1. Kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara yang dijamin oleh konstitusi dan sebagai wujud terbukanya kran demokrasi serta hak asasi manusia masih menjadi ancaman terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai kelompok lawan politik (oposisi) penguasa, sehingga menjerat para aktivis, akademisi, dan kelompok oposisi yang kritis ke dalam proses hukum, meskipun yang disuarakan merupakan bagian dari kritik, wujud demokrasi dan HAM, kebenaran, dan keadilan. Kasus haris azhar dan fatia, serta rocky gerung menunjukkan tidak adanya jaminan perlindungan oleh negara;
2. Makin suburnya korupsi di lingkungan para pejabat eksekutif dan penegak hukum, membuktikan bahwa penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi makin terpuruk dan berada di ambang kegentingan nasional. Layaknya fungsi sapu untuk membersihkan lantai yang kotor, namun justru sapu-nya yang lebih kotor dari kotoran. Kasus korupsi proyek pembangunan infrastruktur BTS 4G oleh Menteri Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, kasus korupsi yang dilakukan oleh Menteri Pertanian melalui pungutan dan menerima setoran, hingga gratifikasi dalam proyek di Kementerian Pertanian, kemudian berkembang yang akhirnya menyeret mantan Ketua KPK Firli Bahuri, sebagai tersangka pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian (SYL), semakin memperburuk dalam praktik penegakan tindak pidana korupsi yang justru dilakukan oleh ketua lembaga anti rasuah, kemudian disusul kasus gratifikasi yang dilakukan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM yang saat ini sedang dalam proses pemeriksaan KPK;
3. Negara abai terhadap perlindungan warga negara, terlebih dinyatakan dalam tujuan bernegara salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta menjauhkan diri dari keadilan sosial. Dalam kasus proyek rempang di tengah rencana relokasi pembangunan rempang eco city sebagai proyek strategis nasional pemerintah justru melahirkan konflik sosial masyarakat lokal di pulau rempang, pelanggaran HAM, perampasan ruang hidup warga, dan pengabaian negara atas perlindungan terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta ancaman kerusakan lingkungan;
4. Kasus pelanggaran HAM, kriminalisasi, dan perampasan lahan milik masyarakat adat dalam kawasan hutan dan pesisir, degradasi lingkungan hidup untuk kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur, serta melahirkan ketidakadilan ekologis;
5. Runtuhnya sembilan tiang konstitusi di lembaga peradilan konstitusi yang telah terkooptasi/diintervensi oleh kepentingan politik eksekutif dan legislatif, munculnya konflik kepentingan, dan bertentangan dengan esensi kekuasaan kehakiman yang imparsial dan independen berdasarkan UUD 1945;
6. Munculnya mega proyek infrastruktur yang dilegalisasi dengan sejumlah peraturan perundang-undangan ditengah krisis pangan, masih tingginya angka kemiskinan, dan naiknya angka anak stunting, sehingga membuktikan bahwa negara yang didaulat sebagai penganut negara kesejahteraan (welfare state) justru mengingkari tujuan bernegara, yang salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum; dan
7. Krisis etika penyelenggara negara yang semakin akut, munculnya konflik kepentingan dan rangkap jabatan dalam pusaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif, semakin memperkuat untuk dibentuknya lembaga Mahkamah Etika Nasional dalam amandemen kelima UUD 1945 pasca pemilu 2024.
Ketujuh isu pokok tersebut yang dicatat JSLG juga menjadi bahan refleksi dan evaluasi, serta proyeksi bersamaan dengan suksesi kepemimpinan nasional dalam kontestasi para calon presiden 2024 dan pelaksanaan pemilu 2024 yang damai, tanpa ada konflik dan perpecahan diantara anak bangsa, serta dilakukannya amandemen secara terbatas atas UUD 1945 pasca pemilihan umum 2024 mendatang tanpa ada kepentingan politik praktis pihak-pihak tertentu.
*) Muh. Muslih, SH., MH. adalah Direktur Jimly School of Law and Government (JSLG)