Jakarta (Antara Babel) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan skema bagi hasil "gross split" yang dipakai pada kontrak migas dapat menghindari biaya tak terduga di akhir tahun yang ditanggung pemerintah.
Pada pembukaan seminar "Energi Roadmap 2017-2025", Jonan menceritakan Kementerian ESDM menganggarkan dana untuk biaya operasional "cost recovery" sebesar 8,5 miliar dolar AS, namun realisasinya meningkat menjadi 11,5 miliar dolar AS yang membuat pemerintah terkejut dengan lonjakan biaya menggunakan skema lama.
"APBN 2016 jadi terkaget-kaget di akhir tahun ada tambahan biaya 3 miliar solar AS. Itu setara Rp40 triliun. Kementerian Perhubungan sewaktu saya di sana bangun segitu banyak tidak ada sampai Rp40 triliun," kata Jonan di Jakarta, Rabu.
Jonan menjelaskan dengan menggunakan skema "gross split" yang diundangkan sejak 13 Januari 2017 melalui Permen ESDM 08/2017 itu, kontrak migas baru tidak akan membebani APBN karena biaya operasional akan ditanggung kontraktor.
Selain itu, Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebagai salah satu variabel dasar bagi hasil "base split" menjadi keuntungan bagi negara karena kontraktor tentu akan memprioritaskan efisiensi yakni menggunakan tenaga dan operasional dalam negeri.
"Peraturan yang baru ini justru memberikan insentif ke kontraktor yang menggunakan TKDN. Kontraktor kalau pakai gross split pasti mau lebih efisien," ujarnya.
Ia menjelaskan dengan skema bagi hasil yang baru sebesar 50:50 ini kontrol negara tidak akan hilang sama sekali, justru ketidakefisienan akan proses biaya pengadaan (procurement) para kontraktor dapat dihilangkan.
Menurut dia, proses procurement ini dikhawatirkan mengurangi percepatan eksplorasi dan eksploitasi migas karena seluruh biaya pengadaan ditanggung pemerintah dan realisasi harus sesuai dengan pengajuan ke SKK Migas.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar beberapa waktu lalu mengatakan skema gross split menghemat waktu proses pengadaan (procurement) investasi migas hingga tiga tahun.
"Kita berharap dan sudah studikan bahwa ada indikasi waktu yang dibutuhkan bisa dipersingkat. Proses procurement system yang mungkin bisa kita potong paling tidak dua sampai tiga tahun," kata Arcandra.