Washington (ANTARA) - Wakil Presiden AS Kamala Harris berjanji akan melawan kenaikan harga di industri makanan dan bahan pangan serta bakal membantu warga Amerika untuk memiliki rumah dengan memberikan uang muka tunai kepada pembeli rumah pertama.
Sedangkan mantan presiden Donald Trump bertekad akan menerapkan pemotongan pajak besar-besaran seperti yang pernah dilakukan Trump saat menjabat presiden periode 2016-2020, serta akan memaksimalkan tarif impor barang China.
Rencana ekonomi Harris dari Partai Demokrat dan Trump dari Partai Republik mungkin terdengar hebat di mata pendukung mereka masing-masing dalam pemilu AS yang akan digelar pada 5 November.
Namun, para analis mengemukakan bahwa usulan ekonomi kedua kandidat, jika diterapkan, diperkirakan bakal menimbulkan lebih banyak komplikasi dibandingkan dengan permasalahan yang ingin mereka selesaikan.
"Ini adalah ketenangan klasik dalam kampanye pemilihan presiden: Anda ingin menyajikan gagasan kemenangan yang bermanfaat bagi semua orang dan mengalahkan pesaing Anda," kata Ramesh Mohan, profesor ekonomi di Universitas Bryant di Smithfield, Rhode Island, kepada Sputnik.
"Pertanyaannya adalah apakah beberapa ide ini akan dapat berhasil dilaksanakan. Perbedaan antara apa yang Anda janjikan dan apa yang dapat Anda lakukan di saat menjabat sebagai seorang presiden sering kali baru disadari perbedaannya setelah Anda memenangkan pemilihan," katanya.
Gagasan Haris untuk melarang kenaikan harga di industri makanan dan bahan pangan adalah kebijakan ekonomi pertama yang diusulkan dalam kampanyenya sejak dia menggantikan Presiden Joe Biden sebagai capres Partai Demokrat di Pilpres 2024.
Rencana tersebut diajukan sebagai tanggapan langsung terhadap inflasi yang telah mencekik keluarga berpendapatan bawah dan menengah AS selama lebih dari dua tahun meskipun harga konsumen sendiri telah turun dari level tertinggi dalam empat dekade akibat pandemi COVID-19, dan mendekati tingkat yang diinginkan oleh Federal Reserve (bank sentral AS).
Pendukung Harris mengatakan inisiatif itu akan berfungsi sebagai penghalang bagi perusahaan-perusahaan yang mencari keuntungan dan juga memberikan keringanan bagi para pekerja yang terkena dampak lonjakan biaya pangan sebesar 20 persen sejak Biden berkuasa pada 2021.
Namun, tidak ada rencana tindakan yang dipaparkan secara eksplisit dari Harris tentang bagaimana dia tepatnya akan dapat mencapai hal tersebut.
Sebaliknya, laporan sejumlah media mengutip para pejabat kampanye Harris yang mengatakan bahwa sang wakil presiden tidak pernah berjanji bahwa larangan itu akan segera menurunkan harga bahan makanan.
Bantuan bagi keluarga Amerika akan datang dari kebijakan terkait pemerintahan Biden-Harris yang mencakup pemberian dukungan kepada usaha kecil di industri bahan makanan, daging, dan pertanian yang akan mendorong persaingan dan membantu menurunkan harga, kata para pejabat.
Sebagai presiden, Harris dapat menggunakan kewenangan regulasi Komisi Perdagangan Federal untuk meminimalkan merger di antara berbagai perusahaan raksasa bidang makanan dan bahan makanan guna mencegah berkurangnya persaingan di kedua sektor tersebut, tambah tim kampanye Harris.
Namun, ucapan Harris terkait rencana itu telah membuka peluang bagi dirinya untuk diserang oleh pesaingnya dari Partai Republik, Trump. Mantan presiden tersebut menuduh Harris menyiapkan panggung untuk "pengendalian harga ala Soviet" dan mengecam usulan pengendalian harga tersebut sebagai "komunis".
