Jakarta (Antara Babel) - Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Bobby Reynold Mamahit divonis lima tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsidair tiga bulan kurungan dan ditambah membayar uang pengganti sebesar Rp180 juta.
"Hal itu karena dia terbukti melakukan korupsi proyek Pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Sorong Tahap III Kemenhub," kata ketua majelis hakim Aswijon dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu.
Putusan itu lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Bobby divonis selama enam tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan ditambah dengan membayar uang pengganti sebesar Rp180 juta subsidair sembilan bulan kurungan.
"Menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar pidana pengganti sebesar Rp480 juta dikurangi dengan jumlah yang sudah Rp300 juta sehingga besar yang harus dibayar adalah Rp180 juta, yang apabila tidak dibayar paling lambat satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan terdakwa tidak mampu membayar maka harta benda terdakwa akan dilelang dan apabila tidak mencukupi maka akan dipenjara selama enam bulan," tambah hakim Aswijon.
Putusan itu berdasarkan dakwaan kedua yaitu Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
Bobby Mamahit dalam proyek (BP2IP) Sorong Tahap III menjabat sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemenhub.
Hakim menilai ia terbukti menguntungkan PT Hutama Karya dengan cara memerintahkan bawahannya yaitu Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Laut (PPSDML) merangkap kuasa pengguna anggaran (KPA) Djoko Pramono dan panitia pengadaan Irawan agar memenangkan PT Hutama Karya dalam pengadaan/lelang proyek pembangunan proyek itu.
Bobby mendapatkan imbalan dari PT Hutama Karya sejumlah Rp480 juta yang diberikan General Manager PT Hutama Karya Budi Rachmat Kurniawan, sedangkan Djoko, Irawan dan Pejabat Pembuat Komitment (PPK) proyek yaitu Sugiarto juga menerima sejumlah uang dari PT Hutama Karya atas perannya memenangkan perusahaan BUMN itu.
Padahal, dalam proses pengadaan ditemukan adanya penggelembungan (mark-up) anggaran dari awalnya 22 divisi menjadi 13 divisi pekerjaan,
namun anggarannya tidak mengalami perubahan. Harga Perkiraan Sementara (HPS) pada lelang ulang pun digelembungkan.
PT HK juga membuat "kontrak fiktif" dengan pihak subkontraktor untuk menutupi biaya "arranger fee" yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp10,24 miliar dan sebagian diberikan kepada Bobby yaitu sebesar Rp480 juta.
Sementara penggelembungan biaya operasional mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp7,4 miliar ditambah kekurangan volume pekerjaan yang mengakibatkan kerugian negara sebesaar Rp3,09 miliar, sehingga total kerugian negara mencapai Rp40,193 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp87,96 miliar berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif yang dibuat oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Meski Budi Rachmat Kurniawan mengaku memberikan Rp480 juta ke Bobby, namun Bobby hanya mengaku menerima Rp300 juta. Bobby pun sudah mengembalikan Rp120 juta dari uang tersebut sedangkan sisanya yaitu Rp180 juta menjadi hukuman tambahan yang harus dibayar karena merupakan keuntungan dari tindak pidana korupsi.
Terkait perkara ini, Budi Rachmat Kurniawan sudah divonis 3,5 tahun penjara sedangkan Sugiarto dan Irawan masing-masing 3 tahun penjara.
Atas putusan tersebut, Bobby menerima. "Saya terima," kata Bobby di hadapan majelis hakim.
Namun, jaksa KPK menyatakan pikir-pikir.