Pangkalpinang (ANTARA) - Pemerintah dan DPR harus segera merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) khususnya tiga frasa yang diminta tiga pemohon yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Juni 2024 lalu.
Dalam keterangan tertulis yang diterima di Pangkalpinang, Senin, menyebutkan dDesakan untuk segera merevisi UU tersebut untuk memberikan kepastian hukum sekaligus menegaskan independensi LPS dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya.
Demikian kesimpulan yang disampaikan tiga pakar hukum yakni, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Bandung, Susi Dwi Harijanti, pakar hukum administrasi negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Puji Nugraha Simatupang, dan Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Indra Perwira dalam kesempatan terpisah di Jakarta, baru-baru ini.
Ketiga akademisi itu mengapresiasi putusan MK yang menegaskan pentingnya independensi LPS agar setara dengan dua regulator lainnya yakni Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang mengatur sektor jasa keuangan.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Bandung, Susi Dwi Harijanti yang diminta pendapatnya mengatakan putusan MK patut diapresiasi karena secara gamblang menegaskan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan operasional LPS salah satunya pengajuan RKAT harus dengan persetujuan DPR, bukan lagi Menteri Keuangan.
“Jadi mekanisme persetujuannya cukup dengan DPR dan tidak perlu sampai secara detail misalnya sampai satuan tiga,” kata Susi.
Dia pun mendesak agar pembuat UU khususnya Pemerintah dan DPR segera merevisi UUP2SK agar tidak menimbulkan multitafsir, terutama mengenai bagian dari putusan MK yang dinilai ambigu karena memberi waktu dua tahun ke pembentuk UU melakukan perubahan.
“Kalau putusannya sudah keluar seharusnya langsung dijalankan karena norma yang diujikan sudah inkonstitusional, jangan mempertahankan sementara,” tegas Susi.
Sementara itu, pakar Hukum Administrasi Negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Puji Nugraha Simatupang mengapresiasi putusan MK tersebut karena sangat tepat dalam memberikan kepastian hukum dan keberlanjutan tata kelola LPS sebagai badan hukum.
LPS jelas Dian merupakan badan hukum tersendiri sesuai dengan UU LPS yang mempunyai mekanisme dalam pengelolaan anggaran sejalan dengan karakter kelembagaan LPS yang tetap dijaga transparansi dan akuntabilitasnya.
“Putusan MK mengamanahkan aturan tahapan yang diperbarui tanpa adanya persetujuan Menkeu dalam pengelolaan anggaran LPS. Hal penting yang harus diingat pembentuk UU, saat melakukan perubahan tidak boleh lagi memuat norma persetujuan Menkeu karena bertentangan dengan karakter hukum kelembagaan LPS sebagai badan hukum,” kata Dian.
Pada kesempatan lain, Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Indra Perwira menjelaskan bahwa fungsi monetary dalam sistem ketata-negaran di Indonesia sekarang ini dijalankan BI, OJK, dan LPS.
Jika anggaran ketiga lembaga itu disetujui DPR, maka hal itu wajar karena DPR adalah cabang kekuasaan yang pemegang hak budget. Seblaiknya, jika harus disetujui oleh Menkeu, berarti mengubah kedudukan LPS dari suatu lembaga negara menjadi sekedar instansi pemerintahan yang subordinasi pada Menkeu.
“Hubungannya jadi bersifat administrasi. Oleh sebab itu saya menilai putusan MK tersebut sangat tepat, mengembalikan kedudukan LPS sebagai lembaga negara independen,” tegas Indra.
Dia pun mendesak segera dilakukan revisi karena pembatalan norma tidak bisa di delay sebab menyangkut keadilan konstitusional. “Bagi saya, direvisi atau tidak, tidak berpengaruh pada pembuatan norma. Mekanisme persetujuan DPR itu bisa mengikuti mekanisme APBN pada umumnya,” kata Indra.
MK sendiri dalam amar putusannnya yang dibacakan pada Jumat (3/1) mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan tiga pemohon, yaitu Giri Ahmad Taufik dan Wicaksana Dramanda yang berprofesi sebagai dosen, serta Mario Angkawidjaja yang berstatus sebagai mahasiswa.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan frasa “untuk mendapat persetujuan” sebagaimana termuat dalam Pasal 86 ayat (4), frasa “Menteri Keuangan memberikan persetujuan” sebagaimana termuat dalam ayat (6), dan frasa “yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan” sebagaimana termuat dalam ayat (7) huruf a dalam Pasal 7 angka 57 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan DPR” berlaku setelah pembentuk undang-undang melakukan perubahan paling lama 2 tahun sejak putusan a quo diucapkan.