Palu (ANTARA) - Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah memastikan operasi yang melibatkan Satuan Tugas Madago Raya di Km 13 Desa Kilo, Kabupaten Poso, pada 29 September lalu, itu menewaskan anggota terakhir kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) bernama Askar alias Jaid alias Guru alias Ikhwanrisman.
Lokasi baku tembak itu terjadi di ketinggian 450 meter di atas permukaan laut. Askar roboh setelah menerima tembakan di bagian dada, tetapi jenazahnya tidak langsung dievakuasi karena aparat menduga terdapat sejumlah bom aktif.
“Kami sudah memastikan bahwa benar itu adalah Askar, salah seorang dalam daftar pencarian orang yang kami cari sejak tahun 2011,” kata Kapolda Sulteng Irjen Pol. Rudy Sufaridi usai mengecek langsung jenazah di RS Bhayangkara, Palu.
Berdasarkan hasil itu, sejumlah pihak meminta Mabes Polri melakukan evaluasi rangkaian operasi yang sudah berganti nama beberapa kali itu. Meskipun berhasil memburu kelompok MIT, operasi itu juga menyisakan trauma sebagian masyarakat di wilayah zona operasi.
Kepala Desa Lembantongoa, Deky Basalulu, menceritakan sejumlah anak yang melihat peristiwa pembunuhan empat warga oleh kelompok MIT pada 27 November 2020, mengalami trauma bila melihat siapa saja sedang menenteng senjata.
Waktu itu ada yang datang mengantar bantuan di kantor desa bersama-sama dengan polisi yang bawa senjata. Begitu mau diberikan ke anak-anak korban, salah satunya dari mereka malah langsung lari ketakutan setelah melihat senjata.
Peristiwa tersebut, tutur Deky, juga menjadi napak tilas kelam bagi korban selamat, di antaranya istri dari korban MIT, yakni Astri Kandi (27), yang kerap tidak ingin lagi bercerita perihal kekejaman kelompok pimpinan Ali Kalora saat itu.
Bahkan, Astri berkeras tidak lagi ingin kembali ke Dusun Tokelemo, Desa Lembantongoa, dan memilih pindah ke tempat permukiman yang lebih ramai untuk membesarkan tiga anaknya.
Ulah kelompok MIT yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) polisi itu bukan kali pertama, melainkan telah ada sejak 2017, yakni pada kasus penyanderaan meski korban dilepaskan kembali.
Luka itu memang berangsur pulih kembali namun tetap harus dipantau oleh Polri, jangan sampai peristiwa itu terulang kembali.
Meskipun begitu, trauma tidak hanya datang dari moncong senjata milik kelompok MIT, melainkan juga datang dari senjata aparat negara.
Sejumlah warga tidak jauh dari Polsek Poso Pesisir Utara pada 9 April 2020 mengaku mendengar suara yang mirip letupan senjata. Namun hingga kini tidak ada yang tahu suara tersebut benar berasal dari senjata atau tidak. Akan tetapi setelah bunyi letupan itu, Qidam Alfarizki (20) dilaporkan meninggal dunia di sekitar lokasi itu.
Beberapa hari setelah itu, Qidam disebut bagian dari kelompok sipil bersenjata Poso oleh kepolisian setempat. Namun pihak keluarga mengklarifikasi pernyataan itu dengan sebuah laporan dan setelahnya pihak Polda Sulteng meralat bahwa Qidam Alfarizki bukanlah bagian dari kelompok MIT Poso.
Peristiwa itu pun turut menyisakan trauma serta rasa gundah bagi orang tua Qidam, Irwan Mowance. Sebab pada sekujur tubuh jenazah Qidam ditemukan sejumlah luka yang tidak biasa.
Tragedi dugaan salah tembak kembali berulang pada 2 Juni 2020, yang menimpa dua petani bernama Syarifudin dan Firman. Akan tetapi, dugaan salah tembak itu dinyatakan selesai.
