Toboali, Bangka Selatan (ANTARA) - “Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu". (Barbara Tuchman 1912-1989)
Para pendiri bangsa ini membangun konsep negara Republik Indonesia ini dengan gagasan.
Entah itu gagasan tentang kemerdekaan, anti penjajahan, kemanusiaan dan sebagainya.
Dan gagasan itu lahir dari tradisi literasi yang baik. Apakah itu membaca, dan menulis bahkan berdiskusi.
Bung Hatta, sang proklamator, pernah berpesan, ”Aku rela dipenjara berulang kali asal ditemani buku, karena dengan buku aku merasa jadi manusia bebas.”
Tak heran bila koleksi buku Bung Hatta puluhan ribu. Dan koleksi bukunya terdiri dari berbagai jenis buku. Bukan hanya buku politik, pemerintahan, psikologi, namun beragam jenis buku lainnya. Termasuk buku tentang kesehatan.
Bung Hatta punya jadwal membaca yang baik dan disiplin membaca.
Pernah suatu waktu, Duta Besar Negara Asing datang untuk bertemu Bung Hatta.
Namun dikarenakan Sang Duta Besar Negara Asing itu datang terlambat, dan jadwal sudah memasuki waktu membaca, Bung Hatta enggan untuk menemuinya.
Keesokan harinya saat bertemu, Sang Duta Besar Negara Asing itu meminta maaf kepada Bung Hatta.
Sejak kanak-kanak, Soekarno mulai terlihat sebagai seorang kutu buku. Hobi membacanya ini kian menjadi-jadi kala ia tinggal bersama keluarga H.O.S. Tjokroaminoto untuk menjalani masa sekolah menengah Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya.
Tak heran bila putri Bung Karno Rachmawati menyebut ayahnya kaya akan pengetahuan karena membaca.
Bung Karno adalah seorang insan Indonesia pecinta buku tiada banding di zamannya.
Segala macam buku, baik mengenai politik, sejarah, ekonomi maupun buku-buku tentang agama dan sosial lainnya, tidak luput dari intaian dan perhatiannya. Soekarno bahkan sempat dijuluki "hantu buku” karenanya.
Setidaknya sejak kanak-kanak, Soekarno mulai terlihat sebagai seorang kutu buku.
Hobi membacanya ini kian menjadi-jadi kala ia tinggal bersama keluarga H.O.S. Tjokroaminoto untuk menjalani masa sekolah menengah Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya.
Bung Karno sering mengunjungi perpustakaan Perkumpulan Teosofi di Surabaya, yang dianggapnya sebagai "peti harta karun, yang tidak mengenal pembatasan seorang anak miskin”.
Soekarno menjejali otak dengan gagasan-gagasan akbar tokoh-tokoh Dunia Barat: Presiden Amerika Serikat seperti Thomas Jefferson, George Washington, Abraham Lincoln.
Gagasan-gagasan dari ahli-ahli pikir Dunia Timur juga tak dia lewatkan. Soekarno mengagumi buah pikir Mahatma Gandhi, Jose Rizal, Sun Yat Sen, Must, dan lain-lain. Semua itu dilahap di akhir masa pubertasnya.
Perjumpaannya dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo di Bandung menyeret Soekarno ke dalam dunia politik dan studinya menjadi keteteran.
Pasca lulus tahun 1926, Soekarno kian serius berpolitik, namun ia tetap tulen melahap buku.
Ketika pada tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia diberangus dan Soekarno diasingkan oleh Belanda ke Pulau Ende dan Bengkulu, buku-buku lah yang membuat dirinya tetap waras, selain sanak keluarga yang ikut bersamanya.
Demikian pula para negarawan bangsa lainnya seperti Adam Malik, Syahril, BJ Habibie , Gus Dur, dan para tokoh bangsa lainnya menjadikan buku sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Tentunya dari semua narasi diatas, kita memahami betapa pentingnya membaca.
Kebiasaan membaca (habit reading) harus menjadi bagian dari hidup dan kehidupan kita sebagai anak bangsa.
Entah apa jadinya negeri ini bila penduduknya tidak memiliki kebiasaan membaca buku.
Entah apa jadinya bangsa ini bila warga negaranya enggan membaca.
Sudah saatnya kebiasaan membaca menjadi gaya hidup kita yang hidup di negeri ini yang berdiam dari Rote hingga Miangas.
Pertanyaannya, berapa halaman kah buku yang kita baca hari ini?
Yo kita membaca!
*) Penulis adalah Rusmin Sopian, Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca Kabupaten Bangka Selatan