Gaza/Yerusalem (ANTARA) -
Sekitar 240 orang disandera menyusul serangan mematikan Hamas ke Israel pada 7 Oktober yang mendorong Israel menyerang wilayah kecil Palestina itu untuk memusnahkan kelompok Islam tersebut.
Tank dan pasukan Israel menyerbu Gaza akhir bulan lalu dan sejak itu merebut kendali atas wilayah yang luas di bagian utara, barat laut, dan timur sekitar Kota Gaza, kata militer Israel.
Namun, Hamas dan saksi mata mengungkapkan kaum militan melancarkan perang gerilya di daerah padat perkotaan di utara, termasuk sebagian Kota Gaza dan kamp pengungsi Jabalia serta kamp pengungsi Shati yang berada di daerah pantai yang luas.
Sekalipun pertempuran berkecamuk di lapangan, duta besar Israel untuk Amerika Serikat, Michael Herzog, berkata dalam wawancara pada program acara "This Week" di ABC bahwa Israel berharap sejumlah besar sandera dibebaskan oleh Hamas "dalam beberapa hari mendatang."
Reuters melaporkan pada 15 November bahwa mediator Qatar telah mengupayakan kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk menukar 50 sandera sebagai imbalan atas gencatan senjata tiga hari yang akan membantu meningkatkan pengiriman bantuan darurat untuk warga sipil Gaza.
Saat itu, seorang pejabat yang mendapat penjelasan tentang pembicaraan tersebut mengatakan garis besarnya telah disepakati tetapi Israel masih merundingkan rinciannya.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan kepada wartawan pada Minggu bahwa dia tidak dalam posisi untuk mengatakan kapan sandera-sandera itu dibebaskan.
“Saya ingin memastikan mereka keluar dan kemudian saya akan memberitahu Anda,” kata dia dalam acara liburan pra-Thanksgiving di Virginia bersama personel militer AS.
Pada Minggu, Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed Bin Abdulrahman al-Thani, dalam konferensi pers di Doha, menyatakan hambatan utama untuk kesepakatan saat ini "sangat kecil," mengingat sebagian besar masalah yang tersisa adalah soal "praktis dan logistik".
Seorang pejabat Gedung Putih juga mengatakan perundingan yang "sangat rumit dan sangat sensitif" itu mengalami kemajuan.
Pembicaraan tersebut bertepatan dengan persiapan Israel memperluas serangannya terhadap Hamas hingga bagian selatan Gaza, yang ditandai dengan meningkatnya serangan udara terhadap sasaran-sasaran yang dianggap Israel sebagai sarang Hamas.
Namun, sekutu utama Israel, Amerika Serikat, memperingatkan pada Minggu agar tidak memulai operasi tempur di wilayah selatan sampai para perencana militer mempertimbangkan keselamatan warga sipil Palestina.
Penduduk Gaza yang mengalami trauma berpindah-pindah sejak awal perang, berlindung di rumah sakit atau berjalan tertatih-tatih dari utara ke selatan, yang dalam beberapa kesempatan terpaksa kembali lagi demi menghindari serangan.
Pemerintahan Hamas di Gaza mengatakan sedikitnya 13.000 warga Palestina tewas akibat pemboman Israel, termasuk sedikitnya 5.500 anak-anak.
Jumlah korban warga sipil di Gaza "sangat mengejutkan dan tidak dapat diterima," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang kembali menyerukan gencatan senjata kemanusiaan segera pada Minggu.
Para saksi mata melaporkan terjadi pertempuran sengit semalam antara Hamas dan pasukan Israel yang berusaha maju ke Jabalia yang merupakan kamp yang dihuni hampir 100.000 orang.
Bombardemen berulang kali yang dilakukan Israel di Jabalia telah menewaskan banyak warga sipil, kata petugas medis Palestina. Israel mengatakan serangan itu telah menewaskan banyak militan yang bersembunyi di wilayah tersebut.
Melalui media sosial dalam bahasa Arab, militer Israel pada Minggu mendesak penduduk di beberapa sudut Jabalia agar mengungsi ke selatan "untuk menjaga keselamatan kalian". Israel juga mengatakan akan menghentikan aksi militer dari jam 10 pagi sampai jam 2 siang waktu setempat.
Setelah "jeda" berakhir, bombardemen dari negara Zionis itu berlanjut sehingga 11 warga Palestina di Jabalia tewas akibat serangan udara Israel terhadap sebuah rumah, kata kementerian kesehatan di kantong Palestina tersebut.
Warga Palestina mengatakan pemboman berulang-ulang yang dilakukan Israel terhadap Gaza selatan menjadikan janji-janji keamanan Israel merupakan hal yang tak masuk akal.
Sumber: Reuters