Kala itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Awi Setiyono membeberkan kronologi peristiwa itu bahwa kedua korban masuk ke dalam zona operasi dan tidak melaporkan diri.
Berdasar hal itu, Polri menyebut anggota Satgas Tinombala telah bertindak sesuai prosedur dengan memberi peringatan awal terlebih dahulu. Setelah itu, aparat yang menghampiri baru menyadari bahwa korban merupakan warga KM 09, yaitu Desa Kawende, Kecamatan Poso Pesisir Utara.
Adanya rangkaian peristiwa itu membuat warga yang bermukim dalam zona operasi atau tempat tinggalnya menjadi daerah perlintasan DPO MIT trauma karena kerap kali dianggap sebagai simpatisan aksi teror maupun sebagai informan aparat.
Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu Lukman Thahir menyatakan salah satu kunci keberhasilan dari operasi yang sudah tiga kali berganti nama, mulai Camar Maleo, Tinombala, dan Madago Raya, itu adalah dengan menghentikannya.
“Karena memang indikator untuk memperlihatkan keberhasilan operasi itu adalah dengan cara menghentikannya. Kalau tidak dihentikan, orang-orang akan terus bertanya kapan selesai dan sejauh apa keberhasilan dari operasi itu,” kata pengamat terorisme di Sulteng tersebut.
Usulan menghentikan operasi itu sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan Sulteng saat ini, yaitu memperlihatkan wajah daerah dengan penuh kedamaian kepada dunia.
Masyarakat setempat dinilai tidak lagi membutuhkan pengerahan personel aparat Polri maupun TNI bersenjata lengkap.
Akan tetapi, penghentian operasi Madago Raya bukan berarti pihak aparat melepas tangan begitu saja. Perlu mengalihkan operasi dengan berbagai program yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat, yang bertujuan untuk pemulihan pasca-operasi, agar tidak meninggalkan citra yang kurang mengesankan pada masyarakat.
Fokus pemulihan kondisi sosial pasca-operasi itu sangat penting. Jangan sampai meninggalkan hal yang tidak mengesankan bagi masyarakat. Jadi, menurut dia, harus menyelesaikan persoalan yang muncul selama operasi, misalnya, kasus salah tembak.
Membina pelaku sebagai proteksi
Pembinaan terhadap pelaku kasus terorisme juga tidak boleh dilakukan digeneralisasi seperti saat ini yang dilakukan oleh beberapa pihak, di antaranya oleh Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Menyeragamkan konsep deradikalisasi pada semua daerah, menurut dia, hanya akan dapat diterima di beberapa kalangan, sebab ada dua tipologi berbeda antara pelaku terorisme di Pulau Jawa dan Indonesia Timur.
Pertama, tipologi pelaku teror di Jawa lebih disebabkan pengaruh ideologi luar negeri seperti Al-Qaeda, sedangkan pelaku teror di Indonesia Timur, seperti di Poso, Ambon, serta Ternate lebih disebabkan perasaan perlakuan yang tidak adil.
Lukman yang kerap membina pelaku tindak pidana terorisme itu menyebutkan belum pernah secara langsung untuk melakukan deradikalisasi.
Sebaliknya ia melakukan pendekatan secara emosional para pelaku. Setelah itu baru mencari tahu keterampilan yang harus diperdalam oleh setiap individu pelaku, sedangkan deradikalisasi masuk dalam tahapan terakhir pembinaan.
Cara penanganannya, menyentuh hati mereka dulu. Setelah itu baru tangannya, artinya keterampilan, terakhir baru kepala, yang biasanya muncul atas permintaan mereka untuk diajarkan fikih maupun Pancasila.
Terakhir, perlu melibatkan para mantan pelaku tindak pidana teror sebagai bagian dari upaya penanggulangan terorisme.
