Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan penjelasan terkait dengan penyakit difteri yang akhir-akhir ini menyerang di beberapa daerah di Indonesia.
Kepala Pusat Riset Kedokteran Preklinis dan Klinis BRIN Harimat Hendarwan di Jakarta, Sabtu, mengatakan difteri disebabkan bakteri Corynebacterium Diphtheriae yang menginfeksi bagian faring, laring, dan tonsil.
"Gejalanya itu biasa didahului dengan gangguan pada saat menelan, bernapas juga bisa terjadi masalah di situ, karena ditandai di faring," ujar dia.
Ia menjelaskan bagian selaput tenggorokan yang terinfeksi bakteri itu akan berwarna abu keputihan. Hal itu sebagai reaksi, karena bakteri tersebut sudah merusak lapisan kulit dalam yang melapisi berbagai rongga tubuh yang memiliki kontak dengan lingkungan luar (mukosa).
Dalam kasus berat, ujarnya, bakteri difteri bisa menghasilkan eksotoksin yang dapat masuk aliran darah, sehingga bisa menyebar ke jantung, ginjal, atau saraf, dan menyebabkan gejala fatal lain.
Jika tidak ditangani sesegera mungkin, katanya, penyakit difteri bisa mengancam masyarakat lainnya karena penyebaran penyakit ini mudah, yakni melalui cipratan air liur (droplet), kontak secara langsung dengan penderita, serta kontak tak langsung dengan barang yang disentuh penderita difteri.
Jika penyebaran penyakit ini sudah masif, kata dia, angka penderita berpotensi mengalami kematian mencapai 10 persen.
"Ketika terjadi outbreak bisa menyebabkan kematian 10 persen bagi penderita difteri," kata Harimat.
Ia mengatakan subjek yang terinfeksi difteri perlu segera diisolasi dan mendapatkan perawatan intensif agar penyebaran virus tersebut dapat dibendung.
Kasus difteri di Subang pertama kali dilaporkan pada 30 September 2023 menyerang anak berusia sembilan tahun, lalu kasus kedua muncul pada 3 Oktober. Dinas Kesehatan setempat sudah melakukan pelacakan siapa saja yang sudah kontak langsung dengan dua orang tersebut.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Garut telah menetapkan status kejadian luar biasa difteri selama Februari-November 2023.