London (ANTARA) - Duta besar Israel untuk Inggris Tzipi Hotovely, dalam sebuah wawancara dengan Sky News pada Rabu (13/12), mengesampingkan kemungkinan "solusi dua negara" menyangkut penyelesaian konflik Palestina dan Israel.
"Saya pikir sudah waktunya bagi dunia untuk menyadari kegagalan paradigma Oslo pada 7 Oktober dan kita perlu membangun paradigma baru," kata Hotovely, mengacu pada hari ketika kelompok Palestina Hamas melancarkan serangan lintas batas terhadap Israel.
"Israel tahu hari ini dan dunia harus tahu sekarang bahwa alasan kegagalan perjanjian Oslo adalah karena Palestina tidak pernah ingin memiliki negara di samping Israel, mereka ingin memiliki negara dari sungai sampai laut," katanya, menambahkan.
Hotovely bertanya kepada pewawancara, Mark Austin, mengapa dia "terobsesi" dengan solusi dua negara setelah dia bertanya apakah solusi tersebut sudah mati.
Hotovely juga ditanya pendapatnya mengenai pernyataan Presiden Amerika Serikat Joe Biden bahwa Israel kehilangan dukungan atas "pengeboman tanpa pandang bulu" di Gaza.
Dubes Israel itu menjawab, "Amerika memerangi ISIS di Mosul (Irak). Ada lebih banyak orang yang terbunuh di Mosul secara proporsional dibandingkan orang-orang di Gaza."
Ia menambahkan bahwa Israel "melakukan segalanya untuk mencegah jatuhnya korban."
Dia juga menunjuk perlunya mengatasi masalah pendidikan di Gaza dan mengatakan sekolah-sekolah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) "menjadi sekolah teror."
Dalam wawancara dengan Sky News pada Oktober, Hotovely tidak mengakui adanya krisis kemanusiaan di Gaza, mengatakan bahwa Israel tidak melakukan pengeboman terhadap warga sipil di wilayah kantong yang terkepung tersebut.
Israel menggempur Jalur Gaza dari udara dan darat, melakukan pengepungan, dan melancarkan serangan darat sebagai pembalasan atas serangan lintas batas oleh Hamas pada 7 Oktober.
Sedikitnya 18.068 warga Palestina tewas dan hampir 50.600 lainnya terluka dalam serangan Israel, menurut otoritas kesehatan Gaza.
Korban jiwa di pihak Israel dalam serangan Hamas mencapai 1.200 orang, sementara sekitar 139 orang masih disandera, menurut data resmi.