Jakarta (Antara Babel) - Trisno adalah pemuda pertama di kampungnya yang berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana.
Dulunya
penduduk di kampung kelahirannya di Dusun Tanon, Desa Ngrawan Kecamatan
Getasan, Kabupaten Semarang, dikenal tidak berpendidikan dan miskin.
Bahkan, banyak orangtua dari desa tetangga yang melarang anaknya menikah
dengan warga dusun tersebut.
Ini lah yang membuat Trisno
bertekad memberdayakan masyarakat Dusun Tanon. Pria kelahiran 12 Oktober
1981 itu mengajak para warga untuk sadar wisata dan mengolah dusun
mereka menjadi dusun wisata. Sebelumnya, sebagian besar penduduk Dusun
Tanon adalah peternak sapi perah dan petani.
"Kendala yang
dihadapi di awal adalah masyarakat yang pesimis bahwa kegiatan desa
wisata dapat meningkatkan penghasilan mereka. Setelah penduduk melihat
ada hasilnya, barulah bisa mengajak semua warga untuk berpartisipasi,"
kata Trisno.
Ada sekitar 114 orang di Dusun Tanon, semuanya
berperan dalam kegiatan desa wisata, mulai anak-anak hingga usia lanjut.
Agar ada regenerasi, Trisno mengajarkan cara menjadi pemandu, kini ada
empat orang sudah bisa diandalkan menjadi pemandu.
Selain itu, Trisno mengajak peran aktif mahasiswa, untuk mau memberikan pengajaran bahasa Inggris secara gratis.
Menurut
Trisno, banyak potensi wisata di Dusun Tanon yang bisa digarap. Alamnya
yang masih sangat asri, di kaki Gunung Telomoyo, jauh dari polusi dan
hiruk-pikuk kehidupan modern, sangatlah disukai oleh masyarakat kota.
Suasana
kehidupan desa yang tenang itu lah menjadi salah satu yang ditawarkan.
Selain itu meskipun kampung tetapi letak Dusun Tanon juga sangat
strategis dan mudah dijangkau.
Agar mudah dikenal dan dikenang, Trisno membuat sebutan Dusun Tanon sebagai "Desa Menari".
"Kenapa
Desa Menari? Karena penduduknya dikenal memiliki jiwa seni yang tinggi
terutama menari, dan ini sudah ada sejak zaman leluhur mereka,"
tuturnya.
Mereka yang berkunjung ke Desa Menari akan disajikan
berbagai kesenian di antaranya penampilan tari Topeng Ayu, Kuda Debog,
Kuda Kiprah dan Warok Kreasi yang dibawakan penduduk, dari orangtua
hingga anak-anak.
Selain tarian, pengunjung juga akan diajak
merasakan permainan desa atau dolanan ndeso, seperti toya gila, tangga
manusia, pipa bocor dan serok mancung. Kesemuanyaadalah permainan
tradisional dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti bambu.
Permainan turun-menurun dari leluhur ini tetap dipertahankan sebagai
warisan budaya.
Kegiatan lainnya, jika pengunjung memiliki waktu
yang cukup bisa merasakan bagaimana kehidupan di Desa Tanon dengan
menginap di rumah-rumah penduduk dan mengikuti kegiatan warga. Seperti,
mencari rumput untuk makanan ternak, memetik hasil pertanian dan
bercocok tanam. Pada malam harinya akan disajikan berbagai kesenian dari
Dusun Tanon.
Sementara itu, bagi pengunjung yang ingin merasakan
kesejukan alam dan merasakan suasana perdesaan dapat berkeliling dengan
berjalan kaki menjelajahi lereng Telomoyo, mengunjungi Prasasti Ngrawan
dan air terjun.
Dengan kegiatan wisata tersebut, berbagai
manfaat bisa dirasakan penduduk. Karena sering berinteraksi dengan
pengunjung, kesadaran tentang pendidikan pun tumbuh, dan tentunya
meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dengan adanya pengunjung,
berbagai produk juga bisa mereka jual. Baik itu hasil perkebunan,
kerajinan tangan dan varian produk dari hasil perkebunan dan peternakan.
