Jakarta (Antara Babel) - Dalam 25 tahun terakhir, muncul kecenderungan di
kalangan anak muda keturunan Minangkabau di Sumatera Barat, tidak hanya
di perkotaan, tetapi juga perdesaan, untuk menggunakan bahasa Indonesia
campur aduk dalam pergaulan sehari-hari.
Di kampus-kampus, sering terdengar mahasiswi berkomunikasi dengan
sesama dalam bahasa campuran antara bahasa Betawi, Indonesia, dan dialek
Minang yang sangat kental.
"Lu ini baa ko? Gua kan sudah bilang ka pai lai?" (Kamu ini
bagaimana? Saya kan sudah bilang mau pergi?). Demikian terdengar
pembicaraan seorang mahasiswi kepada rekannya di Fakultas Sastra di
Universitas Andalas Padang, Kampus Limau Manis, beberapa waktu lalu.
Tidak hanya di lingkungan kampus, di dalam lingkungan keluarga
suku Minang, terutama pasangan muda, juga sudah lama ditemukan orang tua
yang tidak lagi menggunakan bahasa ibu mereka dalam berkomunikasi di
kehidupan sehari-hari. Akibatnya, anak-anak mereka pun tidak sepenuhnya
berbicara dengan bahasa Minang meski berdomisili di kampung sendiri,
Sumatera Barat.
Sekarang sudah tidak terdengar lagi kosakata "pituluik" untuk
pensil, "sukuang" untuk bantal, "baguluik" (buru-buru), "basijontiak"
(berpacaran), "pasai" (bosan), "opok" (bujuk), dan banyak lagi.
Fenomena seperti inilah yang membuat prihatin Tan Sri Rais Yatim,
Penasihat Sosio-Budaya untuk Kerajaan Malaysia ketika menjadi pembicara
utama dalam acara Konferensi Internasional Budaya, Seni, dan Humaniora
yang diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas Padang.
Meski lahir di Malaysia dan pernah menduduki banyak jabatan penting
di negara tersebut, Rais Yatim sejatinya adalah putra Minang karena
keluarganya berasal dari Palupuah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Kondisi berbahasa masyarakat Minang saat ini oleh Rais Yatim diibaratkan
"sakarek ula sakarek baluik (setengah ular setengah belut).
"Jangan malu bertutur Minang, terutama di lingkungan sendiri. Saya
melihat sekarang bahasa Minang yang digunakan sekarang ibarat sakarek
ula sakarek baluik," kata Rais Yatim yang pernah menjabat Menteri
Penerangan (1984 s.d. 1986) dan Menteri Luar Negeri (1986 s.d. 1987)
Kerajaan Malaysia.
Menurut Rais, Bahasa Romawi mati karena masyarakat Romawi ketika itu
lebih tergila-gila pada bahasa yang baru dan datang dari luar sehingga
bahasa mereka sendiri dilupakan dan lambat laun akhirnya punah. Kalau
tidak berhati-hati, bahasa Melayu dan bahasa Minang bisa bernasib sama
dengan bahasa Romawi.
Untuk menjaga kelestarian bahasa ibunya, yaitu bahasa Melayu, Rais
mengaku jarang berbicara menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan
sehari-hari dan berprinsip jika ada istilah dalam bahasa ibu, dia akan
menggunakannya.
Tergerusnya bahasa Minang akibat dilanda badai globalisasi memang
sulit dihindari karena arus informasi yang makin deras menyusul kemajuan
teknologi informasi serta serbuan media sosial, tetapi setidaknya bisa
dikurangi jika kesadaran tersebut dimulai dari keluarga dengan
melestarikan bahasa ibu mereka kepada anak-anak.
Bahasa Minang dengan jumlah penutur sebanyak 6,5 juta jiwa, terbesar
kelima terbesar di Tanah Air setelah Jawa (75 juta), Sunda (27 juta),
Melayu (21 juta), dan Madura (13 juta), memang tidak mengalami nasib
tragis, seperti bahasa Hamap di Kabupaten Alor (NTT) dengan jumlah
penutur hanya seribu orang dan diambang kepunahan.
Akan tetapi, serbuan istilah asing yang sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari di media sosial, secara perlahan bisa menggantikan
dan merusak kosakata Minang yang sudah ada sebelumnya.
Diah Tyahaya Iman, pengajar di Fakultas Sastra Universitas Andalas,
mengatakan bahwa sudah lama terjadi kecenderungan mahasiswa dan kaum
muda untuk tidak lagi menggunakan bahasa Minang meski sebagian besar
mahasiswa tersebut berasal dari berbagai daerah di Sumatera Barat.
"Sepertinya ada anggapan bahwa kalau berbahasa Minang dalam
pergaulan sehari-hari di kampus dianggap orang kampung dan ketinggalan
zaman. Akan tetapi, terdengarnya memang aneh karena bahasa Indonesia,
Minang, dan Jakarta dicampur aduk dengan logat Minang, seolah
memunculkan bahasa baru," kata Diah yang meraih gelar doktor di Jepang.
Lunturnya penggunaan bahasa Minang salah satunya disebabkan oleh
faktor sosiologis, yaitu gaya hidup dan takut dianggap kampungan bila
menggunakan bahasa daerah. Tidaknya adanya kesadaran, rasa memiliki dan
rasa bangga akan bahasa daerah juga ikut berperan terkikisnya bahasa
Minang dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, berkurangnya penutur bahasa Minang di kalangan anak
muda di Sumatera Barat, terutama di kampus, tidak selalu disebabkan oleh
masalah gaya hidup ataupun rasa malu dianggap orang desa.
Seperti yang dikatakan Tessa Qurrata, mahasiswi yang ditemui di
Kampus Limau Manis tersebut, tidak semua mahasiswa berasal dari Ranah
Minang, atau mahasiswa keturunan Minang, tetapi lahir dan dibesarkan di
luar Sumatera Barat sehingga memang tidak bisa berbahasa daerah orang
tua mereka.
"Bagaimana kita berbahasa Minang kalau mereka tidak mengerti?
Karena terbiasa berbicara dalam bahasa Minang, kemudian berbicara dengan
teman yang dari luar Sumatera Barat, secara tidak sengaja bahasa yang
diucapkan pun menjadi bercampur-campur," kata Tessa yang berasal dari
Bukittinggi.
Untuk melestarikan bahasa daerah, Fakultas Sastra Universitas
Andalas sejak akhir 2015 telah memperkenalkan Minangkabau Corner, yang
berfungsi sebagai pusat informasi Keminangkabauan dan sebagai pusat
pengelolaan pengetahuan tradisional, tempat menyimpan teks-teks klasik,
seperti naskah kuno dan tradisi lisannya.
Sebagai tempat untuk menggali informasi bagi masyarakat, Rais Yatim
berharap Minangkabau Corner untuk seterusnya tidak hanya menjadi
"sudut", tetapi justru memainkan peran lebih besar sebagai pusat
pengembangan dan pelestarian budaya Minangkabau dan mempunyai jaringan
yang tidak hanya bisa menjangkau seluruh masyarakat di Tanah Air, bahkan
diaspora di berbagai negara.