Gagasan Harris untuk membantu orang Amerika yang belum memiliki tempat tinggal untuk dapat membeli rumah pertama juga diragukan. Wapres telah meluncurkan rencana untuk membangun tiga juta rumah baru dan memberikan bantuan uang muka sebanyak 25,000 dolar AS (sekitar Rp386 juta) untuk pembeli rumah pertama.
Fiona Green, seorang ekonom dari Florida yang berpengalaman dalam kebijakan publik, mengatakan bahwa rencana Harris "tampaknya lebih seperti trik untuk menaikkan jajak pendapat daripada kebijakan yang mungkin dapat dilakukan".
Pengamat lainnya berpendapat bahwa pihak penjual hanya akan menaikkan harga sebesar 25.000 dolar AS dari harga awal, sehingga "bantuan" Harris menjadi sia-sia.
Bahkan jika program tersebut berjalan, dana itu dinilai tidak akan bisa diberikan di muka, seperti yang dibutuhkan oleh sebagian besar pembeli rumah, kata David Dworkin, presiden dan kepala eksekutif Konferensi Perumahan Nasional.
Memperbesar defisit
Di lain pihak, usulan rencana perekonomian Trump juga dihujani kritik.
Rencana ekonomi Trump akan meningkatkan defisit fiskal anggaran federal AS menjadi sebesar 5,8 triliun dolar AS (sekitar Rp89 kuadriliun) selama dekade berikutnya, atau hampir lima kali lebih besar dibandingkan defisit akibat usulan ekonomi Harris, menurut kajian Institut Wharton Universitas Penn.
Analisis terhadap rencana Trump disebut dalam kajian itu akan menambah defisit AS sebesar 4 triliun dolar AS (sekitar Rp62 kuadriliun) selama 10 tahun ke depan dengan rencananya untuk menjadikan pemotongan pajak pada tahun 2017 menjadi permanen.
Usulan Partai Republik untuk menghapuskan pajak atas tunjangan Jaminan Sosial juga dapat menambah defisit sebesar 1,2 triliun dolar AS (sekitar Rp18 kuadriliun), dan 0,6 triliun dolar AS (sekitar Rp9 kuadriliun) defisit lainnya berasal dari janjinya untuk lebih mengurangi pajak perusahaan.
Sedangkan bagi Harris, kajian tersebut menemukan bahwa rencananya untuk memperluas Kredit Pajak Anak, Kredit Pajak Penghasilan dan kredit pajak lainnya akan meningkatkan defisit sebesar 2,1 triliun dolar AS (sekitar Rp33 kuadriliun) dalam 10 tahun mendatang, ditambah usulannya untuk memberikan subsidi bagi semua pembeli rumah pertama yang memenuhi syarat akan menelan biaya tambahan sebesar 140 miliar dolar AS (sekitar Rp2 kuadriliun) selama satu dekade.
Namun, dengan menaikkan pajak perusahaan menjadi 28 persen dari 21 persen saat ini, Harris masih dapat memperoleh pendapatan tambahan sekitar 1,1 triliun dolar AS (sekitar Rp17 kuadriliun), demikian temuan analisis tersebut.
Trump berpendapat bahwa ia akan membiayai proposal ekonominya dengan tarif 10 persen untuk semua impor dan tarif 60 persen untuk impor dari China, yang keduanya tidak perlu disahkan oleh Kongres agar dapat diterapkan.
Trump juga mengeklaim hal ini akan menghasilkan pertumbuhan domestik jangka panjang yang cukup untuk melebihi biaya jangka pendek.
Namun, Mark Zandi, kepala ekonom di lembaga pemeringkat Moodys, dalam komentarnya kepada NBC menyatakan tidak setuju serta mengungkapkan bahwa tarif yang diajukan Trump kemungkinan hanya akan menghasilkan pendapatan paling banyak sebesar 2,5 triliun dolar (sekitar Rp39 kuadriliun)--kurang dari setengah beban defisit baru yang harus ditanggung bila Trump kembali ke Gedung Putih.
Risiko lain dalam rencana Trump adalah tarif 60 persen yang diusulkan terhadap impor dari China, mitra dagang terbesar AS, dapat menyebabkan inflasi lebih melonjak lagi.
Sumber: Sputnik-OANA