Pangkalpinang (ANTARA) - Pada tanggal 25 April 2024, disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004 tentang Desa. Dalam pasal 39 dijelaskan tentang perubahan masa jabatan dan periode kepala desa. Sebelum perubahan, masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dengan 3 periode, namun setelah perubahan pasal, masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun 2 periode.
Perubahan atas pasal tersebut merupakan hasil dari demonstrasi yang dilakukan oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI). Pada awalnya, tuntutan para kepala desa adalah 9 tahun dengan 2 periode masa jabatan, namun yang dikabulkan hanya 8 tahun dan 2 periode. Lalu, mengapa perubahan ini menjadi penting?
Pertama, masa jabatan selama 6 tahun dinilai terlalu singkat untuk menjalankan program pembangunan desa secara berkelanjutan, terutama yang bersifat jangka panjang. Tidak jarang, kepala desa membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan tugas dan tanggung jawab barunya, namun sebelum program berjalan optimal, ia sudah harus mulai mempersiapkan diri menghadapi pemilihan kepala desa berikutnya. Kondisi ini menyebabkan banyak program menjadi tertunda atau bahkan mangkrak karena kurangnya fokus dan kesinambungan dalam pelaksanaannya.
Dua, kondisi pasca pemilihan kepala desa yang masih belum kondusif. Proses pemilihan kepala desa sering menimbulkan konflik di Masyarakat, hal ini dapat terjadi karena pendapat yang berbeda ataupun tidak terima pilihannya tidak menang. Ditambah desa yang tidak begitu luas dan masyarakatnya yang tidak banyak. Ketidakstabilan akibat pemilihan kepala desa ini akan membuat program yang direncanakan tidak dapat berjalan dengan baik di awal tahun menjabat.
Ketiga, praktik politik uang dan besarnya biaya pemilihan kepala desa menjadi salah satu permasalahan yang cukup krusial. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004, masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat menjabat hingga 3 periode. Namun, masa jabatan tersebut dianggap terlalu singkat oleh sebagian kepala desa, terlebih karena adanya kemungkinan harus mengikuti pemilihan hingga tiga kali. Hal ini tentu menimbulkan beban biaya politik yang tidak sedikit. Tidak jarang pula terjadi praktik politik uang demi memenangkan pemilihan, yang pada akhirnya mendorong kepala desa untuk mengejar “balik modal” selama masa jabatannya.
Dengan perubahan masa jabatan menjadi 8 tahun untuk 2 periode, diharapkan kepala desa memiliki waktu yang lebih panjang untuk menjalankan program secara optimal dan membangun citra positif tanpa harus mengandalkan biaya besar dalam setiap pemilihan.
Jika dilihat dari segi hukum, perubahan atas masa jabatan ini tidak melanggar hukum, karena undang-undang tersebut juga merupakan produk dari DPR, yang artinya undang undang tersebut memiliki legalitas yang sah. Namun, masa jabatan kepala desa yang dinilai lebih panjang dibandingkan dengan kepala daerah lainnya dianggap telah melanggar prinsip demokrasi konstitusional. Masa jabatan bupati, gubernur dan presiden hanya 5 tahun dengan 2 periode menjabat, sedangkan masa jabatan kepala desa bisa sampai 8 tahun 2 periode.
Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada hukum sehingga implementasi terhadap supremasi hukum adalah dengan pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan ini ditujukan untuk melindungi hak-hak masyarakat Indonesia, seperti hak untuk dipilih dan hak untuk memilih, hak kebebasan berpendapat dan hak-hak dasar lainnya.
Kekuasaan yang berlebihan dianggap dapat berujung pada berbagai masalah seperti satu, oligarki atau pemerintahan yang hanya dikuasai oleh satu golongan saja. Oligarki ini dapat terjadi ketika kepala desa tersebut telah menjabat selama bertahun-tahun lamanya dan ia memiliki kekuasaan serta pengaruh yang besar terhadap pemerintahan desa, sehingga tidak menutup kemungkinan ia dapat meletakkan orang-orangnya di dalam struktur pemerintahan untuk menguntungkan golongannya saja.
Dua, tinggi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam pemerintahan desa. Masa jabatan yang terlalu panjang dapat membuat kepala desa merasa bahwa ia memiliki kekuasaan yang besar sehingga memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut.
Tiga, kurang aktifnya regenerasi kepemimpinan di tingkat kepala desa. Masa jabatan kepala desa yang panjang akan menjadi hal yang buruk karena berpotensi menutup calon-calon atau bahkan anak muda yang sebenarnya potensial untuk menjadi seorang kepala desa. Hal ini bisa terjadi karena mereka sudah enggan menunggu terlalu lama untuk pemilihan kepala desa yang selanjutnya.
Meskipun begitu bukan berarti pelaksanaan masa jabatan kepala desa ini tanpa solusi, karena pelaksanaan pemerintahan desa ini dapat dilakukan dalam pengawasan yang ketat oleh pemerintahan yang lebih tinggi supaya penyalahgunaan kekuasaan tidak terjadi di tingkat desa. Selain itu, pelaksanaannya juga harus di dukung oleh partisipasi dan pengawasan masyarakat yang aktif dan harus dipastikan juga bahwa pelaksanaan pemerintahan tersebut dijalankan dengan good governance atau asas-asas pemerintahan yang baik, seperti akuntabilitas, transparansi, efektivitas, efesiensi dan partisipasi public.
Jadi, perpanjangan masa jabatan kepala desa sebenarnya memiliki sejumlah manfaat. Pertama, masa jabatan yang lebih panjang dapat menciptakan stabilitas dalam kepemimpinan desa, sehingga kepala desa memiliki waktu yang cukup untuk merancang dan menyelesaikan program pembangunan jangka panjang, termasuk program-program yang sebelumnya tertunda.
Kedua, perpanjangan masa jabatan juga dinilai dapat meminimalkan potensi konflik sosial yang sering muncul pasca pemilihan kepala desa serta mengurangi ketegangan yang terjadi selama proses pemilihan. Tapi tidak dapat dipungkiri memang masih ada beberapa permasalahan yang timbul akibat masa jabatan yang dianggap terlalu panjang, namun masalah ini bisa diakomodir dengan adanya pengawasan yang ketat dan berkala untuk mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung