Jakarta (ANTARA) - Pengajar Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan jumlah calon tunggal usai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengalami penurunan, tetapi belum terlalu signifikan.
Titi, dalam diskusi daring yang diselenggarakan The Constitutional Democracy Initiative (CONSID) sebagaimana dipantau di Jakarta, Minggu, menjelaskan bahwa jumlah calon tunggal pada Pilkada 2024 menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Ia mengatakan, akumulasi calon tunggal dalam tiga gelombang pilkada sebelumnya, yakni Pilkada 2017, 2018, dan 2020 mencapai 50 calon dari 545 daerah atau setara 9,17 persen.
Sementara itu, dalam pilkada yang bakal digelar secara serentak di 545 daerah pada tahun ini berpotensi ada 43 calon tunggal atau setara 7,89 persen.
“Berarti kalau kita komparasi antara rentang dari 2017 sampai 2020 itu 9,17 persen turun menjadi 7,89 persen, artinya secara kuantitatif memang terjadi penurunan,” kata Titi.
Selain menurunnya persentase, ada pula daerah yang terselamatkan dari potensi calon tunggal berkat putusan MK, seperti Pilkada Kota Tangerang Selatan, Pilkada Kabupaten Bogor, dan Pilkada Provinsi Sulawesi Selatan.
Namun demikian, Titi menyoroti bahwa untuk pertama kalinya ada calon tunggal terjadi di pilkada tingkat provinsi, yakni Pilkada Papua Barat.
Di sisi lain, ia juga menyebut masih adanya dominasi petahana maupun kerabat petahana di antara calon tunggal tersebut.
Misalnya, jelas Titi, dari enam calon tunggal di Sumatera Utara, empat di antaranya merupakan petahana bupati dan dua lainnya petahana wakil bupati. Sementara itu, contoh kerabat petahana terjadi pada calon tunggal Pilkada Brebes.
Menurut dia, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 belum optimal dalam mengadang calon tunggal.
Pertama, putusan tersebut dibacakan pada 20 Agustus 2024 saat masa pendaftaran calon Pilkada 2024 sudah dekat, yakni 27–29 Agustus. Menurutnya, ketika itu mayoritas rekomendasi kepala daerah dari partai sudah terbit dan konfigurasi koalisi pencalonan sudah terbentuk.
Kedua, elite partai politik di tingkat nasional telah terikat komitmen dengan koalisi pemilihan presiden, yakni Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang terdiri dari belasan partai.
“Jadi ketika putusan MK keluar, para elite di tingkat pusat, DPP, punya komitmen untuk menduplikasi KIM Plus di tingkat daerah,” ujar Titi.
Ketiga, partai politik di daerah memilih untuk realistis dan pragmatis karena adanya dominasi petahana. Terlebih, partai politik baru saja usai berlaga dalam kontestasi pemilu legislatif.
“Itu yang kemudian membuat partai mengambil pilihan yang realistis dan pragmatis untuk mengusung calon tunggal yang punya latar belakang petahana, modal sosial yang kuat, modal politik yang kuat, dan tentu saja modal kapital,” ucapnya.