Salah satu tenun yang memiliki keindahan tersendiri yakni berasal dari suku di daerah pedalaman Banten, Badui. Sampai saat ini, masyarakat Badui masih menjalankan amalan tapa karuhun (ajaran nenek moyang) yang salah satunya adalah mewajibkan perempuan untuk menenun.
"Tenun Badui berbeda dengan tenun dari daerah lain. Bedanya dari motif dan cara pembuatannya," kata penenun asal Badui, Saidah (30) atau akrab disapa Adah, ketika ditemui ANTARA News, di Jakarta, Selasa (15/8).
Menurut perempuan yang menenun sejak usia 14 tahun tersebut, terdapat beberapa motif khas Badui yang tidak dimiliki oleh daerah lain, di antaranya motif bergaris suat songket, suat samata dan motif dua segitiga adumancung.Adah menyampaikan, masyarakat Badui juga mempertahankan menenun dengan cara tradisional, yang menggunakan tenun gedog.
"Gedog itu karena saat menenun bunyinya 'dog' gitu," tukas Adah.
Setiap bagian dari alat tenun gedog memiliki nama masing-masing, seperti penyangga benang bernama cancangan, penyangga berbentuk mirip bambu bernama togtogan, ada pula jinjingan, pangrerean dan sisir untuk merapatkan benang.
"Sekarang banyak tenun yang dibuat secara modern, tapi kami tetap mempertahankan cara tradisional ini," ungkap Adah.
Untuk membuat selembar tenun Badui dengan ukuran panjang 2 meter dan lebar 30 centimeter, Adah membutuhkan waktu hingga tiga hari. Sementara untuk ukuran yang lebih panjang atau lebar, maka waktu yang dibutuhkan juga semakin panjang.
Adah menambahkan, masyarakat Badui mulai menggunakan pewarna alam untuk membuat kain tenun, di mana bahan pewarnanya didapat dari hutan yang ada di Badui.
"Kalau warna alam itu tidak terlalu terang, lebih lembut. Kita dapatnya dari hutan Badui. Peminantnya saat ini mulai banyak," pungkas Adah.
Dirjen IKM Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih, menyampaikan, proses produksi secara "handmade" dan penggunaan bahan baku dari alam merupakan salah satu wujud pelestarian budaya yang telah dilakukan nyata oleh para pelaku IKM.
Selama ini, sektor IKM dinilai berperan penting sebagai penggerak perekonomian regional dan nasional yang lebih tahan terhadap guncangan perekonomian global.
“Di tengah melemahnya kondisi perekonomian dunia, IKM cenderung mampu bertahan dan berdaya saing,” imbuh Gati.
Hingga saat ini, jumlah IKM mencapai 4,4 juta unit usaha dengan total penyerapan
tenaga kerja sebanyak 10,1 juta orang, sehingga menjadi kekuatan bagi sektor mayoritas ini untuk terus memberikan kontribusi kepada negara dalam mewujudkan kemandirian ekonomi.
Pelestarian tenun
Gati menyampaikan, tenun merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang perlu terus dikembangkan karena memiliki berbagai motif yang khas dan kental dengan nilai budaya nusantara yang patut dilestarikan.”Mengingat besarnya potensi industri tenun, kami ingin menjadikan tenun sebagai world heritage seperti halnya batik yang telah diakui dunia sebagai warisan budaya tak benda asli Indonesia,” tegasnya.
Menurut data Kemenperin, jumlah sentra IKM tenun yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia mencapai 369 sentra dengan jumlah perusahaan sebanyak 16.971 unit usaha.
Industri tenun nusantara hingga saat ini terus berkembang dan telah berperan penting sebagai penggerak perekonomian daerah sehingga mendorong pemerataan kesejahteraan masyarakat secara nasional.
Kain tenun mampu menjadi salah satu penyumbang devisa negara. Ini dilihat dari nilai ekspornya pada tahun 2016 yang mencapai 2,6 juta dollar AS dengan negara tujuan utama Belanda.
“Kami terus berupaya mendongkrak kinerja industri tenun nusantara melalui peningkatan daya saing produk dan pengamanan pasar dalam negeri,” tutur Gati.
Direktur IKM Kimia, Sandang, Aneka dan Kerajinan, E Ratna Utarianingrum, mengatakan, pihaknya tengah menggiatkan budidaya kapas dan penggunaan bahan baku alternatif yang tersedia di dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan bahan baku impor bagi pelaku IKM tenun.
“Untuk mengatasi permasalahan bahan baku kapas IKM tenun, kami telah menandatangani Nota Kesepahaman dengaan Direktorat Jenderal Perkebunan dan Balitbang Kementerian Pertanian serta Pemda Kabupaten Timor Tengah Selatan pada bulan Juni 2017 lalu,” ungkapnya.
Ditjen IKM juga bekerjasama dengan BUMN dan asosiasi industri benang untuk mendirikan material center guna memenuhi bahan baku IKM.
“Sedangkan, untuk memperluas akses pasar, kami memiliki program e-Smart IKM. Selain itu, kami mendorong agar IKM dapat pula memanfaatkan berbagai fasilitas pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dan insentif lainnya untuk memperkuat struktur modalnya,” imbuh Ratna.