Pangkalpinang (Antara Babel) - Provinsi Kepulauan Bangka Belitung membutuhkan anggaran sedikitnya Rp2,46 triliun untuk mengentaskan permukiman kumuh di daerah itu.
"Pengentasan kawasan kumuh di daerah ini diestimasi membutuhkan dana minimal Rp2,46 triliun," ujar Tenaga Ahli Kebijakan Publik Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Efendi Pangondo, melalui keterangan tertulis yang diterima di Pangkalpinang, Jumat.
Ia menyebutkan, pemerintah pusat melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang dipertegas dalam RPJMN 2015-2019 menargetkan tidak ada lagi permukiman kumuh pada 2019.
Dari total 38.431 hektar kawasan kumuh di seluruh Indonesia, 648,08 hektar di antaranya terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang tersebar di Kota Pangkalpinang seluas 196,20 hektar, kemudian di Kabupaten Bangka (105,42), Bangka Barat (65,20), Bangka Tengah (55,92), Bangka Selatan (40,90), Belitung (59,88), dan di Kabupaten Belitung Timur 124,56 hektar.
Berdasarkan estimasi Direktorat Pengembangan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pengentasan setiap kawasan kumuh membutuhkan besaran dana yang berbeda tergantung katagori kumuh berat, kumuh sedang, dan kumuh ringan.
Untuk katagori kumuh berat dibutuhkan Rp7,6 miliar per hektar, kumuh sedang Rp5,625 miliar per hektar, dan kumuh ringan Rp3,8 miliar per hektar.
Dari 648,08 hektar kawasan kumuh di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tidak ada yang katagori kumuh berat. Apabila dirata-ratakan sebagai kumuh ringan, maka untuk pengentasannya diperkirakan membutuhkan dana minimal Rp2,462 triliun.
Mengingat besarnya dana yang dibutuhkan, menurut Efendi Pangondo diperlukan model penanganan "kolaboratif" yang melibatkan multisektor dan multiaktor. Penanganan permukiman kumuh tidak hanya menjadi urusan pemerintan pusat, tetapi juga pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Penanganan kawasan kumuh tidak hanya urusan sektor pekerjaan umum, tetapi melibatkan sektor lain yang terkait seperti pemberdayaan masyarakat, perencanaan, air minum, sanitasi, listrik, pertanahan, penanggulangan bencana, dan lain-lain. Demikian juga melibatkan multiaktor dari berbagai kalangan seperti pengembang, LSM, BUMN, BUMD, CSR dan sebagainya," katanya.
Untuk dapat melaksanakan model kolaborasi tersebut pemerintah daerah dinilai perlu membuat regulasi dan kebijakan yang kemudian diterjemahkan dan dijabarkan ke dalam perencanaan pembangunan serta penganggaran daerah.
"Kembali lagi bahwa perencanaan dan penganggaran daerah untuk penanganan kawasan kumuh tidak hanya merupakan tanggung jawab satu sektor tetapi melibatkan multisektor dan multiaktor," kata dia.