Pangkalpinang (ANTARA) - Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia sering sekali mengalami kasus-kasus pelecehan seksual, bahkan pelecehan seksual sudah tidak asing lagi bagi Warga Negara Indonesia (WNI). Pengertian dari pelecehan seksual sendiri adalah segala macam bentuk tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk merendahkan, menghina, atau menyerang seksualitas seseorang yang dilakukan tanpa persetujuan dari seseorang. Secara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pelecehan berasal dari kata leceh yang berarti memandang rendah, menghinakan atau tak berharga. Sedangkan kata seksual berasal dari kata seks. Seks, sangat sering diartikan sebagai jenis kelamin biologis, yaitu laki-laki dan perempuan. Tindakan ini juga termasuk ke dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Pelecehan seksual dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu Pelecehan Seksual secara Verbal dan Pelecehan Seksual secara Non-Verbal. Apa yang membedakan dari kedua jenis Pelecehan Seksual tersebut?
Pelecehan Seksual secara Verbal adalah jenis pelecehan seksual yang dilakukan melalui ucapan, kata-kata, ataupun komentar yang mengandung unsur seksual. Biasanya jenis pelecehan ini sering kita temui di jalanan seperti catcalling atau di dunia maya melalui komentar-komentar yang tidak sepatutnya. Sedangkan, Pelecehan Seksual secara Non – Verbal (Fisik) adalah jenis pelecehan yang dilakukan melalui sentuhan fisik, seperti meraba atau memegang tubuh seseorang yang bersifat privasi tanpa seizin orang tersebut, seperti pemerkosaan.
Pada masa sekarang, pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan tidak memandang itu siapa, umur, ataupun jenis kelamin. Bahkan pelakunya bisa saja orang yang berada di sekitar kita seperti tetangga, teman, pacar, bahkan keluarga yang sedarah dengan tubuh kita.
Sebagian besar, korban pelecehan seksual terjadi di kalangan perempuan. Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pada tahun 2024 tercatat lebih dari 15.000 kasus kekerasan seksual termasuk pelecehan di Indonesia. Namun angka ini hanyalah permukaan. Diperkirakan ribuan kasus lainnya tidak pernah dilaporkan. Banyak korban yang lebih memilih untuk diam, karena 70 persen dari mereka takut akan pandangan atau penilaian orang lain terhadap diri mereka, bisa juga pelakunya mempunyai kekuasaan sehingga mereka diancam untuk tidak melapor. Bahkan tanpa disadari, korban sering sekali menyalahkan diri sendiri. Para korban kerap kali disalahkan karena gaya berpakaian yang dianggap tidak pantas oleh masyarakat. Padahal tidak ada hubungannya antara pelecehan seksual dengan gaya berpakaian korban. Banyak kasus menunjukkan bahwa mereka yang sudah berpakaian sopan tetap menjadi korban pelecehan seksual.
Beberapa faktor pemicu terjadinya pelecehan seksual, seperti pelaku mempunyai kebiasaan menonton video pornografi, mempunyai fantasi seksual, bergantungan dengan narkoba atau alkohol, mempunyai hawa nafsu yang tidak bisa dikendalikan, dan berbagai macam faktor lainnya.
Pelecehan seksual bukanlah kasus sederhana, yang dapat dilupakan oleh korban begitu saja. Pelecehan seksual juga bisa menimbulkan dampak negatif terhadap korban baik secara kesehatan fisik maupun secara kesehatan mental. Kasus ini dapat menimbulkan trauma dalam jangka waktu yang panjang atau bahkan bisa juga seumur hidup. Hal tersebut dapat membuat korban menjadi sulit untuk percaya diri, malu, dan jijik terhadap dirinya sendiri, serta kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain. Perlu kita ketahui bahwa luka secara mental lebih sulit disembuhkan dibanding dengan luka secara fisik, karena butuh waktu yang sangat lama untuk menyembuhkannya dan harus bergantungan dengan obat-obatan serta rutin konsultasi dengan dokter psikologi.
Korban pelecehan seksual sering kali mengalami gangguan psikologis yang serius atau yang biasa kita sebut dengan Mental Illness, seperti cemas, stres, depresi, bahkan yang lebih parah lagi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Hal – hal tersebut dapat mengganggu aktivitas korban dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Beberapa faktor dapat mempengaruhi keparahan trauma yang dialami oleh korban, misalnya kurangnya dukungan dari orang-orang disekitarnya, pendapat orang lain yang sering menyalahkan korban, serta hubungan antara pelaku dengan korban apalagi jika korban masih membayangkan kejadian tersebut.
Proses pemulihan yang dapat dilakukan oleh korban pasca pelecehan seksual, yaitu dengan cara rutin berkonsultasi atau terapi psikologis seperti terapi perilaku kognitif atau Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yang bertujuan untuk mengubah pola pikir dan perilaku pasien serta membantu mengurangi perasaan bersalah, malu, serta cemas pasien, dan dukungan dari keluarga, teman, atau orang di dekat mereka juga sangat dibutuhkan dalam proses pemulihan. Kita juga bisa ikut membantu memulihkan para korban dengan cara menjadi tempat mereka bercerita dan memberikan saran yang efektif. Sehingga, mereka akan merasa bahwa mereka itu tidak sendirian masih ada orang yang mau mendukung dan mendengarkan mereka.
Pelaku pelecehan seksual dapat dikurangi secara perlahan-lahan dengan menegur dan melaporkan pelaku jika sedang melihat kejadian tersebut serta penegakan hukum harus lebih tegas lagi terhadap para pelaku. Edukasi tentang pelecehan seksual perlu diberikan kepada masyarakat, agar pengetahuan masyarakat bisa lebih luas dan pemikiran mereka terhadap para korban bisa lebih terbuka untuk mengurangi masyarakat dalam menyalahkan korban.
Ternyata jika dilihat-lihat lagi kasus pelecehan seksual bukanlah kasus sederhana yang mudah dilupakan oleh korban begitu saja. Bahkan untuk pemulihan korban pun butuh jangka waktu panjang yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan satu kali berkonsultasi. Korban tidak sepatutnya disalahkan, semestinya pelaku lah yang harus disalahkan, karena kita tidak akan tahu apa yang telah di rasakan dan di alami oleh korban. Sebelum kita sendiri yang merasakannya. Maka dari itu, korban berhak untuk di dengar dan di lindungi bukan dihakimi. Setiap angka adalah manusia, dan setiap manusia punya hak untuk aman.
*) Chelsy merupakan Mahasiswa Universitas Katolik Musi Charitas