Jakarta (Antara Babel) - Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (GNPF-MUI) menegaskan penghormatannya kepada Presiden Joko
Widodo sebagai simbol negara.
"Bagi kami Presiden adalah simbol negara, patriotisme kami harus
menghargai simbol negara. Saya memanggil Pak Presiden itu Pak Presiden
yang terhormat, kalau kita tidak menghargai simbol negara berarti kita
telah melecehkan simbol negara kita sendiri," kata Ketua GNPF-MUI
Bachtiar Nasir dalam konferensi pers di Ar-Rahman Quranic Learning (AQL)
Islamic Center Jakarta, Selasa.
Bachtiar Nasir melakukan konferensi pers bersama dengan para pengurus
GNPF-MUI yaitu Wakil Ketua GNPF MUI Zaitun Rasmin, anggota Dewan
Pembina GNPF-MUI Yusuf Matra, anggota Dewan Pembina GNPF-MUI Haikal
Hasan, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Ahmad Sobri Lubis serta Juru
Bicara FPI Munarman.
"Pertemuan itu lepas dari puja-puji, Kesannya Bachtiar Nasir
memuja-muji. Kita harus objektif, masa iya Presiden salah semua? Harus
ada benarnya juga dong, kalau kita mau objektif," tambah Bachtiar.
Bachtiar dalam pertemuan itu juga menyampaikan aspirasinya kepada
Presiden soal diskriminasi umat Muslim seperti adanya anggapan
kriminilisasi ulama dan sematan bahwa Islam itu intoleran, anti-Pacasila
dan anti-kebhinekaan.
"Setelah kami sampaikan bahwa faktanya di masyarakat terasa, terutama
adanya sematan-sematan terhadap umat Islam yang anti-Pancasila,
intoleran, radikal, kok jadi begini? Kesannya kami yang disudutkan.
Begitu juga kesan kalau umat Islam melakukan kesalahan cepat sekali
prosesnya, langsung tangkap, penjarakan, tapi kalau di seberang sana,
bukan umat Islam, tolerasinya tinggi itu yang kami rasakan," jelas
Bachtiar.
Namun teknis penyelesaian masalah tersebut menurut Bachtiar tidak
dibicarakan dalam pertemuan itu dan akan diselesaikan oleh Menkopolhukam
Wiranto.
"Presiden juga sudah mendelegasikan, sudah menginstruksikan urusan
GNPF dan gerbong di belakangannya lewat Menkoplhukam. Presiden menunjuk
langsung setelah ini ada komunikasi yang baik dan tak tersumbat melalui
Menkopolhukam," tambah Bachtiar.
Dalam pertemuan itu, menurut Bachtiar baik Presiden maupun GNPF-MUI merasa membutuhkan pertemuan lanjutan.
"Saya hitung Presiden sempat 3 kali berkata Seandainya terjadi dialog
di antara kita di 411, mungkin tidak ada 212, tidak ada ini dan ini.
Kemudian Presiden bicara yang lain seperti program tanah untuk rakyat,
bicara untuk menyeimbangkan ekonomi karena selama ini terlalu
barat-minded. Presiden berusaha ke China, Arab Saudi, Kuwait, Qatar,
bahkan juga telepon langsung dengan Turki untuk membangun kedekatan,"
ungkap Bachtiar.
Ia mengaku bahwa ada frekuensi pembicaraan yang terganggu antara GNPF-MUI dengan Presiden selama ini.
"Ada frekuensi yang terganggu dalam dialog di tengah padahal Presiden
merasa sudah berdialog dengan ulama karena Presiden mengatakan Ulamalah
yang berani menegur saya jadi saya perlu mendengarkan ulama, jadi ini
dialog jadi kebutuhan kita bersama," tambah Bachtiar.
Bachtiar berjanji akan melakukan sosialisasi kepada kelompok anggota
GNPF dan anggotanya mengenai pertemuan dengan Presiden tersebut.
"Nanti kita lakukan halal bihalal, dalam waktu dekat dari elemen Aksi
Bela Islam. Bahkan lebih dari itu kita sedang koordinasi bagaimana
halal bihalal antara ulama, umaroh, dan umat. Kepada teman-teman media
kami akan buat konferensi pers lagi mengenai hasil halal bihalal aksi
bela Islam nanti," jelas Bachtiar.
Seperti diketahui, GNPF-MUI menggerakkan massa untuk ikut dalam "Aksi
Bela Islam" pada 4 November 2016 yang lebih dikenal dengan aksi 411,
pada 2 Desember 2012 atau 212, lalu aksi 313 pada 31 Maret 2017.
Aksi tersebut dilatarbelakangi tuntutan mereka terhadap tuduhan
penodaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok yang akhirnya dinyatakan bersama melakukan
penistaan agama terkait Surat Al Maidah ayat 51 dan divonis 2 tahun
penjara.