Jakarta (Antara Babel) - Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Bobby Reynold Mamahit didakwa memperkaya diri sendiri sebesar 20 ribu dolar AS dan Rp300 juta (sekitar Rp576 juta) terkait proyek Pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Sorong Tahap III Kemenhub.
"Terdakwa Bobby Reynold Mamahit melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya diri terdakwa sebesar 20 ribu dolar AS dan Rp300 juta yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp40,193 miliar dalam Pembangunan BP2IP tahap III Kementerian Perhubungan Tahun Anggaran 2011 di Jakarta dan Sorong," kata ketua jaksa penuntut umum (JPU) Kresno Anto Wibowo dalam pembacaan dakwaan di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin.
Selain memperkaya diri sendiri, perbuatan Bobby disebut jaksa juga memperkaya orang lain, yaitu Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Laut (PPSDML) Djoko Pramono sebesar Rp620 juta, ketua panitia pengadaan Irawan sebesar Rp1,22 miliar, Pejabat Pembuat Komitmen Sugiarto sejumlah Rp350 juta dan PT Hutama Karya sebsar Rp19,462 miliar.
Bobby Mamahit dalam proyek tersebut menjabat sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemenhub dan mengetahui ada proyek pembangunan BP2IP Sorong tahap III pada PPSDML yang secara struktural berada di bawah BPSDM Kemenhub karena proyek tersebut sebelumnya gagal dilaksanakan pada 2010.
Bobby menyampaikan informasi tersebut kepada Senior Manager Pemasaran PT Hutama Karya Basuki Muchlis dalam satu turnamen golf dan Basuki pun melaporkannya ke General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya Budi Rachmat Kurniawan.
Budi kemudian memerintahkan Basuki dan Senior Manager Pemasaran PT HK lain I Nyoman Sudjaya melakukan pendekatan ke pihak Kemehub melali perantara konsultan proyek bernama Danny Alex yang telah mengenal ketua panitia pengadaan Irawan dan penasihat Menhub Theofilus Waimuri.
Selanjutnya pada Januari 2011, Basuki, I Nyoman, Theofilus dan Danny Alex menemui Djoko Pramono selaku Kepala PPSDML dan Kuasa Pengguna anggaran.
Dalam pertemuan, Basuki dan I Nyoman menyampaikan keinginan PT Hutama Karya mengerjakan proyek pembangungan BP2IP Sorong tahap III dan Djoko pun mengarahkan untuk memenumui Bobby.
Pertemuan dengan Bobby dilakukan pada Februari 2011 di ruang kerjanya. Pertemuan itu dihadiri Basuki, I Nyoman, Budi Rachmat Kurniawan, Theofilus dan Dany Alex.
"Terhadap hal tersebut, terdakwa mengarahkan mereka agar berkoordinasi dengan Djoko Pramono selaku Kuasa Pengguna Anggaran yang akan melaksanakan lelang. Terdakwa juga memerintahkan kepada Djoko Pramono agar memenangkan PT Hutama Karya dalam pembangunan BP2IP Sorong," katanya.
Menindaklanjuti perintah itu, Djoko memerintahkan Irawan untuk memenangkan PT Hutama Karya dalam proyek senilai Rp96,4 miliar.
Irawan pun beberapa kali bertemu dengan pihak PT Hutama Karya, yaitu I Nyoman Sujaya maupun project manager PT Hutama Karya Hari Purwoto di kantor PPSDML maupun di tempat karaoke.
Irawan pun setuju untuk mengubah tata cara evaluasi dari sistem gugur menjadi metode sistem nilai (merit point ssytem) di luar ketentuan agar hasil evaluasi dokumen penawaran PT HK memperoleh nilai tertinggi.
Atas kemenangan PT HK tersebut, PT Panca Duta Karya Abadi selaku pemenang cadangan mengajukan sanggahan dan oleh tim Inspektorat jenderal (Itjen) merekomendasikan sistem lelang ulang.
Namun lelang ulang tetap dikerjakan oleh Irawan sebagai ketua panitia pengadaan agar memenangkan PT HK.
Irawan kali ini dibantu Danny Alex menambahkan persyaratan sub bidang usaha (SBU) tertentu yang tidak dimiliki PT Panca Duta Karya Abadi padahal SBU itu tidak terkait proyek.
"Terdakwa mengetahui hal ini namun tetap memerintahkan Djoko Pramono melanjutkan proses pelelangan tersebut," ungkap jaksa Kresno.
PT HK akhirnya memenangkan pembangunan BP2IP Sorong tahap III dengan harga penawaran Rp91,305 miliar. Nilai proyek pun bertambah berdasarkan adendum atas penambahan pekerjaan sehingga mencapai Rp99,75 miliar.
Setelah dilakukan penandatangan kontrak dan adendum, Bobby menyampaikan permintaan kepada Basuki Muchlis agar PT HK memberikan sejumlahuang kepada Bobby.
"Terhadap permintaan tersebut, pada 20 Oktober 2011 pihak PT HK yaitu Hari Purwoto dan Sutrisno menyerhakan uang sejumlah 20 ribu dolar AS di ruang kerja terdakwa di kantor BPSDM Jalan Medan Merdeka Timur," jelas jaksa Kresno.
Pada 18 November 2011, Bobby kembali bertemu Budi Rachmat Kurniawan dan Basuki Muchlis di restoran Hot Planet gedung Sarinah untuk membicarakan perkembangan pembangunan. Pada pertemuan itu, Bobby kembali menerima uang dolar AS senilai Rp200 juta yang diserahkan Basuki.
Bobby kembali mendapatkan uang pada 23 Desember 2011 sejumlah Rp100 juta dalam bentuk dolar AS yangdiserahkan Hari Purwoto dan Budi Rachmat Kurniawan di ruang kerja Bobby karena sudah dilakukan pembayaran sebsar 100 persen yaitu Rp87,96 miliar padahal PT HK baru mengerjakan sekitar 87 persen.
Uang itu digunakan oleh PT HK untuk membayar sejumlah subkontraktor, pembayaran "arranger fee" baik untuk Bobby, Djoko Pramono, Irawan dan Sugiaro namun tetap menguntungkan PT HK sebesar Rp19,462 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Bobdy didakwa berdasarkan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.