Jakarta (ANTARA) - Peneliti Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin mengatakan fenomena gerhana matahari cincin yang diprakirakan terjadi hari ini tidak dapat diamati di Indonesia karena berlangsung pada tengah malam sampai dini hari waktu Indonesia.
"Gerhana matahari cincin terjadi di Pasifik sampai Amerika Selatan pada tengah malam sampai dini hari 2-3 Oktober waktu Indonesia. Jadi tidak bisa diamati di Indonesia," kata Thomas saat dihubungi di Jakarta pada Rabu.
Ia menjelaskan, fenomena gerhana matahari cincin serupa dengan gerhana matahari pada umumnya yakni terjadi ketika posisi bulan menghalangi sinar matahari.
Namun, karena posisi bulan lebih jauh dari rata-ratanya, piringan bulan tampak lebih kecil daripada piringan matahari sehingga bagian tepi matahari hari tampak seperti cincin.
Thomas mengatakan dampak yang umum terjadi ketika fenomena gerhana matahari adalah peningkatan pasang air laut. Namun, dampak yang disebabkan gerhana matahari tersebut tidak sampai membahayakan.
"Dampak umum dan global gerhana matahari adalah peningkatan pasang air laut tetapi itu tidak berbahaya," katanya.
Diketahui, Berdasarkan hasil analisa tim Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendapati wilayah yang dapat mengamati Gerhana Matahari Cincin tersebut antara lain di Samudera Pasifik, Amerika Selatan bagian selatan dengan alur pergerakannya melewati Chile bagian selatan dan Argentina bagian selatan.
Ketua Bidang Tanda Waktu BMKG Himawan menjabarkan fenomena Gerhana Matahari Cincin adalah fenomena langka, sangat jarang terjadi, periode untuk lokasi yang sama lebih dari 10 tahun jadi ini bukan fenomena biasa.
Dampak dari fenomena gerhana Matahari cincin tidak signifikan. Secara umum seperti penurunan suhu permukaan, intensitas cahaya, dan perubahan pola angin lokal karena sebagian cahaya matahari terhalang oleh bulan, dan perubahan tersebut tidak sedrastis saat gerhana matahari total.
Catatan khusus dari BMKG untuk mengamati fenomena Gerhana Matahari Cincin di wilayah yang dilintasi tersebut harus menggunakan kacamata khusus supaya mata tidak rusak.
BMKG mengharapkan melalui penjabaran tersebut masyarakat Indonesia bisa tetap bersikap partisipatif, positif, dan bijak merespons informasi seputar fenomena alam dengan tetap mengacu pada data dari lembaga terverifikasi, seperti yang bersumber dari BMKG.