Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Johan Muhammad mengatakan Indonesia berisiko rendah terdampak aktivitas atau badai Matahari.
Di Indonesia sendiri, dampak (aktivitas Matahari, red.) yang didapat tidak sebesar daerah yang berada di lintang tinggi seperti di sekitar kutub Bumi. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang berada di khatulistiwa, kata dia kepada wartawan di Jakarta, Jumat.
Aktivitas Matahari secara langsung mengubah kerapatan dan tekanan plasma di medium antarplanet dan ionosfer, serta meningkatkan tekanan magnetik pada magnetosfer Bumi.
Hal itu menyebabkan berbagai sinyal gelombang elektromagnetik yang biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk keperluan komunikasi dan navigasi dapat terganggu saat terjadi aktivitas Matahari yang ekstrem.
Di samping itu, Matahari sebagai sumber energi utama di tata surya memiliki pengaruh terhadap cuaca antariksa.
Matahari secara rutin melepaskan energi dalam bentuk radiasi. Beberapa aktivitas Matahari yang berpengaruh besar terhadap kondisi cuaca antariksa di antaranya adalah flare, lontaran massa korona, dan angin surya.
Cuaca antariksa akan banyak berdampak pada gangguan sinyal radio frekuensi tinggi (HF) dan navigasi berbasis satelit.
Di Indonesia, cuaca antariksa akibat aktivitas Matahari dapat mengganggu komunikasi antarpengguna radio HF dan mengurangi akurasi penentuan posisi navigasi berbasis satelit, seperti Global Positioning System (GPS).
Ia menjelaskan karena semakin tingginya ketergantungan masyarakat di Indonesia terhadap teknologi satelit dan jaringan ekonomi global, gangguan pada satelit dan jaringan kelistrikan di wilayah lintang tinggi seperti kutub akibat cuaca antariksa juga dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia di Indonesia secara tidak langsung.
Cuaca antariksa merupakan keadaan di lingkungan antariksa, khususnya antara Matahari dan Bumi, yang meliputi kondisi Matahari, medium antarplanet, atmosfer atas Bumi (ionosfer), dan selubung magnet Bumi (magnetosfer).
Seperti halnya cuaca di Bumi, cuaca antariksa bersifat dinamis dan sangat bergantung pada aktivitas Matahari, ujarnya.
Johan menjelaskan tidak ada istilah kiamat badai Matahari di kalangan masyarakat ilmiah.
Kita telah hidup lama berdampingan dengan cuaca antariksa. Aktivitas Matahari rutin terjadi. Yang perlu kita pahami adalah bagaimana prosesnya dan memitigasi dampak negatifnya semampu kita, tuturnya.
Ia mengimbau masyarakat agar tidak panik dan tidak mudah termakan hoaks yang beredar berkaitan dengan badai Matahari.
Matahari memiliki siklus sekitar 11 tahun sekali. Saat ini, sedang berada di awal siklus ke-25 yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 2024-2025.
Pada saat puncaknya, aktivitas Matahari diperkirakan akan meningkat dengan frekuensi kejadian flare dan lontaran massa korona kemungkinan akan bertambah.
Berita Terkait
Berikut kiat pilih pemimpin dalam pilkada era digital
7 Oktober 2024 16:01
BRIN: Gerhana matahari cincin tidak dapat diamati di Indonesia
2 Oktober 2024 15:42
Empat planet terlihat di langit Indonesia saat fenomena parade planet
28 Agustus 2024 21:39
BRIN ungkap adanya peradaban megalitik yang religius di Gunung Slamet
25 Juli 2024 14:06
BRIN punya suplemen untuk meningkatkan produktivitas sapi potong
15 Maret 2024 09:38
BRIN sebut buaya Australia masuki perairan Indonesia
28 Februari 2024 14:06
BRIN dukung pembentukan kebijakan antariksa 2045
27 November 2023 16:48
Kemenkes pantau perkembangan virus Nipah agar tak masuk ke Indonesia
11 Oktober 2023 13:49