Jakarta (ANTARA) - Konselor Menyusui sekaligus Co-Founder Komunitas Ayah ASI Indonesia Agus Rahmat Hidayat menyatakan cuti ayah yang lebih panjang bisa mendukung pengasuhan dan sangat bermanfaat bagi kesehatan ibu maupun bayi.
Berdasarkan penelitian, cuti ayah dapat mengurangi peran gender tradisional (ayah bekerja dan ibu mengurus anak di rumah). Ayah yang mengambil cuti lebih, dapat terlibat dalam aktivitas pengasuhan sehari-hari, katanya dalam diskusi kelas orang tua hebat yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Kamis.
Agus menjelaskan, dalam rangka mencegah bayi lahir stunting, paling efektif dilakukan di 1.000 hari pertama kehidupan atau usia 0-2 tahun, sehingga keterlibatan ayah perlu lebih banyak, setidaknya pasca-persalinan dengan cuti ayah yang direkomendasikan selama dua minggu.
Buat ayah, di awal-awal melahirkan juga perlu ikut terlibat, komunitas ayah ASI mendorong ke pemerintah, beri cutinya itu dua minggu deh, itu sudah cukup karena seminggu pertama itu masa-masa krusial dalam konteks menyusui, ujar dia.
Untuk diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2024 Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA), di pasal 6 ayat (2), suami berhak mendapatkan hak cuti pendampingan istri pada masa persalinan selama dua hari dan dapat diberikan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan; atau saat mengalami keguguran selama dua hari.
Di seminggu pertama itu ibunya masih belajar, kadang-kadang pelekatan yang tidak pas membuat putingnya sakit, dia butuh dukungan sementara ayahnya harus bekerja. Kalau diberikan cuti melahirkan bagi ayah di dua minggu pertama, paling tidak istrinya merasa ada teman yang dekat, tuturnya.
Selain itu, dari segi pemantauan kesehatan anak, Agus menilai jam buka pos pelayanan terpadu (posyandu) juga seringkali hanya di hari kerja, sehingga menjadi tantangan bagi ayah yang bekerja untuk ikut menemani anak-anaknya kontrol perkembangan kesehatan.
Posyandu sebagian besar di Indonesia jam layanannya di hari kerja Senin-Jumat dan pagi, yang seringkali bagi ayah tidak dapat menemani anaknya kontrol di posyandu, ini menjadi tantangan buat para bapak-bapak dari sisi pekerjaan, ucapnya.
Agus juga mengemukakan pentingnya program-program pengasuhan atau parenting yang lebih banyak melibatkan laki-laki, karena stigma ayah menjadi pengasuh anak di Indonesia masih dianggap hal yang tabu.
Kebanyakan acara parenting itu pesertanya fokus pada ibu-ibu, pembicaranya pada ibu-ibu, dan goodie bagnya juga untuk ibu-ibu, padahal, untuk suami atau ayah, kami juga butuh diberikan akses pembelajaran, misalnya berupa tatap muka selama 60-90 menit, bisa ayah atau ibu, lebih mudah dilakukan di layanan kesehatan saat antenatal care (pemeriksaan kehamilan), mungkin bisa dengan fasilitator laki-laki pula agar kami bisa saling berbagi pengalaman, paparnya.