Jakarta (Antara Babel) - Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa mantan Ketua DPR RI Marzuki Alie (2009-2014) dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e).
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus (AA)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.
Marzuki sudah tiba di gedung KPK, Jakarta, sekitar pukul 10.00 WIB.
Ia mengaku tidak mengenal dan tidak pernah bertemu dengan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Tidak kenal, tidak pernah," kata Marzuki singkat.
Selain memeriksa Marzuki, KPK juga memeriksa anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Melchias Marcus Mekeng yang juga untuk tersangka Andi Narogong.
Marcus Mekeng sudah tiba di gedung KPK sekitar pukul 09.00 WIB.
Dalam dakwaan disebut Marzuki Alie menerima Rp20 miliar terkait dengan proyek KTP-e sebesar Rp5,95 triliun itu, sedangkan Melchias Marcus Mekeng yang saat itu menjabat Ketua Badan Anggaran DPR RI menerima sejumlah 1,4 juta dolar AS.
Terdakwa dalam kasus itu adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto. Irman sudah dituntut 7 tahun penjara, sedangkan Sugiharto dituntut 5 tahun penjara.
KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golangan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Miryam S Haryani disangkakan melanggar pasal 22 juncto pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Markus Nari disangkakan melanggar pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.