Di dalam ruang ibadah yang luas di kompleks masjid di Distrik Xicheng,
Beijing, lebih dari 100 orang perempuan mengenakan kerudung bermotif
bordir warna-warni terlihat khusyu melakukan shalat.
Gerakan mereka mengikuti bacaan imam laki-laki di ruang lain masjid
tersebut yang terdengar melalui pengeras suara yang terpasang di ruang
khusus perempuan itu.
Selama bulan Ramadan, ratusan orang menjalani ibadah setiap hari di
mushala khusus perempuan di kompleks Masjid Niujie yang sangat terkenal
di daratan Tiongkok itu.
Pada saat kaum muslimah menghadapi pengekangan di berbagai belahan
dunia, baik dalam pemisahan gender atau larangan memasuki masjid bersama
kaum pria, sejumlah muslimah di China justru memiliki keunikan
tersendiri.
"Mushala khusus perempuan di China merefleksikan karakteristik
tersendiri. Bangunan mushala itu bagian dari penghormatan kami kepada
kaum perempuan," kata Direktur Masjid Niujie, Liu Jun, sebagaimana
dikutip Global Times, Rabu (21/6).
Selain untuk beribadah dan tempat belajar tentang Islam, mushala
khusus perempuan tersebut juga menjadi ajang komunikasi internasional
pada saat kaum perempuan di negara-negara Arab ingin mengunjunginya
karena di negaranya tidak ada mushala khusus sedemikian itu, demikian
ditambahkan Liu.
Mushala khusus perempuan itu pertama kali dibangun pada 1921 di kawasan permukiman Shouliu, Distrik Xicheng.
Pada 1997 mushala tersebut dibongkar seiring dengan pembongkaran
bangunan tua oleh pemerintah daerah setempat. Namun pada 2005,
pemerintah membangun kembali mushala khusus perempuan di dekat bangunan
lama dan masih di dalam kompleks Masjid Niujie.
Selama bulan Ramadan, Gui Jianrong harus bangun pukul 02.00 waktu
setempat (01.00 WIB) untuk menuju mushala khusus perempuan tersebut.
Selain beribadah, perempuan berusia 54 tahun itu bersama beberapa perempuan lainnya bahu-membahu menyiapkan buka puasa.
"Perempuan muslim itu ibaratnya 'merengkuh separuh langit' karena
memainkan peran yang lebih luas dalam aktivitas masyarakat," ujar Liu
Jun dengan mengutip pepatah Mao yang sangat terkenal itu menggambarkan
peran kaum hawa dalam pergaulan sehari-hari.
Tidak ada data resmi jumlah pengunjung mushala khusus muslimah di
China itu. Namun Prof Shui Jingjun dari Henan Academy of Social Science,
dalam bukunya berjudul "The History of Womens Mosques in Chinese
Islam", mushala perempuan itu telah menjadi bagian utama dalam
pembangunan masjid-masjid di beberapa provinsi, seperti di Henan,
Hebei, Anhui, Shanxi, dan Shandong.
Di wilayah khusus etnik Hui di Ningxia juga memiliki mushala khusus
perempuan, namun mereka tidak memiliki tradisi Islam seperti di daerah
otonomi khusus etnis Uighur di Provinsi Xinjiang.
Liu mengungkapkan bahwa berdirinya mushala khusus perempuan di
Niujie itu karena akulturasi budaya China dan tradisi Islam.
"Muslim di China dipengaruhi oleh dominasi budaya yang tidak membatasi kaum perempuan dalam pergaulan sehari-hari," ujarnya.
Pria tersebut menyebutkan bahwa komunitas muslim di China mayoritas
berasal dari etnis Hui. Etnis ini mendaku keturunan para pedagang dari
Arab yang datang ke daratan Tiongkok 13 abad yang lalu dan menikah
dengan penduduk setempat.
Akulturasi tersebut dapat dilihat dari tata cara mereka beribadah.
"Oleh sebab itu kami punya karakteristik budaya Han yang memang sangat
inklusif," tuturnya.
Selain perpaduan budaya yang saling memengaruhi, buku yang ditulis
Shui tersebut juga menjelaskan keberadaan mushala perempuan.
Saat pertama kali tiba di daratan Tiongkok pada masa Dinasti Tang
(618-907 M), umat Islam dari Arab itu dihormati sebagai tamu. Namun pada
masa Dinasti Ming (1368-1644), muslim China tidak disukai dan menjadi
sasaran tindakan represif.
Pada masa itu, komunitas muslim harus bisa menjamin budayanya agar
tidak pudar dan karena itu kaum muslimahnya ikut bertanggung jawab
menyebarluaskan keyakinannya.
Pada pertengahan abad ke-17, sekolah-sekolah agama yang dirancang
untuk mendidik kaum muslimah bermunculan. Lalu pada masa Dinasti Qing
(1644-1911), sekolah-sekolah tersebut berkembang menjadi mushala khusus
perempuan.
Langka Imam Perempuan
Ma Yun yang bekerja di bidang pengembangan sumber daya manusia di
Beijing membawa serta anaknya yang berusia dua tahun ke mushala khusus
perempuan di Niujie selama bulan Ramadhan.
Pertama kali menemukan mushala khusus perempuan saat dia masih
berusia 13 tahun ketika berkunjung ke Lanzhou, Provinsi Gansu, di
wilayah baratlaut China.