Pada 2013, Dusun Tanon didatangi 2.500 pengunjung dan pada 2014 sebanyak 3.000 pengunjung.
Dalam tiga tahun perjalanannya, desa wisata ini sudah mendapatkan penghasilan
Rp 250 juta, belum termasuk pendapatan per orangan.
Dari
dana tersebut, Dusun Tanon bisa membeli berbagai peralatan, membuat
empat toilet umum, jalan masuk ke desa pun sudah diperbaiki, dan
sesekali warga melakukan jalan-jalan sekaligus studi banding tanpa
mengeluarkan biaya, karena diambil dari dana tersebut.
Suiman,
salah seorang tokoh agama di Dusun Tanon mengatakan banyak perubahan
yang dirasakan penduduk dengan dibentuknya desa wisata. Misal,
peningkatan pendapatan warga, karena mereka bisa menjual hasil
perkebunan dan peternakannya.
"Dusun yang dulunya sangat terbelakang itu kini sudah mulai dikenal luas," ujar Suiman.
Sementara
itu, Lungguh Wahono, Kepala Desa Ngrawan, mengungkapkan kebahagiaannya
dengan peningkatan sumber daya manusia di Dusun Tanon.
"Dulu
penduduknya rata-rata hanya lulusan SD, tapi kini kesadaran akan
pendidikan cukup baik. Saya bangga penduduk saya ada seperti Kang
Trisno, saya berharap akan ada banyak orang seperti Kang Trisno,
sehingga desa ini akan maju," katanya.
Seorang penduduk yang juga seorang penari bernama Solekah mengungkapkan
bahwa
sebelum ada desa wisata, dia hanya menari bila ada panggilan dengan
waktu yang tidak menentu. Tapi kini, ia bisa menari minimal sebulan
empat kali.
"Kang Trisno menginspirasi dan memotivasi kami untuk
sekolah lebih tinggi, dia adalah teladan bagi kami," ujar siswi kelas
tiga SMA itu.
Trisno yakin desa wisata di Dusun Tanon akan lebih
meningkat. Ia pun berencana menyajikan berbagai kegiatan baru dan saat
ini sedang merancang wisata peternakan.
Dengan banyaknya
pekerjaan yang bisa dilakukan di kampungnya, Trisno berharap para pemuda
tidak lagi menjadi buruh di tempat lain, tapi bisa bekerja di kampung
sendiri.
Trisno merupakan salah satu penerima apresiasi Semangat
Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2015. Tahun ini
merupakan tahun ketujuh Astra melaksanakan SATU Indonesia Awards dalam
rangka menyambut Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tanggal 28
Oktober.
Sejak pertama kali digelar pada tahun 2010, jumlah
peserta terus meningkat. Pada 2010, peminatnya 120 orang kemudian terus
mengalami kenaikan tahun ke tahun, sampai akhirnya mencapai 2.071 orang
pada tahun 2015. Tahun 2016, jumlah peserta diperkirakan juga meningkat
dibanding tahun sebelumnya.
Pendaftaran SATU Indonesia Awards
telah dibuka sejak 8 Maret hingga 8 Agustus 2016 untuk kategori
Pendidikan, UKM, Lingkungan,Kesehatan dan Teknologi, serta kategori
kelompok (semua peserta dibawah usia 35 tahun).
Untuk informasi
lengkap dan pendaftaran, klik: www.satu-indonesia.com. Tidak hanya calon
peserta yang bisa mendaftar, tapi Anda juga bisa mendaftarkan orang
lain yang memenuhi persyaratan.
Trisno, Menyulap Kampung Menjadi Desa Wisata Tanon
Senin, 8 Agustus 2016 20:29 WIB
Kendala yang dihadapi di awal adalah masyarakat yang pesimis bahwa kegiatan desa wisata dapat meningkatkan penghasilan mereka. Setelah penduduk melihat ada hasilnya, barulah bisa mengajak semua warga untuk berpartisipasi.