Belitung (ANTARA) - Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPPKBPMD) Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mencatat sebanyak 5.948 keluarga di daerah itu berisiko mengalami stunting.
"Berdasarkan data lokus penangan stunting di Belitung tahun 2023 tercatat sebanyak 5.948 keluarga berisiko mengalami stunting," kata Kepala DPPKBPMD, Salman Alfarisi di Tanjung Pandan, Kamis.
Menurut dia, sebanyak 5.948 keluarga tersebut berasal dari delapan desa dan satu kelurahan yang menjadi lokus prioritas penanganan stunting tahun 2023.
Ia menyebutkan ada sejumlah dan satu kelurahan yang menjaid prioritas penanganan stunting yakni Desa Sungai Padang (406 keluarga), Desa Air Seruk (803 keluarga), Desa Selumar (456 keluarga), Desa Keciput (408 keluarga), Desa Pelepak Puteh (319 keluarga), dan Desa Tanjung Binga (846 keluarga).
Selanjutnya Desa Badau (517 keluarga), Desa Kacang Butor (397 keluarga), Desa Ibul (242 keluarga), Desa Suak Gual (142 keluarga), Desa Petaling (121 keluarga), dan Kelurahan Pangkallalang 1.297 keluarga.
"Desa dan kelurahan tersebut menjadi lokus prioritas pencegahan dan penurunan stunting karena angka prevalensi stunting masih di atas 14 persen," ujarnya.
Salman menjelaskan untuk kelurahan Pangkallalang memang angka prevalensi stunting hanya 4,76 persen.
"Namun tetap kami masukkan dalam lokus prioritas penanganan stunting karena jumlah keluarga berisiko stunting di kelurahan tersebut cukup tinggi mencapai 1.297 keluarga berisiko," katanya.
Ia mengatakan jumlah desa stunting di Belitung tahun 2022 mengalami penurunan dari sebanyak 18 desa menjadi 11 desa. Namun angka stunting di daerah itu pada tahun 2022 memang memiliki hasil yang berbeda karena metode pendataan yang berbeda pula.
Dikatakan berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) angka stunting di Belitung tahun 2022 sebesar 19,8 persen naik dari tahun sebelumnya 13,6 persen. Namun menurut data Elektronik Pencacatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-Ppgbm) angka stunting di Belitung berkisar sekitar tujuh sampai delapan persen.
"Sehingga kami beranggapan bahwa data yang valid adalah menurut e-Ppgbm karena setiap bulan dicatat dan didata oleh aparatur kesehatan secara langsung," ujarnya.
Menurut Salman, stunting bisa terjadi disebabkan oleh banyak faktor seperti pola asuh dan asupan gizi yang salah.
"Karena pengetahuan tentang gizi rendah sehingga konsumsi gizi tidak seimbang bisa juga karena sanitasi tidak layak dan faktor lain," katanya.
"Sehingga kami ingatkan kepada para pasangan orang tua ketika anak lahir terutama di 1.000 hari pertama atau dua tahun asupan gizi harus benar-benar dijaga," katanya.
Ia optimistis angka stunting di daerah itu bisa turun di bawah 14 persen sesuai target nasional angka stunting pada 2024. "Kami terus berupaya untuk menurunkan angka stunting sesuai dengan target angka stunting nasional pada 2024," ujarnya.