tugas, dan kerja mereka," tutur Donal Fariz.
Sementara itu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengusulkan skema bantuan Negara kepada parpol tidak boleh lebih besar dari 30 persen dari keseluruhan kebutuhan politik. Bantuan tersebut dipaketkan dengan tanggung jawab untuk transparan dan akuntabel untuk tata kelola keuangan.
"Tidak lebih dari 30 persen agar partai tidak mengandalkan kontribusi negara tapi juga kontribusi anggota, untuk memberi ruang kontribusi politik kepada partai," ujar Direktur Perludem Titi Anggraini.
Peningkatan bantuan sekaligus dalam jumlah besar akan merusak partai karena kader lebih mungkin untuk terjerat korupsi. Peningkatan bantuan dilakukan bertahap agar dapat menjamin kesiapan parpol.
Titi juga menyebutkan bahwa problem dana parpol berada di ketiadaan peran lembaga pengawas dalam menjalankan fungsi pengawasan keuangan parpol.
"Hanya BPK melalui Kemendagri, tapi bagaimana keuangan parpol secara keseluruhan? Bantuan negara kepada partai hanya audit oleh BPK, sedangkan dana dari pihak ketiga diaudit oleh pihak yang ditunjuk untuk kemudian diumumkan ke publik. Pengawasannya tidak mengerucut pada satu lembaga khusus untuk pengawasan," kata dia.
Di Jerman, pengawasan dilakukan oleh ketua DPR sebagai institusi politik yang kekuatannya kuat dan dikontrol. Di Turki, keuangan parpol diawasi ketat oleh MK, dan di Meksiko diawasi ketat oleh KPU.
Di Amerika Serikat, Komisi Pemilu Federal bekerja hanya mengawasi keuangan politik tanpa mengawasi pemilu.
Di Indonesia belum jelas diatur. Meskipun nilai bantuan keuangan negara tergolong terlalu kecil, namun memberikan bantuan tanpa skema transparansi dan kejelasan pengawasan bukanlah sebuah solusi untuk meningkatkan kualitas parpol.
Keuangan partai politik dari hulu ke hilir sudah sepatutnya diawasai secara baik demi memberikan kepastian kualitas pendidikan politik dan transparansi keuangan parpol.