Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) Agus Jabo Priyono mengklarifikasi bahwa pihaknya meminta untuk menghentikan proses pemilihan umum (pemilu) yang telah berlangsung agar bisa berpartisipasi.
“Kalau tahapan pemilu tetap dilanjutkan, otomatis Prima, yang dalam proses verifikasi dicurangi, tidak ikut,” ucap Agus Jabo kepada wartawan di DPP Prima, Jakarta Pusat, Jumat.
Agus Jabo menegaskan bahwa yang diinginkan oleh partainya hanyalah menjadi peserta Pemilu 2024, dan berbagai langkah hukum pun telah ia tempuh.
Ia memaparkan bahwa Prima sempat melayangkan gugatan sengketa verifikasi partai politik ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, terkait dengan status Prima yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU.
Atas gugatan tersebut, Bawaslu pun memerintahkan KPU untuk memberikan kesempatan bagi Prima memperbaiki dokumen administrasi dalam kurun waktu 1x24 jam.
Meskipun demikian, Prima tetap dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS), sehingga tidak lolos menjadi partai politik peserta Pemilu 2024.
“Kami sudah melakukan langkah-langkah hukum, upaya-upaya hukum ke Bawaslu, kemudian ke PTUN, tetapi hasil dari proses upaya hukum yang kami lakukan itu buntu. Maka kemudian, atas nama hak asasi manusia sebagai warga negara yang punya hak politik, kami mengajukan permohonan gugatan ke pengadilan negeri,” ucap Agus Jabo.
Pada kesempatan tersebut, Agus Jabo menegaskan bahwa pihaknya mengajukan permasalahan ini ke pengadilan bukan untuk mengadili sengketa pemilu, melainkan sebagai upaya untuk mengadili perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kita juga paham bahwa pengadilan negeri tidak punya wewenang untuk mengadili sengketa pemilu. Yang kita ajukan ke sana adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, yaitu KPU,” tutur Agus Jabo.
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Prima terhadap KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Berbagai pihak, baik yang berasal dari partai politik, akademisi, hingga pegiat pemilu, menilai putusan majelis hakim melawan konstitusi, bahkan melampaui kewenangan hakim.