Dalam satu pertemuan bahasa beberapa waktu lalu di salah satu kantor Pusat Bahasa di Sentul, Jawa Barat, seorang peserta diskusi mengemukakan: "'Pasca' di koran saya ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya...."
Pernyataan peserta diskusi yang notabene redaktur dari sebuah koran terkemuka di Jakarta itu bukan omong kosong belaka. Terbuktilah penuturan redaktur itu dengan kalimat berikut: "'Pasca pemilu', sekali lagi AKP diberi kesempatan berkuasa di negara yang didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk ini."
Agar pembaca tak penasaran gara-gara ada singkatan yang tak dipanjangkan, perlulah di sini diberi penjelasan ala kadarnya. AKP adalah singkatan dalam bahasa Turki (Adalet ve Kalkinma Partisi) untuk nama sebuah partai besar di Turki yang bermakna Partai Keadilan dan Pembangunan.
Kalimat itu termaktub dalam satu artikel bertajuk Setelah Pemilu di Turki yang terbit di koran terkemuka tersebut pada edisi 5 November 2015.
Apa argumen di balik keputusan untuk menerapkan bentuk terikat itu terpisah dari kata yang mengikutinya? Sang redaktur tak menjelaskannya. Namun, bisa diduga penyebabnya adalah keruwetan yang berkisar pada makin banyaknya penulis yang menggunakan bentuk terikat itu setara dengan kata depan "setelah" (Harimurti Kridalaksana dalam bukunya Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia", 2005, halaman 97), yang tentu saja salah besar dalam pandangan ilmu kebahasaan.
Sebagai dua konsep yang sangat berlainan makna, bahkan tidak ada kelindannya sama sekali, menyamakan bentuk terikat dan kata depan adalah kekesatan berpikir yang tak termaafkan. Dalam ilmu bahasa, bentuk terikat itu jumlahnya cukup melimpah: pro-, anti-, pra-, trans-, antar-, dan sebagainya.
Bentuk terikat ini tak bisa berdiri sendiri tentunya, sesuai dengan namanya, dan jika berdiri sendiri dalam satu kalimat tentu tak menjadikan kalimat itu bermakna. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada bentuk terikat yang memiliki makna sebagai bentuk bebas, bisa berdiri sendiri karena bentuk terikat itu berperan sebagai kata sifat atau kata kerja. Contonya adalah "anti-" dalam kalimat "Saya 'anti minum' susu", yang artinya "tidak suka" atau "benci". Bisa juga "anti" di situ merupakan kata hasil pemendekan dari "antipati".
Kesemrawutan pemakaian bentuk terikat pasca- dalam berita belakangan ini memang tak ketulungan. Misalnya, seorang jurnalis yang diloloskan penyunting menulis demikian: Pascameletusnya Gunung Merapi, banyak wisatawan mengunjungi lokasi yang sebelumnya pernah dijadikan pos penjagaan oleh Mbah Maridjan.
Kalimat di atas akan lebih tepat jika disunting demikian: Setelah Gunung Merapi meletus, banyak wisatawan mengunjungi lokasi yang sebelumnya pernah dijadikan pos penjagaan oleh Mbah Maridjan.
Penulisan bentuk terikat yang disambung dengan kata yang mengikutinya merupakan indikator bahwa ilmu bahasa tidak menjadi salah satu persyaratan seseorang didudukkan sebagai redaktur dalam persuratkabaran. Rupanya kemampuan atau akumulasi pengetahuan substantif sesuai dengan bidang masing-masing yang menjadi syarat seseorang menjadi redaktur di media massa.
Jika demikian halnya, tentu tidak mengherankan jika redaktur-redaktur di media massa di Tanah Air, termasuk yang terkemuka sekalipun, memilih kebijakan yang gampangan dengan menulis semua bentuk terikat ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya.
Padahal, jika redaktur itu memahami ilmu bahasa, tak perlulah memperkosa kaidah kebahasaan itu. Untuk memahami ilmu bahasa, seseorang tak perlulah mengikuti studi pascasarjana bidang kebahasaan di perguruan tinggi. Cukup belajar secara otodidak dengan kesungguhan.
Dalam jagat penyuntingan berita, seorang tidak mungkin menjadi editor atau redaktur yang andal tanpa memiliki tiga kemampuan dasar yang berupa: kapabilitas memahami substansi berita, kapabilitas kebahasaan, dan kapabilitas pengetahuaan penulisan jurnalistik.
Salah satu saja ditiadakan dari tiga kapabilitas itu, cederalah hasil suntingan sang editor. Jika dia mempunyai dua kemampuan, yakni penguasaan substansi dan kemampuan linguistik, tetapi tidak punya kemampuan pengetahuan penulisan jurnalistik, editor itu bisa meloloskan berita yang berkualitas dari segi substansi dan pembahasaannya, tetapi bisa salah fatal karena beritanya tak berimbang akibat mengabaikan prinsip penulisan jurnalistik.
Kesalahan yang sama, meskipun tidak sefatal kesalahan karena tidaknya penguasaan pengetahuan jurnalistik, bisa terjadi jika kemampuan bahasa tak dimiliki meskipun dua kemampuan lain, yakni kemampuan memahami substansi dan penulisan jurnalistik, dikuasai.
Sebagai redaktur sebuah media massa berpengaruh di Ibu Kota, sudah selayaknya pembicara dalam diskusi di Pusat Bahasa itu mengajak kembali rekan sekoleganya di tempat kerjanya untuk merenungkan kembali dan merevisi keputusan dalam memperlakukan bentuk terikat pasca- sebagai kata yang bisa berdiri sendiri.
Perkara bahasa memang bukan soal benar-salah "an sich" karena yang berlaku di sana adalah hukum kesepakatan. Ada kemungkinan bahwa publik, yang tidak berarti setiap orang, akan mengikuti kekeliruan dalam mempraktikkan ilmu kebahasaan dalam penulisan berita di koran terkemuka itu.
Ada juga kemungkinan sebaliknya bahwa sejumlah orang akan menertawakan ketidakpahaman kumpulan pengambil keputusan pemisahan bentuk terikat dengan kata yang mengikutinya itu. Pada era pascareformasi ini, tampaknya tak semua hal mengikuti hukum evolusioner, dari yang simpel menuju ke yang kompleks, dari yang lemah menuju ke yang kuat, dari yang betul menuju ke yang lebih betul.
Namun, kemungkinan yang lain lagi bisa juga terjadi begini: akan muncul generasi redaktur yang menyadari kesalahan pendahulunya itu, dan mereka akan segera mengoreksinya dan mengembalikan posisi bentuk terikat itu ke tempat yang selayaknya, yakni menempel di kata yang mengikutinya.