Pangkalpinang (ANTARA) - Anak-anak adalah masa depan bangsa. Namun, ironisnya, tidak sedikit dari mereka yang justru harus memikul beban ekonomi keluarga sejak usia dini. Alih-alih menikmati masa kecil dan menuntut ilmu dengan tenang, mereka malah dihantui oleh bayang-bayang kemiskinan.
Banyak anak terpaksa bekerja, bahkan di jalanan, demi membantu orang tuanya yang kesulitan. Fenomena ini merupakan kesenjangan ekonomi yang berbahaya, terlihat kecil, namun dapat mengancam masa depan mereka sebagai generasi penerus bangsa.
Kemiskinan menjadi salah satu akar permasalahan terbesar bagi banyak orang, termasuk dalam keluarga. Orang tua yang kesulitan membiayai hidupnya dan memenuhi kebutuhan keluarganya sering kali melibatkan anak mereka untuk turun tangan langsung dalam membantu perekonomian keluarga. Contohnya adalah anak-anak kecil yang harus bekerja di jalanan dengan cara menjual tisu, kerupuk, atau barang lainnya.
Terkadang, memang bukan paksaan dari orang tua. Namun, miris rasanya ketika melihat anak yang seharusnya masih bersekolah dan menikmati masa kecilnya, malah ikut andil dalam mencari nafkah. Permasalahan ini tidak hanya terjadi di daerah kecil seperti pedesaan atau kepulauan, melainkan sudah menyebar ke mana saja, termasuk kota-kota besar.
Pekerja anak merupakan salah satu permasalahan sosial yang belum pernah tuntas ditanggulangi hingga kini. Bahkan keterpurukan Indonesia dalam situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melahirkan gelombang PHK, inflasi, dan proses pemiskinan penduduk bukan saja menyebabkan jumlah pekerja anak bertambah tetapi makin mempertajam situasi dilematis yang harus dihadapi anak-anak.
Alih fungsi peran merujuk pada perubahan tanggung jawab atau tugas, seperti anak-anak yang harus mengambil peran orang tua dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Fenomena ini terjadi ketika anak-anak, yang seharusnya fokus pada pendidikan dan pengembangan diri, malah dibebani tanggung jawab besar untuk mencari nafkah. Biasanya, hal ini menjadi jalan terakhir bagi keluarga yang tidak berkecukupan.
Anak-anak yang seharusnya berada di sekolah akhirnya menghabiskan waktu mereka di jalanan untuk menjual tisu, kerupuk, atau barang lainnya demi membantu perekonomian keluarga.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan GoodStats, pada tahun 2024 persentase pekerja anak mengalami kenaikan sebesar 0,45% dari tahun 2023 yaitu dari 1,72% menjadi 2,17%. Kenaikan persentase tersebut diiringi dengan kenaikan jumlah pekerja anak dari tahun 2023 sebesar 1,01 juta orang menjadi 1,27 juta orang pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan tingkat masalah yang serius dan mengkhawatirkan. Jika fenomena ini terus berlanjut, masa depan generasi penerus bangsa bisa berada dalam bahaya.
Beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua kini berpindah ke anak-anak yang masih sangat muda. Hal ini menciptakan dampak jangka panjang pada berbagai aspek kehidupan mereka-baik fisik, mental, emosional, maupun sosial. Anak-anak ini kehilangan kesempatan untuk bermain, belajar, dan berkembang secara optimal hanya karena terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.
Fenomena ini memberikan dampak serius, baik secara sosial maupun ekonomi. Secara sosial, anak-anak yang terpaksa bekerja sering kali kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya, yang penting untuk perkembangan emosi dan mental mereka. Selain itu, hinaan, cacian, dan diskriminasi terhadap anak-anak pekerja dapat memengaruhi rasa percaya diri mereka, sehingga banyak yang merasa minder atau rendah diri.
Dari sisi ekonomi, anak tertekan di posisi bawah, susah terangkat karena tingkat pendidikannya minimum, sampai berkeluarga dan tua mereka menjadi generasi yang tertinggal. Sehingga secara turun menurun mereka tidak dapat menciptakan keluarga yang bermartabat dan kompetitif.
Mengatasi masalah anak-anak yang terpaksa berjualan di jalan demi membantu ekonomi keluarga memerlukan perhatian dan tindakan dari berbagai pihak. Pemerintah dapat meningkatkan program bantuan sosial bagi keluarga kurang mampu agar kebutuhan dasar mereka terpenuhi, sehingga anak-anak tidak perlu lagi ikut mencari nafkah. Selain itu, akses pendidikan yang mudah dan gratis harus terus diperkuat, termasuk program beasiswa dan bimbingan belajar, supaya anak-anak tetap dapat bersekolah dan mengembangkan potensi mereka.
Peran masyarakat dan organisasi kemanusiaan sangat penting dalam memberikan edukasi kepada keluarga tentang pentingnya pendidikan dan dampak negatif pekerja anak. Kampanye kesadaran serta bantuan langsung berupa makanan, pakaian, atau fasilitas belajar juga bisa meringankan beban ekonomi keluarga. Keluarga sendiri perlu didorong untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung anak-anak agar bisa fokus belajar dan bermain, tanpa harus terbebani mencari uang sejak dini.
Dengan semangat dan gerakan yang selaras antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga, diharapkan anak-anak dapat kembali menikmati masa kecil mereka, memperoleh pendidikan yang layak, dan masa depan mereka pun menjadi lebih cerah.
Kesimpulannya, fenomena anak-anak yang terpaksa berjualan di jalan demi membantu ekonomi keluarga merupakan masalah sosial dan ekonomi yang serius. Dampak negatifnya tidak hanya dirasakan oleh anak-anak itu sendiri, tapi juga berpotensi mengancam masa depan mereka dan generasi bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi dari pemerintah, masyarakat, dan keluarga untuk memberikan perlindungan, pendidikan, serta bantuan yang memadai agar anak-anak dapat kembali menikmati masa kecilnya dengan penuh kebahagiaan dan kesempatan belajar yang layak. Dengan perhatian dan tindakan nyata bersama, kita dapat memutus rantai kemiskinan dan membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak Indonesia.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
Alih fungsi peran anak sebagai "pemikul beban" ekonomi keluarga
Oleh Kyla Belwan Cleosa *) Rabu, 11 Juni 2025 17:28 WIB
