Jakarta (Antara Babel) - Dunia menjadi gelap di mata
penyandang tunanetra. Beban itu menjadi bertambah ketika menghadapi stigma di masyarakat yang seringkali membuat pedih di hati.
Tapi,
jangan dikira mereka itu tidak ingin mandiri. Walaupun sulit, mereka
tidak ingin bergantung pada orang lain terus menerus. Dua indera yang
masih mereka miliki adalah rabaan dan suara. Kedua indera itulah yang
menjadi alat utama mereka menuju kemandirian.
Tutus
Setiawan (35), penyandang tunanetra sejak usia delapan tahun tergerak
untuk melawan diskriminasi yang selama ini dialami teman-teman sesama
tunanetra.
Tutus ingin mendobrak stigma
di masyarakat bahwa penyandang disabilitas tunanetra tidak hanya bisa
bekerja di sektor informal seperti tukang pijat, menjadi guru atau
pemain musik. Mereka punya potensi lebih untuk berkarier di
bidang-bidang yang lebih luas.
Lalu, Tutus mengajak empat
orang temannya sesama tunanetra, yaitu Sugi Hermanto, Atung Yunarto, Tantri Maharani dan Yoto Pribadi untuk
mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT).
"Saya
mendirikan komunitas ini sejak 2003. Waktu itu saya masih kuliah. Saya
melihat permasalahan teman-teman disabilitas tunanetra di Surabaya ini
sangat banyak, terutama kami mengalami diskriminasi dalam banyak hal,"
ujar Tutus yang kini sudah menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas
Negeri Surabaya (Unesa).
Lembaga itu
menjadi wadah bagi tunanetra di Surabaya untuk terus belajar dan
berlatih meningkatkan kemampuannya agar bisa eksis di masyarakat.
Satu demi satu para penyandang tunanetra di Surabaya pun akhirnya terkumpul hingga jumlahnya ratusan orang.
Mereka
bebas kapan saja datang ke LPT untuk berlatih menggunakan tongkat yang
benar, berjalan di tempat umum, menyeberang jalan, naik kereta, naik
angkot, agar tak perlu bergantung pada orang lain.
Ada juga yang diajari menggunakan komputer agar bisa melihat luasnya dunia maya, serta meningkatkan ilmu teknologi
informasi. Tak lupa, mereka juga dilatih mentalnya agar mudah beradaptasi di masyarakat.
Hasilnya
sungguh luar biasa. Contohnya, Alfian (17), siswa kelas 3 IPS SMA
Negeri 8 Surabaya yang rajin berlatih dan mendalami teknologi informasi
di LPT berhasil menjadi Juara II dalam ajang Global IT Challenge di
Jakarta beberapa waktu lalu.
"Saya
pergi ke Jakarta naik kereta sendirian, tidak ditemani siapa pun. Pulang
juga sendiri," ujar Alfian seraya tersenyum bangga.
Di
markas LPT, Alfian dan teman-temannya sesama tunanetra tampak asyik
bermain komputer. Sesekali mereka bercanda ria menimpali obrolan teman.
Di rumah itulah mereka saling berbagi ilmu dan berbagi cerita, sambil
menikmati musik. Berbagai buku yang sudah ditransfer dalam bentuk audio
bisa mereka baca.
"Kami membaca buku melalui telinga," ujar Sugi Hermanto (41)
menjelaskan tentang cara tunanetra belajar.
Para
anggota LPT yang semuanya tunanetra, bisa membaca
buku sepuasnya di perpustakaan milik LPT yang terletak di lantai dua
rumah itu. Ada tiga unit komputer di sana untuk dipakai secara
bergantian.
Berbeda dengan
perpustakaan pada umumnya yang selalu tenang karena semua pengunjungnya
asyik membaca buku. Perpustakaan milik LPT ini justru ramai orang
bercakap.
"Suara adalah cara kami mengetahui dunia luar. Jadi jangan heran kalau kami ini menjadi cerewet, banyak omong," kata Tutus.
Dedi
Sosialisto (53), mantan Kepala Bidang Dinas Sosial Pemkot Surabaya,
juga mengakui kreativitas yang dilakukan Tutus dan teman-temannya di
LPT.
"Kemauan anak itu berbeda dengan
yang lain. Kegiatannya tidak umum. Pernah juga ada pelatihan MC, ada
pelatihan komputer, ya kami memfasilitasinya.
"Saya lihat, teman-teman di LPT ini lebih berani dan tajam. Itu
keunggulan mereka," ujar Dedi yang sekarang menjabat Sekretaris Bakesbang Pol dan Linmas Kota Surabaya.
Beban
moril yang mereka
sandang memang cukup berat. Menurut Aloysia Vira Herawati (41), staf
peneliti Pusat Hak Azasi Manusia Universitas Surabaya (Ubaya), mereka
menjadi dobel minoritas.
Secara fisik mereka memiliki
keterbatasan, dan secara sosial mereka kurang mendapat tempat di
masyarakat. Oleh sebab itu, Vira sangat senang dengan aktivitas yang
dilakukan Tutus Setiawan dan kawan-kawan.
Ia menambahkan bahwa persoalan kawan-kawan disabel itu sangat banyak.
"Sebagai
lembaga pendidikan tinggi yang punya kajian tentang pemenuhan hak-hak
warga, kami merasa terbantu sekali dengan kegiatan Mas Tutus dan
kawan-kawannya. Mereka itu juga sangat mandiri. Kalau kami undang ke
sini, mereka tidak mau dijemput. Dan kami sangat menghargai kemauan
mereka untuk mandiri. Mereka punya semangat untuk melakukan perubahan.
Itu nilai plus mereka," ujar Vira.