"Saat baru bisa mempelajari Al Quran dan shalat di rumah, saya
sangat menyukai kajian ilmiah di masjid," tutur ibu muda berusia 27
tahun itu.
Mushala khusus perempuan itu memang bukan hanya tempat kaum
muslimah belajar tentang agama, melainkan juga menjadi sumber
pengetahuan kaum perempuan, khususnya yang sudah berusia lanjut, untuk
belajar dasar-dasar pengetahuan agama.
Di beberapa wilayah perdesaan di China, beberapa kaum perempuan
sering kali membaca dan menulis Arab di masjid sekitar di bawah
bimbingan ustazah. Hal itu bagian dari keunikan komunitas Islam di
China.
Wang Jingxian, seorang muslimah dari etnis Hui, pertama kali
mengunjungi mushala khusus perempuan itu saat masih berusia enam tahun.
Pada saat itu, seorang ustazah mengajari kata per kata dalam Al Quran di sela-sela waktu shalat.
Pengalaman pada masa kanak-kanak itu masih jelas dalam ingatan Wang yang kini telah berusia 65 tahun itu.
"Meskipun saya tidak bisa cepat memahami apa yang dikatakan guru
karena masih kecil, saya tetap berusaha," ujarnya mengenang masa-masa
sulitnya memahami ajaran Islam.
Dia lahir di tengah keluarga yang sangat agamais dan saat itu
keluarganya merupakan tokoh terkemuka komunitas muslim di Beijing.
Bahkan beberapa imam di Beijing berasal dari kalangan keluarganya.
Mungkin dia bisa mengikuti jejak mereka menjadi imam, kalau saja tidak diintervensi Revolusi Budaya pada 1966-1976.
Saat Revolusi Budaya berlangsung, masjid tersebut dibubarkan dan imam perempuan melarikan diri.
Pada saat Revolusi Budaya, masyarakat di China menuntut
dihapuskannya empat peninggalan masa lalu yang meliputi ideologi,
budaya, tradisi, dan kebiasaan.
"Saya meninggalkan Beijing dan pergi menuju salah satu desa di Provinsi Heilongjiang (China timurlaut)," tutur Wang.
Semua jenis aktivitas peribadatan dilarang selama era Revolusi
Budaya. Hingga tahun 1980-an, aktvitas keagamaan kembali muncul di
permukaan dan imam-imam perempuan kembali tampil.
Setelah kembali ke Beijing, Wang sudah tidak punya waktu untuk
melanjutkan pendidikan agamanya karena tuntutan pekerjaan rumah tangga.
Dia menyelesaikan belajar Al Quran beberapa tahun yang lalu untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Di mushala khusus perempuan di Niujie, dia juga menjalin
persahabatan dengan beberapa muslimah lainnya dan secara berkala
menggelar kelas agama.
"Sekarang saya merasa bahagia. Dengan dukungan penuh Partai,
pemerintah, dan masyarakat, saya menikmati kebebasan beragama," ujarnya.
"Namun saya masih membutuhkan imam perempuan karena lebih nyaman
untuk belajar, bercakap-cakap, dan praktik ibadah bersama. Kami perlu
hijab (penghalang) jika harus bertemu dengan imam perempuan," katanya.
Menurut Liu, saat ini Masjid Niujie memiliki 10 imam laki-laki.
Dia menggambarkan antusiasme kawula muda terhadap Islam sangat mendukung
aktivitas keagamaan di media sosial sehingga makin mendekatkan mereka
dengan Islam.
Namun perkembangan dewasa ini juga memiliki tantangan tersendiri.
Dalam bukunya Shui menuliskan bahwa sekarang imam perempuan yang
kebanyakan telah memasuki usia senja tidak bisa memenuhi keinginan kaum
muslimah muda dari kalangan terdidik.
Saat ini imam perempuan harus bisa memahami kitab suci dalam bahasa
Arab yang jarang mereka ucapkan dengan lancar, demikian menurut buku
karangan Shui.
Saat metode pengajaran yang dipraktikkan oleh imam laki-laki telah
beberapa kali mengalami perubahan, imam perempuan cenderung lebih
konservatif seiring dengan kesulitan mereka dalam mengembangkan mushala
khusus perempuan.
Menurut Wang, mengembangkan mushala perempuan butuh pemahaman publik yang lebih luas terhadap kaum muslimah.
"Beberapa orang, termasuk di Niujie suka bertanya kepada kami
kenapa kami mengenakan pakaian tertutup pada saat musim panas yang
menggerahkan dan dipandang bermacam-macam yang membuat kaum muslimah
minder dalam pergaulan sehari-hari," tutur Wang sebagaimana dikutip
harian terkemuka yang dikelola partai berkuasa di China itu.
Berita Terkait
Jonatan Christie, Sabar/Reza tantang unggulan tuan rumah di semifinal China Masters 2024
20 jam lalu
Langkah Chico di China Masters 2024 terhenti pada babak 16 besar
21 November 2024 13:01
Ini perbedaan upacara minum teh ala China dan Jepang
21 November 2024 10:44
Ana/Tiwi melangkah ke 16 besar China Masters 2024
20 November 2024 20:58
Kepercayaan diri bawa Dejan/Gloria ke 16 besar China Masters 2024
20 November 2024 16:13
Masih terlalu perkasa, timnas Jepang kalahkan China 3-1
19 November 2024 21:39