“Karena emosi mereka akan lebih cepat terbangun sehingga memudahkan proteksi dini yang dilakukan aparat maupun BNPT. Pembinaan kepada mereka harus tuntas, jika tidak, akan menjadi pintu masuk orang untuk mempengaruhi mereka dan merawat potensi itu, meskipun kecil,” tambah Prof. Lukman yang juga mantan Sekretaris Jendral Pengurus Besar (PB) Alkhairaat.
Mengkaji perpanjangan
Berdasarkan dorongan untuk menyetop perpanjangan operasi perburuan terduga pelaku tindak pidana terorisme dengan pertimbangan telah habisnya kelompok MIT Poso, pihak Polda Sulteng akan melakukan koordinasi dengan Mabes Polri mengenai status operasi Madago Raya.
Kapolda Sulteng Irjen Pol. Rudy Sufahriadi mengatakan mengenai status perpanjangan operasi perburuan kelompok MIT dengan sandi Madago Raya kemungkinan besar masih akan dilanjutkan, akan tetapi dengan sifat dan pendekatan yang berbeda.
Salah satu dasar dari rencana perpanjangan operasi itu karena diduga masih banyak simpatisan MIT berkeliaran bebas, baik itu di Kabupaten Poso maupun Sulteng secara umum.
Oleh karena itu, Polda Sulteng berharap masyarakat berperan aktif dalam upaya menurunkan tensi radikalisme serta memelihara kedamaian di Tanah Poso.
Adapun operasi perburuan terhadap kelompok sipil bersenjata MIT pimpinan Santoso di Kabupaten Poso, pertama kali mulai Januari 2015 dengan sandi Camar Maleo.
Kala itu operasi tersebut diperpanjang hingga empat kali dan berakhir pada Januari 2016. Kemudian berlanjut dengan mengganti sandi menjadi Tinombala dengan melibatkan ribuan personel baik dari Polri maupun TNI dan berakhir pada Januari 2021.
Operasi dengan tujuan yang sama itu diputuskan kembali berlanjut pada Januari 2021 dengan mengubah nama menjadi Operasi Madago Raya yang memiliki makna baik hati atau dekat dengan masyarakat dalam bahas lokal Poso.
Berdasarkan catatan, per Januari 2022, tercatat operasi Madago Raya masih melibatkan 1.378 personel gabungan dengan rincian 1.111 dari unsur Polri dan 267 personel dari TNI.
Akan tetapi jumlahnya terus menyusut. Per Maret 2022, setelah pihak TNI memulangkan 167 personel BKO ke kesatuan masing-masing, masih ada 100 personel yang berasal dari wilayah Sulteng sendiri.
Percaya Polri
Ketua Komisi I DPRD Sulteng Sri Indraningsih Lalusu menegaskan tetap mempercayakan jajaran Polri dan TNI dalam menuntaskan kasus tindak pidana terorisme di Kabupaten Poso.
Apresiasi terhadap kinerja Polri dan TNI itu setelah aparat negara tersebut menumpas terduga anggota terakhir dari kelompok MIT Poso, Askar alias Jaid, di KM 13 Desa Kilo, Kabupaten Poso, pada 29 September lalu.
Polri maupun TNI, menurut dia, tidak boleh berhenti pada penumpasan terakhir itu, melainkan harus tetap melanjutkan pemantauan untuk memproteksi Sulteng dari berbagai ancaman kekerasan yang tidak hanya pada tindak pidana terorisme, melainkan juga pada kasus-kasus yang lain.
“Memang tergantung dari analisis Polri, apabila masih ada potensi itu, maka tidak boleh berhenti. Kami akan mendukung upaya yang akan ditempuh bersama Pemprov, Pemda, Polri maupun TNI,” jelasnya.
Pihaknya memberikan dukungan penuh terhadap berbagai program pembinaan maupun peningkatan sumber daya manusia (SDM) guna mewujudkan ketertiban sosial di Kabupaten Poso.
Penanganan ketertiban di Poso itu harus optimal dan komprehensif. Keberhasilan operasi bakal memberi ketenangan dan kenyamanan masyarakat.